Hujan mengguyur deras. Membasahi tanah dan membangunkan orang-orang. tatapan mataku masih sama. Terkunci pada netra itu.
Api sudah padam. Tidak ada pencahayaan sama sekali di antara kami. Namun anehnya, aku masih bisa melihatnya. Mata tajam itu perlahan melembut seolah memikirkan apa yang baru saja kuutarakan.
Di dalam novel, Elazar menghentikan perang dengan kekuatannya lantas menerima takdirnya dengan lapang dada untuk menjadi putra mahkota di istana kekaisaran. Tak ada penjelasan mendetail mengetai aspek itu. Karena keseluruhan cerita dalam novel hanyalah romansa belaka.
Tak ada kerumitan perang. Hanya menceritakan bahwa Elazar merupakan sang pehlawan perang.
Tak ada kemelut politik. Karena hanya mengisahkan perihal cinta putra mahkota untuk kekasihnya. Tanpa ada halangan maupun hambatan.
Entahlah. Mengapa dulu aku bisa menyukai cerita picisan macam itu. Bahkan sampai menghatamkannya berkali-kali.
"Ya—Yang Mulia! Anda tidak terluka, kan? Tidak mengalami cidera apapun, kan?!"
Margareth bertanya panik kala kesadarannya sudah berarusr pulih. Sebelumnya dia hanya mengaduh atas rasa sakit akibat setruman petir juga linglung dengan hujan yang kuturunkan.
Hal itu bukan terjadi pada Margareth semata, beberapa ksatria yang sudah mendapati kesadarannya langsung menghunuskan pedang pada Elazar yang duduk menatapku.
"Anda menjadi tahanan karena sudah berani mencelakai Selir Pertama," ujar Mike. Beberapa prajurit hendak menahan Elazar.
Aku berdiri. Menyusul mereka. ketenangan saat ini menyelimutiku. Entah mengapa. Mungkin karena sudah menyampaikan apa yang musti kukatakan pada Elazar perasaanku menjadi mudah terkendali.
"Mike, kau tidak perlu menahannya. Dia adalah sekutu kita."
"Tapi Yang Mulia, dia telah menodongkan pedangnya kepada Anda." Mike tampak enggan menurut.
Aku memijit pelipis. Guyuran hujan masih saja mengitari kami. Tubuhku basah kuyup. Tapi sama sekali tidak menggigil. Melirik sekitar, beberapa prajurit ada yang tampak menggigil. Bahkan orang-orang yang menodong Elazar dengan pedang mereka.
"Mike, apakah kau ingin membantahku?" Aku bertanya tajam.
Mike menggeleng spontan. Tangan kanannya diarahkan pada bahu kirinya. Menunduk dalam sebagai permintaan maaf khas ksatria.
"Saya tidak berani Yang Mulia."
"Maka lakukan perintahku."
Menghela napas, Mike menolehkan kepala pada para prajurit. Matanya selama sepersekian detik menghunus lurus pada Elazar. Sepertinya masih belum rela mematuhi perkataanku yang terkesan seenaknya.
Benar.
Aku memang seenaknya. Tapi ini juga demi mereka sendiru. Jika mereka menahan Elazar, apakah mereka yakin bahwa Elazar akan berdiam diri dan diringkus begitu saja?
Tidak. Lelaki itu pasti akan melawan kemudian akan terjadi pertumpahan darah. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Bagaimanapun mereka hendak pergi berperang. Sebisa mungkin menjaga orang-orang untuk tetap hidup, kan?
"Semua, tanggalkan pedang kalian."
Seketika, semua orang melepaskan pedang mereka. Mike kembali menoleh kepadaku. Aku hanya mengangguk lantas mempersilahkan mereka pergi. Masih ingin berbicara berdua dengannya.
"Kau rupanya pintar mengendalikan orang, ya?"
Mengendikkan bahu acuh, "Entahlah. Mereka hanya tunduk di bawah gelarku."
"Apakah itu Selir?"
Aku tak perlu menjawabnya karena sudah tau pasti bahwa dia bisa memperkirakannya.
"Jadi … apakah kau mau bergabung dengaku?"
Aku mengulurkan tangan. Sebagai tanda bahwa kita adalah sekutu. Juga sebagai jaminan tentang nyawaku yang akan selamat. Kelak…
Suara kikikan terdengar lirih darinya. Aku sampai melotot. Hei, mengapa dia bertingkah macam itu? Apakah dia sudah tidak waras. Mungkinkah akibat hujan ini otaknya agak sedikit geser.
Oh tidak. Jika benar, dunia ini bisa-bisa berakhir!
"Ke—kenapa kau tertawa?" tanyaku was-was. Untuk mengecek apakah dia benar sudah gila atau bukan.
"Kau lucu."
"Hah?"
Aku? Lucu?
Apakah dia sedang membicarakan wajah Liliana? Aku mengangguk setuju. Mungkin karena terlalu cantik, dia malah menafsirkan bahwa aku ini lucu.
Yah, boleh juga.
"Padahal tadi kau sudah mengatakan pada pengawalmu bahwa kita adalah sekutu. Mengapa baru sekarang mengajak berkerja sama?"
"Ah…," rupanya dia menertawakan kelakuanku. Ugh, malu. Padahal tadis sudah sangat percaya diri yang dimaksud lucu adalah wajah Liliana.
Aku hendak menarik kembali tangaku namun tepat satu detik sebelumnya, Elazar menyambutku. Menggenngamnya erat. Mata merahnya menyala penuh kepadaku. Menyorot atas keseriusanku.
Bibirnya menyeringai. Giginya bahkan nampak dan sialnya, itu menambahkan kadar ketampanannya. Seorang pemeran utama yang tentu saja memiliki charisma tersendiri.
"Aku ingin melihat seberapa besar peranmu untuk menghentikan perang yang memuakkan ini, Your Grace."
Dia menekankan Yang Mulia di akhir kata. Seolah mengejekku akan sebutan itu.
Mendengus, aku juga tidak suka mendengar nama itu. Sungguh. Rasanya lebih nyaman ketika ada yang memanggil dengan namaku langsung. Sayangnya, di dunia ini tidak ada yang tahu siapa nama asliku.
"Yang Mulia!" teriak Margareth dari kejauhan.
Meskipun tempat ini gelap dan tengah dipenuhi dengan hujan, aku masih bisa melihat dengan jelas pelayan pribadiku itu berlarian tergopoh-gopoh menyusulku. Dia bahkan menabrak kesatria yang dilewatinya sembari menggumamkan kata maaf berulang kali.
Sekujur tubuhnya basah. Dari ujung kepala sampai kaki. Itu pasti akibat dari hujan ini. Margareth juga nampak gemetar menahan dingin. Melirik Elazar, lelaki itu masih saja terlihat santai. Tidak ada tanda-tanda kedinginan, hipotermia atau apapun itu.
Hm, sepertinya hujan ini tidak berpengaruh untuk orang yang memilki kemampuan sihir.
"Yang Mulia, apakah ini Anda?" Margareth memegangi tanganku. Dia meraba. Menggunakan instingnya untuk mengidentifikasiku.
"Ya, Gareth. Ini aku."
Helaan napas terdengar darinya. Dia kemudian tersungkur lega. "Oh syukurlah. Saya pikir Anda diculik oleh makhluk jahat tadi. Dia benar-benar mengerikan! Bagaimana dia bisa mengeluarkan petir di tengah orang-orang dan menyetrum kami tanpa perasaan bersalah! Dia monster. Dia lebih buruk dari Ogre!"
Margareth, bukalah matamu lebar-lebar. Ada orang itu tepat di sampingmu. Orang yang kau jelek-jelekkan dengan begitu lancar.
Aku melirik Elazar. Ingin melihat responnya. Namun nihil. Lelaki itu masih saja bergeming dan memamerkan seringainya menggoda. Hal itu membuatku seperti ingin melihatnya terus menerus.
Oh Liliana, tahan. Dia adalah kuncimu hidup. Jangan biarkan godaannya mempengaruhimu. Okay?
"Tapi Yang Mulia? Apakah Anda tidak apa-apa? Apakah tubuh Anda merasa nyeri di setiap tempat?"
Hm, mungkin itu efek karena petir beberapa saat yang lalu. Rasanya pasti menyakitkan.
"Aku tidak apa-apa. Kalau kau? Apakah ada yang sakit?"
Petir Elazar tidak berpengaruh kepadaku. Tapi … kenapa?
Bukankah dalam novel diceritakan bahwa tidak hanya manusia saja yang bisa terkena serangan petir keturunan kekaisaran? Bahkan penyihirpun bisa merasakan imbasnya.
Namun … mengapa aku baik-baik saja? apakah Elazar sengaja tidak menargetkanku?
"Yang Mulia, hujan masih belum berhenti. Sepertinya saya dan beberapa pengawal akan mencari gua terdekat untuk beristirahat malam ini."
Mike menyampaikan pendapatnya. Lantas aku baru menyadari sesuatu.
Mengapa aku belum menghentikan hujan ini?!
Liliana, kau benar-benar bodoh! Kau bisa membunuh orang-orang dengan hipotermia tau!