Sing!
Pedang Elazar mengacung cepat padaku. Pergerakannya bahkan tidak bisa diikuti oleh mata. Makanan yang sedari tadi menjadi fokusnya sudah bertumpah ruwah.
Manik mata merahnya menatap lekat penuh permusuhan padaku. Sepertinya dia tak menyukai gagasan yang baru saja kuutarakan. Tapi … mengapa? Bukankah dalam novel dia mau-mau saja ketika diperintah untuk menjadi putra mahkota?
"Lancang sekali kau menyebutku sebagai keturunan kekaisaran?!" dingin dan tajam. Kegerian benar-benar melekat keluar dari suara rendahnya.
Menenggak ludah gugup, keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku.
"Turunkan pedangmu dari Yang Mulia!"
Tanpa kusadari, rupanya para pengawal sudah mengacungkan pedang pada Elazar. Mereka berusaha melindungiku. Hanya saja, aku masih saja merasa ngeri dengan pedang yang tepat berada di depanku ini. kepalaku mungkin saja bisa dipenggal dengan dirinya yang langsung melarikan diri. Dia memang segesit itu.
Elazar bergeming. Tatapan matanya sama sekali tak mengendur dariku.
"Atas dasar apa kau menyebutku sebagai keturunan para orang-orang payah itu?!" gertaknya.
Duh, kenapa sih? Untuk apa dia semarah ini?
"Kekuatanmu. Petir yang tadi kaugunakan untuk membunuh Ogre. Itu hanyalah jenis kekuatan yang ada pada keturunan murni kekaisaran. Berkat Naga Agung."
Pedangnya menurun. Ugh, aku mengambil udara dengan rakus. Selama kejadian tadi, aku lupa mengambil napas.
Tak berapa lama, pedang-pedang milik ksatria mengacung penuh pada leher Elazar. Aku melotot horror.
"Hei, jangan! Dia adalah—"
"Apakah kekuatan ini yang kaumaksud?"
ARGH!
Elazar tiba-tiba mengeluarkan kekuatannya. Orang-orang yang awalnya mengepungnya mendadak tersungkur dan tergeletak tak berdaya.
Apa—apa-apaan itu?
"Ke—kenapa kamu melakukan itu?! Mereka adalah bawahanmu!" jeritku berusaha membangunkan prajurit yang berada dalam radius terdekatku. Oh tidak, semoga mereka masih selamat. Jangan mati! Kalian adalah bala bantuan untuk kekaisaran.
Aku ingin menangis.
"Sederhana. Mereka mengancamku," jawabnya enteng. "Dan untuk ucapanmu tadi, aku sama sekali tidak menerimanya."
Sing!
Elazar kembali mengacungkan pedangnya. Tatapan mata merahnya berkilat tajam menghunusku. Seolah benar-benar hendak membunuhku saat ini juga.
"Elazar, kenapa kau semarah ini hanya dengan menyebutkan jika kau adalah keturunan kaisar?!"
Aku kembali mengeluarkan tongkat sihir. Hendak melawannya meskipun kecil kemungkinan akan menang. Bagaimanapun, Elazar memiliki darah kaisar yang mengalir dalam tubuhnya. Dia jelas mewarisi berkat naga agung.
"Hm, aku tak menyukai orang-orang yang telah mencetuskan perang sialan ini. Berkat ini, aku sudah kehilangan beberapa rekanku."
Perang, ya?
Jelas, sebagai manusia normal yang jauh akan dunia politik kotor, Elazar membenci kata itu. Perang hanya membawa kesengsaraan dan juga kehilangan. Sampai sekarangpun, aku sama sekali tak memahami, mengapa para penguasa yang serakah itu, begitu terobsesi dengan perang dan juga kemenangan?
Padahal dalam kemenangan itupun, pasti juga kehilangan banyak hal.
"Kau mungkin tidak tahu, karena kau hanyalah bangsawan yang mampu ongkang-ongkang kaki di istanamu sendiri!"
Klang!
Aku menyingkirkan pedang Elazar dengan sihirku. Kemarahan merangkak naik dalam tubuhku.
Tadi apa katanya? Bangsawan yang ongkang-ongkang kaki di istananya?
"Kau tahu apa tentangku?" Mendadak, ingatan Liliana mengalir deras, diikuti dengan perasaannya. Semua bercampur aduk. "Apa kau tahu, bagaimana rasanya cemas dengan orang-orang sekitarmu? Khawatir jika tiba-tiba kamu akan dibunuh? Tertekan karean selalu dipaksa menjadi tumbal?"
Air mataku berjatuhan. Sakit. Benar-benar sakit ketika orang yang tak tahu apa-apa berbicara seenaknya tentangmu. Liliana menjalani kehidupan mengerikan di istana itu. Dipaksa untuk menjadi selir saat usianya masih kecil. Disuruh melakukan hal yang berbahaya hanya demi kepentingan orang lain.
Dia … sangat mirip denganku.
"Apakah kau tahu bagaimana rasanya disuruh melakukan hal yang tidak kau suka sampai rasanya mencekikmu?" Aku masih ingat ketika belajar mati-matian hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus. "Lalu bagaimana rasanya usahamu yang bisa saja membuatmu mati tapi tidak diharaukan?" Mereka menatapku dengan pandangan meremehkan.
"Kau tidak tahu. Kau tidak berhak mengomentari apapun!"
Elazar bergeming. Dan air mataku semakin tak karuan. Gemuruh dalam dadaku berkecamuk tak stabil. Aku lelah. Sungguh. Baik kehidupanku maupun Liliana … kenapa semua semenyedihkan ini?
"Tapi bukan berarti kamu bisa mencetuskan perang hanya karena kehidupanmu itu," katanya dengan nada rendah.
"Kau pikir aku yang memulai perang?!"
Aku? Orang yang selalu hendak ditumbalkan? Ck, jangan gila!
"Ya."
Aku menancapkan tongkat sihirku ke atas permukaan tanah. Marah, kecewa dan putus asa. Semuanya bercampur aduk.
"Aku tidak punya kewenangan setinggi itu untuk mencetuskan perang," ujarku. Tanpa emosi dan tinggal keputus asaan. Sungguh, aku sangat lelah. Entah di sini atau di istana, aku selalu saja berperang. Tubuh dan mentalku semoga masih selamat.
"Tapi mereka memanggilmu Yang Mulia."
"Itu hanya sopan santun atas posisiku sebagai selir kaisar."
"Kau … selir?"
"Ya."
Sepertinya Elazar tak percaya. Untuk apa seorang selir yang harusnya bersantai dan melayani kaisar bisa berkeliaran di hutan belantara seperti ini? Tidak logis.
Aku menatap sekeliling. Orang-orang masih saja tak sadarkan diri. Bahkan Margareth dengan jarak yang cukup jauhpun, juga tergeletak di sana.
"Apa kau membunuh mereka?" memicing tajam padanya, entah kemana ketakutan yang tadi kurasakan darinya. Semuanya menguap tak berbekas.
"Tidak." Elazar melihat sekeliling.
"Mereka pingsan."
Aku berjalan menuju Margareth dan meletakkannya dalam pangkuanku. "Tak bisakah kau menyadarkan mereka?"
"Mudah. Siram saja dengan air dingin," ujarnya cauh tak acuh.
Mengambil pedangnya dan duduk di antara para prajurit yang tak sadarkan diri. Aku tidak terkejut. Elazar memang orang yang setidak peduli itu.
"Tentang Berkat Naga Agung yang kau katakan tadi, bisakah kau jelaskan lebih terperinci?"
"Kenapa? Apakah kau tertarik menjadi pangeran?"
"Tidak," jawabnya cepat. Benar-benar tak menginginkan apa yang baru saja kuucapkan.
"Konon dulu raja pertama—sebelum Negara ini menjadi kekaisaran—membentuk Negara dengan dukungan Naga Agung. Sang naga memberikan berkat special kepada raja dan para keturunannya."
Elazar kembali mengeluarkan petir dari tangannya. "Jangan mempermainkan kekuatanmu seperti itu! Naga bisa marah dan mencabut berkat itu begitu saja."
Aku tidak berbohong. Karena ketika kekuatan naga dipergunakan secara sembarangan dan membahayakan umat, maka tidak menutup kemungkinan naga akan mencabut kembali berkatnya.
"Tak masalah, aku masih memiliki pedang bersamaku."
"Kau benar-benar …." Aku tak bisa berkata-kata dengan ucapan sepercaya diri itu. Kepe-dean yang menyebalkan.
Selain berkat kekuatan supranatural yang sangat dahsyat, keturunan kaisar juga diberkahi dengan fisik yang luar biasa. Jujur saja, saat membaca dulu, aku merasa jengkel. Sebab Elazar dalam novel, sama sekali tidak bisa disentuh dan terkalahkan. Jenis tokoh yang tidak memiliki kecacatan.
"Jangan terlalu sombong, kita tidak tahu apa yang ada di masa depan."
Aku merentangkan tangan ke udara. Memandang langit malam yang dipenuhi bintang dan juga rembulan. Maaf. Sepertinya aku harus memanggil awan hitam untuk sesaat. Menurunkan hujan.
Merapal mantra, satu lingkaran sihir terbentuk tepat di atasku. Tak lama langit berubah menjadi kelam. Rembulan dan gemintang tertutup begitu saja. Angin berembus hebat. Lantas hujan turun dengan lebat.
Membangunkan orang-orang yang pingsan akibat dari petir Elazar.
"Ah iya, Pangeran. Bukankah tadi Anda sudah muak dengan perang ini?" Aku berbicara dengan bahasa formal. Air hujan ini rupanya bisa mendinginkan kepalaku. "Jadi, mari selesaikan peramg yang memuakkan ini."
Aku tersenyum menatapnya dan dia hanya bergeming masih dengan wajah dinginnya.