"Ta-tapi, Bu, saya ...." Rey menggantung ucapannya saat keraguan kembali menyerang.
Dia bingung harus menjawab apa. Jauh dari dasar hatinya, dia sangat menginginkan menikah dengan Viona. Namun, merasa cukup sadar diri bahwa keluarga Viona bukanlah tandingannya.
Dia yang berasal dari keluarga sederhana, tentu tidak sebanding dengan keluarga Viona yang jelas-jelas memiliki tingkat sosial dengan level tinggi.
Dilema. Rey sungguh tidak bisa memilih. Antara menerima tawaran Tuan Priyo dan Nyonya Yohana, atau bersiap untuk kehilangan Viona. Lagi pula, dia baru saja naik jabatan di tempat kerjanya. Tentu makin bingung dalam memutuskan pilihan.
Jika memilih untuk menikahi Viona, itu artinya dia harus rela kehilangan pekerjaannya. Lantas, bagaimana mungkin dia bisa menghidupi seorang istri yang notabene memiliki gaya hidup yang berbeda dengannya, tanpa memiliki uang dan pekerjaan?
Belum lagi biaya hidup di luar negeri sangat mahal. Ah, rasanya tidak mungkin untuk bisa menjalani kehidupan yang seperti itu. Membayangkannya saja sudah membuat dia fruatrasi.
"Bagaimana Reynaldi, Viona, apa kalian setuju?" tanya Tuan Priyo yang sejak tadi hanya mendengarkan istrinya berbicara.
"Ayo, Rey ... kalau aku sih setuju." Viona berucap lirih sambil menunduk tersipu malu.
Sementara itu, Reynaldi masih bingung harus menjawab apa. Nyatanya, apa pun keputusan yang sudah dia pilih, keduanya sama-sama memiliki sisi negatif dan positifnya.
"Baiklah, saya terima permintaan Bapak dan Ibu, tapi mohon maaf kasih saya waktu untuk mempersiapkan semuanya," ucap Reynaldi memelas.
"Baik, Nak Rey. Untuk soal dana kamu tidak usah khawatir karena kami persiapkan. Kalian cukup persiapkan fisik dan mental kalian saja mulai sekarang," tutur Nyonya Yohana seolah-olah mengetahui kegundahan Reynaldi.
"Iya, Rey, kamu tidak usah memikirkan soal dana, yang kami butuhkan hanya dukungan dari keluarga kamu. Kita 'kan akan menjadi satu keluarga, minimal harus saling mengenal satu sama lain, juga bagaimana dengan karier kamu silakan urus secepatnya," kata Tuan Priyo menjelaskan.
"Ya sudah, kalau sudah setuju kita lanjutkan nanti. Mengingat waktu sudah jam makan malam, sebaiknya kita makan malam dulu," ajak Nyonya Yohana seraya bangkit dari tempat duduknya, pun dengan Tuan Priyo.
"Ayo, Rey!" Viona tersenyum manis. Reynaldi pun membalas senyuman Viona sambil bangkit dari duduknya, mereka beranjak menuju ruang makan.
"Mas Bagas, turun! Ayo, kita makan!" seru Nyonya Yohana memanggil anaknya bagas yang sejak tadi menyendiri dikamar lantai atas.
Tidak lama kemudian bagas pun menyahut, "Iya, Bu!,"
Sambil bersiul bagas pun turun bergabung dengan keluarganya yang sudah berkumpul di meja makan. Bagas duduk di sebelah ayahnya.
Sejenak reynaldi tercengang melihat hidangan yang begitu mewah diatas meja, menu yang cukup menggugah selera dan tertata rapi seperti sedang makan di restaurant.
"Subhanallah, begini rasanya jadi orang kaya," gumam Rey dalam hati.
Selama ini, dia yang hidup jauh dari keluarga sejak masuk kuliah hingga sekarang, hanya bisa makan seadanya sesuai isi kantong. Jangankan untuk memikirkan makanan mewah, untuk bayar kontrakan saja dia sering kali kelabakan.
Bahkan tak jarang pula menunggak bayar kontrakan. Sungguh berbeda dengan kehidupan Viona yang serba ada.
Waktupun berlalu cepat. Setelah selesai makan tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Rey pun berpamitan pulang.
"Baiklah kalau begitu saya pamit, Pak, Bu. Terimakasih atas semua jamuannya," ucap Rey sambil melirik ke arah jam dinding yang berdiri disudut ruangan.
Rey mengulurkan tangannya untuk bersalaman, kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka.
Secepat kilat Viona berdiri, berniat untuk mengantar Rey sampai ke pintu depan
"Hati-hati, Rey. Jangan ngebut, ya!" Viona mengingatkan.
"Oke, Vi. Bye!" Rey melambaikan tangannya dan dibalas dengan hal serupa oleh Viona.
Sepanjang perjalanan pulang dengan kepala ditutupi helm, wajah dibalut masker, jaket tebal yang membalut tubuhnya, hingga tidak ada Sedikitpun celah yang terbuka. Semuanya Tertutup rapi. Semilir angin yang dingin dimalam itu tidak dibiarkannya masuk ke pori-pori kulitnya.
Tampak jalan trotoar yang ramai dengan anak-anak pengamen jalanan. Wajah mereka dihiasi coretan -coretan hitam, rambut yang diwarnai bermacam-macam sambil memegang alat musik yang mereka ciptakan sendiri, terbuat dari botol-botol minuman.
Mereka berdiri berjejer dibawah papan reklame dan spanduk yang membentang di kiri kanan jalan. Sesekali mereka menyodorkan sepotong tabung yang terbuat dari botol kepada orang yang lewat di sekitar itu sambil bernyanyi-nyanyi dan memainkan musiknya.
"Kebiasaan yang tak pernah berubah," gumam reynaldi, lalu membiarkan anak-anak tersebut melanjutkan kegiatannya.
Reynaldi melaju mengendarai sepeda motornya dengan mata yang tertuju ke arah depan.
Malam itu, berjuta rasanya buat reynaldi, seakan-akan ia tak percaya atas kejadian tadi sewaktu di rumah Tuan Priyo Hadi Wicaksono.
Entah ini nyata atau hanya mimpi belaka. Rey seolah-olah tak memercayai kejadian beberapa menit lalu di rumah itu.
Dering handphone seketika membuat reynaldi tersentak
Secepat kilat Rey merogoh ponselnya lalu mengangkat telepon itu, kebetulan pas lampu merah menghentikannya.
"Halo, ada apa, A?" Ternyata yang menelpon itu kakaknya sendiri.
"Halo, De, lu di mana? Nih Aa lagi di kost-an elu!" Suara dari sebrang sana. Ia adalah Romi kakaknya reynaldi.
"Gua masih di jalan, A, menuju pulang, tunggu 5 menit lagi," jawab Rey.
Perbincangan itu berakhir. Tak sampai lima menit dari lampu merah tadi reynaldi tiba dirumahnya dengan melewati gang kecil.
"Kenapa gak bilang dari sore lu mau datang, A? dari mana malam-malam begini?" tanya Rey sambil membelokan motornya masuk.
"Pulang kerja kemaleman, De. Besok harus pagi-pagi Aa ngelayanin klien, kalau pulang ke rumah kejauhan."
"Ya udah, lu tidur di sini aja, biar gak terlalu capek bolak balik." Rey berusaha mengerti keluhan kakaknya itu.
Tanpa berdebat panjang kakak beradik itu masuk mendorong motornya masing-masing.
Setelah mereka berada di dalam rumah rasa hangat terpancar dari kedua kakak beradik itu. Ya, memang keluarga Reynaldi terbilang sangat rukun, saling menyayangi satu sama lain. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal 6 tahun yang lalu.
Walaupun mereka saling berjauhan, Reynaldi tinggal dikota jakarta kakaknya tinggal dibogor bersama istrinya, sementara adiknya tinggal di aceh. Melaksanakan tugas sebagai Tentara Nasional Indonesia dan ibunya tinggal di kota bandung. Kendati demikian hampir tiap hari mereka selalu memberi kabar dan saling membantu satu sama lain.
"Lu dari mana, De?" tanya Romi sambil membuka jaketnya dan menggantungkannya di kastop dinding. Dia duduk terhenyak di karpet kecil sambil membuka dua bungkusan nasi goreng yang sengaja dibelinya tadi sewaktu pulang kerja satu untuk dirinya dan satu lagu untuk Reynaldi
"Ayo makan!" ajak Romi pada Rey.
Reynaldi mencium wangi aroma dari nasi goreng kesukaannya itu.
"Duh, ngiler!"celetuk Reynaldi padahal ia sudah makan di rumahnya Viona. Namun, ia merasa seleranya kembali tergugah dan ingin mencicipi nasi goreng tersebut. Dengan sigap dai menarik satu bungkus nasi itu.
"Gua udah makan tadi dirumah Viona, tapi makannya cuma sedikit, habis gak enak aa orangtuanya Viona. Lagian, kalau makan di sana itu makan nasinya cuma sedikit yang banyak itu sayuran sama buahnya," ujar Reynaldi.
"Lu ke rumah Viona? Ngapain?"