Butuh setidaknya tujuh jam perjalanan menggunakan kuda untuk sampai di medan perang dan lokasi para prajurit kekaisaran Draco. Punggungku rasanya begitu pegal tapi aku menahan diri untuk tidak mengeluh. Di sini, situasiku bukanlah yang terburuk. Bisa kulihat tepat arah jam Sembilan, ada seorang yang tengah dirawat. Dan luka yang menganga lebar itu, entah mengapa membuat persendianku linu.
"Maaf, apakah saya membuat Anda menunggu, Yang Mulia?" sapa seorang berperawakan tinggi dengan rambut berwarna hitam pekat juga mata hijau lembut. Dia masih memakai zirah. Beberapa bercak darah terlihat menempel di beberapa tempat pakaiannya itu.
Rasa ngeri menyelubungi relung hati. Biar bagaimanapun aku menahannya dan mencoba berpikir positif jika ini adalah medan perang. Jadi wajar-wajar saja kalau ada banyak darah yang menempel di tubuh. Tapi tetap saja, sebagai manusia modern abad ke-22, tak bisa dengan tenang mencium bau anyir darah dan teriakan kesakitan dari para prajurit yang terluka. Ugh!
"Yang Mulia?"
"Ah." Aku tersadar dari lamunanku. Kembali memandang pria bermata hijau lembut itu. Hm, kenapa aku tidak asing? Mungkinkah dia termasuk tokoh penting dalam novel? "Saya tidak apa-apa, Komandan."
Orang dihadapanku ini adalah komandan pasukan perang saat ini. Pimpinan tertinggi setelah jenderal. Seharusnya aku menemui sang Jenderal namun kata orang-orang, untuk masalah logistik sebaiknya diskisakan saja dengan komandan karena jenderal adalah orang yang tidak mau repot-repot memikirkan hal remeh temeh.
Mengingat itu membuatku mendengus. Remeh temeh katanya? Aku penasaran orang seperti apa dia. Sampai-sampai meremehkan makanan dan juga obat-obatan di situasi mencekam seperti ini.
"Perkenalkan saya Alardo Damaresh Grandia. Komandan perang saat ini."
"Al—Alardo katamu?" Aku tergagap mengeja nama itu. Jika dia Alardo Grandia berarti dia merupakan musuh Elazar dalam memperebutkan tahta dan juga cinta.
Karena kekosongan kursi penerus, Alardo sebagai anak laki-laki yang memiliki kekerabatan terdekat dengan kekaisaran sempat digadang-gadang akan meneruskan tahkta. Dia bahkan sudah mendapatkan pendidikan sebagai penurus kekaisaran—bukan Grand Duke. Dan hal inilah yang mengakibatkan konflik di masa mendatang. Sebab Alardo juga merasa berhak untuk memakai mahkota pangeran.
"Benar, Yang Mulia."
Alardo mengangguk dengan santun. Aku menarik napas lalu mengembuskannya. Mencoba untuk tenang. Karena Alardo adalah karakter favoritku setelah Elazar. Rasanya mau meledak ketika menyadari tengah berada pada tempat di mana kedua orang itu berada.
"Saya dengar Yang Mulia hendak menukar beberapa rempah dan juga obat-obatan dengan tentara."
Alardo memulai pembahasan. Aku mengangguk canggung. Bagaimanapun kesadaranku rasanya baru saja kembali dari kegembiraan sebab melihat Alardo.
"Ada beberapa prajurit dan pelayan kami yang sakit. Sementara persediaan obat sudah tidak mencukupi."
"Yang Mulia, saya mengerti."
Mengembuskan napas lega. Ternyata semudah ini. Kekhawatiran Elazar itu tidak benar.
"Tapi, balai pengobatan dan logistik di sinipun juga tengah mengalami krisis. Kami tak mungkin bisa menukar barang-barang itu."
Aku tercengang. Rupanya, Alardo menolak permintaanku. Padahal tadi sudah dengan lantang bersenang-senang karena gelagatnya yang hendak menyetujui. Cih, sepertinya ini akan sulit.
"Tak bisakah kau membaginya sedikit saja. Ketika prajurit dan pelayan itu pulih, aku pasti akan mengirimkan mereka sebagai bala bantuan."
"Saya mengerti. Tapi saya tidak bisa."
Aku mencengkarm erat kedua tanganku. Alardo begitu kekeh untuk menolak. "Kenapa? Bukankah ini sama saja mengobati prajurit untuk perang?"
"Benar," Alardo mengangguk setuju. "Namun saya tidak bisa percaya begitu saja dan menyetujui usulan dari Anda."
Tatapan hormat itu berganti dengan kilauan mencemooh. Jenis tatapan mata yang biasa kulihat dari bangsawan kelas atas. Ah, bagaimana aku bisa lupa bahwa Alardo adalah anak dari Grand Duke Grandia yang merupakan keponakan langsung dari kaisar.
"Alardo … kau tau? Perilakumu yang seperti ini, sama sekali tidak pantas untuk melanjutkan posisi kaisar." Rahangnya mengeras. Kuncian mata tajamnya menghujam namun aku sama sekali tidak takut. Bagaimanapun dia adalah orang yang baru saja melemparkan kesinisan langsung. Untuk apa aku menakutinya?
Aku berdiri. Sudah tidka ada lagi yang ingin kubahas. Mood-ku rasanya sudah hancur. Katakter favorit nomor dua sudah kuhapus secara permanen dari hati. Lihat saja, orang ini tak akan terlewat dari pandanganku. Hish!
"Kalau begitu, saya permisi. Karena Anda menolak penawaran saya, maka saya berhak menarik kembali tentara yang saya bawa. Dan mungkin mengabarkannya pada kaisar."
Menyeringai, Alardo pasti menyadari, aku mengancamnya. Menggunakan nama kaisar juga para prajurit. Sekalipun harga diriku terluka tapi aku tetap tidak bisa meninggalkan tempat ini dengan tangan kosong.
Banyak orang yang menanti pengobatan di sana. dan akupun telah melakukan perjalan yang cukup jauh ke sini. Lantas buat apa semua pengorbanan itu?
Hanya karena dihina, bukan berarti aku mengorbankan keselamatan dan kesehateraan orang banyak. Aku tak seegois itu.
Saat langkahku hendak keluar, suaranya menahanku. "Baiklah. Saya akan menukar beberapa obat-obatan dengan para tentara." Aku melebarkan senyum. Ternyata dia pintar juga. "Meskipun saya tau jika para tentara itu adalah hak kami tapi karena Yang Mulia Selir Pertama sepertinya sangat membutuhkan obat-obatan, saya akan memberikannya secara cuma cuma."
Hah?
Apa tadi katanya? Aku meminta? Jadi maksudnya aku sama dengan pengemis begitu? Sialan! Lelaki itu benar-benar tak ingin kubiarkan. Pintar sekali dia memancing emosiku.
Menerbitkan senyum menahan kesal, aku hanya mengangguk dan menghampirinya kembali. Melayangkan kesinisan sekaligus permusuhan. Mulai detik ini, aku tak akan menyukai lelaki bernama Alardo Damarish Grandia!
"Senang Anda menyetujuinya," desisku. Mengangsurkan tangan kanan hendak menjabat tangannya.
Alardo membalas dengan seringai. Lantas tangannya yang masih terkunkung oleh zirah menyambut tangaku. Hawa dingin berdesir dari sana. Cengkraman besi itu seakan hendak mengungkungku erat-erat.
"Saya menunggu Anda membantu kami di medan perang, Yang Mulia."
Mendengus dan melepaskan untaian tangan. Aku menatap nyalang padanya. "Tentu saja. tunggu saja kedatanganku."
Kemudian aku keluar dari tenda. Di luar, Elazar menyambutku. Wajahnya tanpa ekspresi melihatku. Entah ekspresi macam apa yang terpasang saat ini. Kenyataannya aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa sebalku pada Alardo.
"Panggilkan penanggung jawab unit pengobatan dan logistik. Suruh mereka untuk menyiapkan satu karung rempah dan obat-obatan untuk Yang Mulia Selir Pertama," titah Alardo. Rupanya dia telah menyusulkuke luar.
Aku hanya mendengus melihatnya. Mengabaikan dan lebih memilih kembali ke kuda-kuda yang telah kami parkirkan tak jauh dari sini. Tak berpamitan pada komandan atau orang-orang di sini. Biarkan saja Elazar yang akan membawa karung dan obat-obatan. Cukup. Aku tak mau melihat mata merendahkan seperti tadi. Cukup dari Alardo saja. Jika tidak, mungkin aku akan memutuskan sebagai penjahat kekaisaran!
"Yang Mulia, senang bertemu Anda."
Alardo rupanya mengikuti. Aku mencebik sengit. "Ya. kembalilah. Tak usah bersikap ramah kepadaku," usirku.
Alardo hanya mengangguk-angguk dan memasang senyum misterius.
"Komandan, tentara kekaisaran North menyerang kita!" Seseorang melapor dengan panik. Beberapa detik kemudian suara teriakan dan pedang bersahut-sahutan.
Ah, aku lupa. Ini kan medan perang!