Waktu berlalu dengan begitu cepat. Setelah menemani Pragma istirahat tadi. Kini, Gelora sudah berada di meja makan yang membentang luas di depannya. Zaelan duduk dengan tenang di kursi kebesarannya. Di samping kanannya ada istri tercintanya, dan di samping kirinya ada Pragma, serta di samping Pragma ada Gelora. Tentunya.
Mereka berempat makan dengan khidmat. Hanya ada suara dentingan sendok yang saling beradu.
Setelah tiga puluh menit mereka menghabiskan makanan masing-masing. Zaelan memutuskan untuk beranjak dari sana, bunyi decitan kursi terdengar saat pria paruh baya itu berdiri.
"Saya tunggu kalian di ruang keluarga," ucapnya sebelum pergi dari sana.
"Ibu menyusul ayahmu dulu yah. Kalian lanjutkan makannya lagi," imbuh Raeni.
Gelora diam mendengarkan. Wanita muda itu asik menikmati menu penutup.
"Baik Ibu," sahut Pragma saat Gelora masih mengunyah makanannya.
"Sepertinya Gelora suka sekali dengan pudingnya. Itu Ibu yang buat lo, khusus untuk kamu." Raeni tersenyum lebar saat Gelora sangat menikmati puding buatannya.
"Iya saya suka," Gelora ikut menimpali.
"Kamu sudah makan Sayang? Kalau begitu, ayo kita ke ruang keluarga," ajak Pragma setelah melihat ibunya berlalu dari sana.
"Ayo," ucap Gelora seadanya. Dia ingin segera tidur. Besok saja dia akan ke mall bersama Pragma, tubuhnya butuh istirahat yang banyak untuk kabur besok.
Untuk pertama kalinya lagi, setelah sekian lama Gelora bertemu dengan ayah Pragma. Tidak ada yang berubah pada pria paruh baya itu.
Saat Gelora dan Pragma datang. Zaelan langsung meletakkan beberapa dokumen yang sempat ia tandatangani.
"Ada apa Ayah?" tanya Pragma saat mendudukkan dirinya di sofa panjang, berseberangan dengan orang tuanya.
Zaelan berdehem pelan sebelum menjawab. "Gelora telah kembali, jadi mulai dari sekarang jangan membuat ulah lagi. Ayah sudah tua, tidak bisa lagi menghadapi tingkah nakalmu selama ini."
Pragma merenggut di tempatnya. "Aku tidak nakal."
"Tidak nakal apanya, kalau kamu selalu berniat bunuh diri." Zaelan berdecih sinis pada putra tunggalnya itu.
"Saya tidak berniat kembali dengan Pragma. Karena saya sudah memiliki kehidupan sendiri," protes Gelora tiba-tiba. Tidak suka atas perkataan Zaelan. Apa-apaan pria itu seenak jidat memberikan ultimatum pada Pragma, bahwa dirinya telah kembali.
Zaelan diam beberapa saat mengamati protesan Gelora. Sedangkan Raeni melirik putranya, terlihat jelas kalau Pragma membutuhkan pelampiasan saat ini. Dari tangannya yang mengepal.
"Saya tahu apa yang kamu butuhkan saat ini, Nak," ucap Zaelan penuh penekanan.
Gelora cukup terkejut mendengarnya. Namun ia menutupinya, dengan cepat.
"Bagaimana?" tanya Zaelan lagi.
"Saya tidak bisa," jawab Gelora spontan seiring dengan bunyi gebrekan meja kaca di depannya.
BRAKK
Meja itu pecah, hancur saat itu juga. Dan darah segar lagi-lagi harus mengucur pada si pelaku.
"Astaga Pragma."
"Pragma," pekik Gelora dan Raeni bersamaan.
"Anak ini," ucap Zaelan meraup wajahnya frustasi.
"Kamu mau pergi kan?!" Pragma menatap Gelora tajam.
"Tapi saat itu juga, kita akan mati bersama!" lanjutnya mampu membuat saraf-saraf Gelora kakuh.
Tubuh wanita itu diam tak bergerak, wajahnya pucat pasih. Selama ini, dia tidak pernah melihat Pragma marah seperti ini. Apalagi melukai dirinya sendiri. Ini gila, benar-benar gila. Sungguh Gelora sangat ketakutan sekarang. Mengapa Pragma sekarang terlihat seperti monster. Dan tatapannya itu, membuat ia ngeri.
Tanpa sadar Gelora memegang perutnya.
"Pelayan ambilkan obat," teriak Raeni sudah berurai air mata.
"Gelora apa yang kamu lakukan, jangan diam saja." Tanpa sadar Raeni menyentaknya. Konsterasinya sudah terbagi, pikirannya tidak bisa jernih saat melihat anaknya terluka lagi.
"Jawab Gelora. Kamu tetap mau meninggal kan ku, atau kita mati bersama. Itu lebih baik Sayang." Pragma mengguncangkan ke dua bahu wanita itu. Tak memedulikan darahnya merembas ke sana kemari, mengenai baju Gelora. Membuat kepala wanita itu pusing mencium bau anyir darah. Ini sangat mengerikan, pikirnya.
"Kamu gila Pragma," ucap Gelora setelah sekian lama berkutat dengan pikirannya.
"Ini semua karena kamu," teriak Pragma menggelegar. Tidak memedulikan jika orang tuanya mendengarnya, kegilaan apa lagi yang ia katakan dan lakukan.
"Kalian jangan bertengkar seperti anak kecil begini," tegur Zaelan memperingati.
Bukannya mendengarkan Gelora berdiri dari tempatnya. "Sejak hari itu aku membencimu."
Perkataan sialan itu harus Pragma dengarkan lagi. "Tapi aku tidak meninggalkan mu Gelora!"
"Kau memang tidak ingin meninggalkan ku, tapi berniat menikah lagi sialan," balasnya sambil berteriak.
Pragma kalah telak. "Kenapa diam benarkan!"
"Sejak awal menikah denganmu Pragma. Aku sudah membuat keputusan, jika kamu berniat menikah lagi maka hubungan kita selesai saat itu juga." Gelora kembali mengingatkan.
"Gelora ini semua bukan salah Pragma. Tapi, salah Ibu Nak." Raeni berkata dengan cepat sebelum permasalahan itu tambah menjalar ke mana-mana.
Gelora mendengkus mendengarnya. "Itu juga memang salahmu, tapi dia setuju untuk bertunangan pada saat itu. Jadi dia pelaku utamanya, mengapa aku meninggalkannya. Saat itu aku berniat mengacaukan pesta pertunangannya dengan WANITA LAIN. Tapi, setelah dipikir-pikir aku tidak ingin melakukan itu di hari membahagiakannya." Sarkasme dan tepat sasaran sembari menekan kata 'Wanita lain' Gelora tidak peduli. Jika Pragma akan menamparnya.
Dan Pragma semakin terpojokkan. "Tapi aku terpaksa Gelora. Dan harus kamu tahu, jika aku dan dia tidak pernah melakukan pertunangan."
"Gelora jaga setiap ucapanmu. Jika bukan karena anak saya, yang terlalu mencintaimu maka saya tidak akan pernah repot-repot mencari keberadaanmu selama dua tahun ini," sela Zaelan cepat saat melihat Gelora yang masih ingin menyahut. Sungguh wanita tidak akan pernah mau kalah.
"Saya tidak ingin dicintai olehnya, karena saya sudah mem–"
"Gelora," potong Zaelan memperingatkan agar wanita itu tidak melampui batas. Dan berimbas kepada dirinya sendiri.
"Kalian semua sama saja," cibir Gelora mulai berkaca-kaca. Apakah ini pengaruh hormon kehamilan, jika ia, maka ini sangat memalukan karena dia ingin menangis di waktu yang tidak tepat.
"Lora," panggil Pragma kembali. Kali ini dengan tatapan teduhnya, tapi wanita itu segera memalingkan wajahnya.
"Jangan mendekatiku. Di sini bukan rumahku, tidak ada yang peduli denganku. Kalian semua seakan menyerangku," jelasnya dengan suara tercekat. Entah mengapa ia sangat sakit hati mendengar perkataan Zaelan dan Raeni, bahkan ke dua orang itu sempat membentaknya
Pragma terkejut melihat wanitanya menangis. Hatinya pua kian sakit, saat ini. Dia benci membuat wanitanya menangis. Tapi, dia juga yang menyebabkannya.
"Maafkan aku Lora. Katakan bagaimana caranya kamu bisa merasa nyaman tinggal di sini, aku janji padamu akan melakukan segala hal untukmu. Kecuali kamu ingin meninggalkanku, katakan Sayang," desak Pragma tidak tahan. Rasa ketakutan terus saja menghantuinya. Ketakutan untuk ditinggalkan Gelora untuk ke dua kalinya.
Seiring suara langkah kaki yang kian mendekat. Zaelan mengkode Raeni agar tetap di sampingnya. Dia takut Pragma kelepasan mengamuk dan mencelakainya.
"Tuan," panggil orang itu dengan napas terengah-engah. Bagaimana tidak, jika dia baru saja terlelap seseorang mengedor pintu kamarnya dengan brutal. Sungguh menjengkelkan.
"Saya kira kamu tidak akan datang," cibir Zaelan jengah melihat perlakuan manis Pragma pada wanita itu.
Tak lama kemudian Suzie pun datang membawa kotak obat. Dengan cepat dia menyerahkannya pada Raeni, sebelum dia beranjak dari sana.
"Tolong bawa semua data yang tadi pagi saya minta. Termasuk surat perjanjian itu, dan juga jangan lupa untuk menghubungi dokter. Lihat, apa yang dilakukan oleh Tuan mudamu itu," jelas Zaelan sembari menoleh ke arah Pragma diikuti oleh Rudolp.
"Sungguh aku tidak bisa tenang," kata Rudolp pelan saat Zaelan pergi dari sana bersama Raeni. Meninggalkan dia.
To Be Continue