Chereads / Aku Menjadi Selir?! / Chapter 6 - BAB 6

Chapter 6 - BAB 6

Aku hanya menatap air yang berjatuhan dari langit-langit gua. Udara lembab membungkus kami dalam keremangan. Hawa dingin menggeliyat. Membuat bulu kuduk meremang dan kulit semakin mengkerut.

Sudah dua jam kami sejak kami menemukan gua untuk bernaung. Api kecil bersinar di antara keremangan malam. Hampir fajar dan angin

meliuk semakin kencang.

Ah, aku menyesal telah memanggil hujan. Itu membuat seluruh perbekalan dan pakaian kering kami menjadi basah. Tak ada kayu bakar, sebab semuanya telah menggenang di antara kecipak air hujan. Untung saja api sihir berskala kecil mampu dibuat oleh Elazar. Hingga di dalam gua ini tidak sedingin es beku di kutub selatan.

"Yang Mulia, ini minuman hangat untuk Anda."

Margareth menyodorkan segelas air hangat untukku. Aku menerimanya. Berusaha menghangatkan tubuhku dari hawa mencekam ini.

Mungkin, aku memang tidak terpengaruh dengan dinginnya air hujan yang kupanggil sendiri. Hanya saja, udara setelahnya adalah murni milik alam. Dan aku tetaplah manusia yang bisa merasakan hawa yang kian merendah, sekalipun sebutanku adalah penyihir.

"Terima kasih, Gareth."

Margareth hanya menganggukkan kepalanya kemudian permisi undur diri. Dia mengambil beberapa gelas lagi lalu menyodorkannya pada tiap prajurit juga Elazar. Hm, Margareth memang sebaik itu. Ucapannya untuk menjadi berguna ketika di medan perang sedang ia buktikan sekarang.

"Yang Mulia," sapa Mike. Pria itu menyusulku. Ada raut serius yang terpatri di wajahnya. Itu membuat keningku mengeryit tidak mengerti.

"Iya, Kapten."

"Saya ingin melapor." Dia menegakkan badan. Alisku kian mengerut. Apakah aku harus mendapatkan laporannya? Mengapa tiba-tiba. Biasanya dia akan melakukan apa saja yang menurutnya benar. Karena dialah kapten rombongan ini.

"Katakanlah."

"Saat ini ada dua orang prajurit tengah demam dan juga tiga pelayan demam tinggi. Hanya ada pelayan Anda yang bertahan. Banyak dari kami yang tengah kedinginan. Jika kami menunggu sampai fajar menyingsing, saya tidak yakin romobongan akan aman sampai saat itu."

Mataku membelalak. Apa katanya? "Ada yang sakit? Dan kau baru memberitahukannya padaku?" Nadaku meninggi. Emosi. Ini sudah dua jam dari hujan mereda. Tapi mengapa dia baru mengutarakannya?

"Maafkan saya. Tapi saya juga baru mendapatkan konfirmasi kondisi mereka beberapa saat yang lalu," katanya penuh sesal.

"Di mana mereka saat ini?" tanyaku. Mengamati sekeliling untuk menemukan orang yang terbaring sakit.

"Mereka berada di sisi gua lain. Di sana … Tuan Elazar juga sudah menghidupkan api untuk mengahangatkan mereka."

Mike sepertinya bingung harus memanggil Elazar dengan sebutan apa. Bagaimanapun posisinya terlalu ambigu. Tidak mungkin baginya untuk langsung menyebut 'Yang Mulia' sementara orang itu belum terbukti kongkret sebagai keturunan raja. Dan yah, mungkin sebutan 'Tuan' lebih aman.

Aku segera melangkah ke arah tempat itu. Bisa kulihat cahaya keremangan dari arah lain. "Apakah semuanya sudah diobati?" tanyaku. Setelah jarak dengan mereka semakin mendekat.

Mike menggeleng. Membuatku menghentikan seketika menghentikan langkah. "Kenapa belum diobati?"

"Obat-obatannya basah. Dokter mengatakan itu tidak akan terlalu efektif apalagi sehabis terkena guyuran hujan buatan penyihir."

Sigh!

Jawaban itu seperti mencoba menusukku. Iya, aku tau. Aku memang memanggil hujan. Dan tatapan yang menelisik serta menuduhku seolah mengatakan jika akulah orang yang paling bersalah di muka bumi ini.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" Mengalah. Nyatanya aku memang merasa bersalah. Sekarang kami sudah berada tepat di depan orang-orang itu berbaring. Ditemani oleh beberapa orang yang kuduga pelayan juga Elazar yang tengah menjaga apinya.

"Kami harus meminta bantuan dari prajurit di medan perang. Setidaknya meminta mereka untuk memberikan bantuan rempah-rempah atau obat-obatan."

Meminta bantuan pada orang yang tengah bertaruh nyawa di medan perang?

Lucu. Tapi satu-satunya solusi hanyalah itu.

Argh!

Semakin dipikir, kian dalam penyesalan ini. sungguh, untuk apa sih aku menurukan hujan? Ah, tidak. Seharusnya aku menyingkirkan barang-barang penting sebelum menurunkannya.

"Kalau begitu, lakukanlah."

Setahuku, jarak kami dengan medan perang juga sudah tidak begitu jauh. hanya membutuhkan waktu setengah hari untuk sampai di sana. jadi setidaknya membutuhkan waktu satu hari sampai obat itu datang.

Mike tak lekas menjawab. Malah kini tengah gusar. Kebingungan dapat kubaca jelas dari gerak geriknya. Ada apa? Mengapa sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu yang rumit?

"Ada apa? Kenapa masih di sini. Cepat cari bantuan!" titahku. Namun Mike masih saja. bergeming.

Orang ini kenapa? Bukankah dia yang mengusulkan untuk meminta bantuan rempah-rempah atau obat-obatan untuk tentara dan pelayan yang tengah demam?

"Yang Mulia … dapatkah Anda ikut dengan kami?"

"Aku?" Jari telunjukku mengarah pada diriku sendiri. "Tapi, untuk apa?"

"Saya membutuhkan Anda untuk meyakinkan mereka."

"Hah? Tapi memang apa yang bisa kulakukan?" tanyaku. Tak mengerti. Aku yang cuma selir dan penyihir, memang bisa melakukan apa sih untuk meyakinkah tentara terlatih dan bersumpah setia pada istana kekaisara—ah, tunggu. Jadi itu maksudnya?

Aku adalah anggota keluarga kekaisaran resmi hingga mereka pasti tidak akan mampu untuk menolak permohonanku.

Bukan apa-apa, aku yakin. Pasti para tentara di sana tidak akan mau untuk memberikan rempah-rempah atau obat-obatan secara cuma-cuma kepada kami. Bagaimanapun benda-benda itu setara dengan emas di situasi sekarang ini.

"Baiklah. Aku akan ikut," putusku. Bersambut helaan lega dari Mike.

"Kau akan kemana?" pertanyaan itu tedengar dari arah para pasien. Elazar, menatapku dengan pendaran menyelidik.

Mendengus, aku mengacuhkan pertanyaannya. "Bukan urusanmu." Lantas berbalik bersama Mike untuk bersiap menuju medan perang guna meminta bantuan.

"Kalau mau ke medan perang dan meminta obat, kusarankan bawalah semua prajurit di sini. sisakan hanya beberapa untuk mengawalmu dan juga membantu merawat para pasien."

Aku tercengang sampai-sampai langkah kakiku terhenti seketika. Menoleh, manik mataku bertemu dengan iris semerah delima itu. ada seringai yang tumbuh dari wajah tampannya.

Elazar … dia benar-benar pemeran utama. Bagaimana intuisinya begitu tajam? Atau mungkinkahnya telinganya yang kelewat peka hingga bisa mendengar pembicaraan kami?

"Kuberitahu. Kau memang anggota keluarga kekaisaran yang mana perintahmu tidak akan bisa dibantah oleh anggota ksatria. Tapi apakah kau begitu tega merampas barang yang berharga sementara tidak memberikan timbal balik serupa?"

Benar. Melirik Mike, dia sepertinya juga baru menyadari pemikiran ini.

Yah, kenapa kami tidak memikirkan kemungkinan ini?

"Mike, siapkan sebagian tentara. Dan seperti katanya, sisakan beberapa ksatria untuk berjaga di sini. Kita tidak mungkin meninggalkan orang sakit begitu saja."

Mike kemudian mengangguk mengerti. "Baik, Yang Mulia."

"Dan …." Menoleh kembali pada Elazar, dia sepertinya ingin mengucapkan sesutau yang lain. Aku mengamati. hendak mendengarkan dengan seksama. Siapa tahu dia ingin memberikan ide yang lebih brilian.

Ya, Elazar adalah keturunan kaisar. Bagaimanapun dia pasti bisa memikirkan solusi yang mencakup untuk orang banyak.

"Sebaiknya bawa aku. Aku tak yakin kau akan bisa menghadapi para tentara itu." Dia menyeringai. Seperti tengah memikirkan trik licik.

Aku menggeleng. Hendak menoleh. Namun apa yang dikatakannya memanglah benar. apakah ada jaminan jika para prajurit medan perang akan bernegosisasi dengan baik? Menggeleng. Aku tak yakin.

"Baiklah. Ayo."