Chereads / Aku Menjadi Selir?! / Chapter 8 - BAB 8

Chapter 8 - BAB 8

"Kalian berdua, kawal Selir Pertama untuk kembali pada basecame-nya. sementara yang lainnya ikut aku ke garda depan," titah Alardo pada dua prajuritnya.

Aku menggeleng spontan. "Tak perlu. Aku akan ikut bertempur kali ini," ucapku sungguh-sungguh.

Pertempuran sudah meletus di depan mataku. Bagaimana mungkin aku akan melarikan diri sementara aku sendiri menyatakan akan menjadi bala bantuan untuk pasukan kekaisaran?

"Yang Mulia, ini bukan permainan anak-anak di desa. Ini perang sungguhan. Anda hanya akan menganggu kami apabila ikut ke garda."

Alisku mengernyit. Jawabannya benar-benar meremehkanku. Belum sempat aku membalas, Elazar sudah maju lebih dulu. Kedua matanya nampak memicing pada Alardo.

Kenapa dia?

"Sikapmu itu, sama sekali tidak mengisyaratkan penghormatan pada keluarga kekaisaran."

Membalalak, aku takjub akan perkataan yang diajukan. Apakah dia tak salah? Menyebut Alardo tidak menghormati keluarga kekaisaran sementara semalam dia hampir membunuh kami.

"Apakah kau anjing peliharannya?"

Elazar mengendik. "Entahlah. Kita lihat saja siapa yang akan menjadi anjing peliharaannya."

Heh? Mengapa kedua orang itu malah saling debat?

Aku bisa melihat dua pengawal yang beberapa saat waktu lalu dipanggil oleh Alardo tengah gelisah. Tepat saja. Bagaimana tidak, mereka di sini hanya melihat dua orang lelaki tengah berdebat tapi di lain sisi mereka tengah diserbu.

"Kalian! Berhentilah!" Aku menggeram. Menghentikan perdebatan tak bermutu itu. "Komandan Alardo Grandia, aku memerintahkamu untuk maju ke garda terdepan. Dan Elazar Nicholas, bantulah komandan dengan kekuatanmu atas nama kekisaran," titahku.

Di medan perang seperti statusku seperti keluarga kekaisaran kadang tak terlalu dijunjung. Hal yang paling dianut adalah perkataan jendral, komandan dan kapten. Hanya saja, aku tengah mencoba peruntungan. Paling tidak, untuk menyelamatkan pertempuran ini hingga bisa kita menangkan. Sudah ada dua pemilik kekuatan besar di kekaisaran. Mereka harusnya mampu menumpaskan kelompok anarkis itu.

Alardo menunduk hormat. Khas seorang bangsawan bersama Lady. "Saya akan melakukannya, Yang Mulia."

Sementara Elazar tak melakukan hal yang sama. Hanya mengernyit untuk kemudian ikut berjalan di belakang Alardo. Tak terduga, rupanya anak itu bisa patuh juga.

Menilik dari novelnya, sebelum kedatangan Elazar sang pahlawan perang, perang berkepanjangan antara Kekaisaran Draco dan kekiasaran North nyaris dimenangkan oleh pihak lawan. Sekarang aku bisa melihat buktinya. Betapa kami terdesak sampai-samapi pihak lawan mampu dengan mudahnya menyerang tenda.

Aku merentangkan tangan. Sembari merapal beberapa mantra, simbol-simbol lingkaran dengan huruf dan angka yang melingkar rumit muncul berwarna biru terang. Aku berusaha memunculkan perlindungan pada wilayah ini. Mungkin tak akan berefek apapun karena kami telah diserang. Setidaknya, ini akan mampu mengantisipasi apabila ada serangan panah jarak jauh atau pasukan tambahan dari musuh.

Tapi aku berharap, aku juga bisa membantu orang-orang yang terjebak di dalam. Mungkin jika Liliana bisa melakukan sihir pengobatan, aku bisa mengaplikasikannya. Sayangnya, aku tak mengerti. Sebab sedalam apapun aku mencoba mengurai ingatan Liliana, sepertinya gadis itu belum pernah mencobanya.

Huh, akhirnnya sudah selesai. Aku membuka mata. Melihat ke sekeliling. Dengan mataku, aku bisa menatap pendaran samar-samar sihirku di beberapa bagian. Syukurlah. Tidak ada yang bisa memasuki wilayah ini tanpa persetujuan, juga keluar. Tempat ini akan menjadi tempat terbatas yang bahkan penyihir level tinggi tak akan bisa menembusnya.

Menolehkan kepala, aku berusaha mengingat jalan mana yang tadi dilewati oleh Elazar dan juga Alardo. Sepertinya arah selatan. Dari sana, aku juga bisa medengar teriakan orang-orang. Bergegas, aku melangkahkan kakiku menuju tempat itu.

Namun ada yang salah. Dadaku terasa sesak. Jantungku berdentum cepat. Rasa panas menyeruak dari perut hingga paru-paru. Ada apa? Kenapa tubuhku tiba-tiba menjadi seperti ini?

Aneh. Liliana selama ini selalu sehat. Tak ada indikasi jika ia mengidap penyakit dalam. Lantas mengapa sekarang tubuhku serasa akan ambruk begitu saja?

Argh!

Panas. tubuhku rasanya terbakar. Tersungkur. Ambruk. Tidak seseorang, tolong aku!

Aku tak bisa menahan rasa sakit dan perih ini. Pandanganku memburam. Semuanya menjadi putih. Elazar … Margareth … ayah … ibu … siapapun, tolong aku!

***

Zras!

Satu musuh berhasil ditebas oleh pedang Elazar. Darah terciprat. Namun sama sekali tidak melambatkan gerakannya dalam menangkis serangan musuh yang lain.

Ada begitu banyak pasukan yang hendak membunuhnya, sayangnya mereka hanya meregang nyawa dengan sia-sia di pedang Elazar.

Menggeram bengis, Elazar melamparkan tatapan tajam pada anak panah yang menghujani. Entah apa yang dipikirkan musuh, mereka begitu percaya diri akan segalanya. Elazar merentangkan tangan. Memanggil petir. Menyerang siap saja yang hendak melukainya. Sudah banyak goresan dan darah menetes dari tubuhnya. Entah itu miliknya sendiri maupun orang lain. Elazar tak peduli. Yang jelas, dia harus mengakhiri pertempuran ini dan kembali pada selir itu.

Argh!

Para pasukan seakan disengat oleh listrik bertegangan tinggi. Beberapa ada yang pingsan bahkan sebagian yang lain nampak gosong dan juga tak bernyawa. Bunyi pedang yang awalnya bergemuruh itu berhenti sejenak, lantas memandang pada Elazar ngeri. Kekuatan yang baru saja dikeluarkan oleh Elazar bukan hanya hebat namun juga bagaikan monster.

Masalahnya, para pasukan musuh sudah kehilangan nyaris separuh tentara. Jumlah mereka yang awalnya lebih unggul, kini kalah telak. Keadaan berbalik.

Sang jendral yang menyadari situasi, kemudian meniup sebuah peluit seolah sebagai pertanda. Entah apa itu, yang jelas kini pasukan musuh tengah berlari tunggang langgang menjauhi barak.

Dasar. Pengecut!

Elazar menggeram marah. Ia lalu berlari mengejar sang jendral angkuh itu dan hendak melibasnya. Namun, langkahnya kalah cepat dengan kuda jantan yang ditunggai oleh Alardo. Lelaki berstatus komandan itulah yang bertempur satu lawan satu dengannya. Tak lama denting pedang kebali beradu.

Para pasukan tentu saja tak mau membiarkan musuh untuk melarikan diri. Mereka mengejar dan kembali menumpahkan darah satu sama lain. Begitupun dengan Elazar. Tak lagi memerdulikan sang jendral, biarlah orang itu diurusi oleh yang merasa berhak. Hanya saja, ia baru menyadari sesuatu. Ada yang aneh.

Selama beberapa menit, Elazar mengamati. Jumlah pasukan semakin berkurang. Dan entah bagaimana hujan panah yang tadi sempat membuatnya marah dan terluka, tak lagi terasa. Apakah para pemanah musuh juga terkena sambaran petirnya? Tidak. Petir miliknya hanya cocok untuk perlawan beberapa meter. Dia baru menguasainya. Belum benar-benar mampu mengembangkannya. Seharusnya para tentara pemanah itu jaraknya ratusan meter darinya.

Dan … Elazar juga baru menyadari. Tubuhnya kembali sehat. Luka-lukanya mendadak pulih tanpa meninggalkan kecacatan apapun. Tenanganya yang semula terkuras, mendadak normal seutuhnya. Ada apa ini?

"Kekuatan suci!"

"Dewa memberkati tempat ini!"

"Dewa berada dalam kekuasan ini!"

Sementara itu, para pasukan malah melepas pedangnya kemudian berterima kasih seutuhnya atas nama tuhan. Tak hanya para ksatria yang berseragam kerajaan Draco, tentara musuh yang juga merasakan hal samapun, juga melepas pedang dan menunduk dengan segala pujian pada dewa.

Elazar begeming. Bingung dengan situasi yang mendadak berubah. Tak lagi ada dentingan besi pedang. Juga cipratan darah dan teriakan sana-sini.

Orang-prang berkata bahwa ini kekuatan ilahi. Milik dewa. Hanya dewalah yang bisa menggunakan kekuatan ini dalam skala besar.

Namun … mengapa Elazar juga merasakan seusatu yang lazim baginya?

Sihir.

Ada campur tangan sihir atas semua ini. Padahal, bukankah kekuatan sihir dan ilahi tidak akan pernah bisa disatukan?