"Yang Mulia, jangan. Berbahaya!"
Aku menghela napas berat. Lalu memicing menatap Margareth jengkel. "Aku tahu. Tapi kamu tidak perlu cemas."
Aku mengeluarkan tongkat pemberian kaisar dengan sihir. Ada alasan mengapa aku begitu percaya dirinya untuk ikut ke medan perang yang kejam itu, ya karena kekuatan Liliana. Jika tanpa kemampuan yang dahsyat ini, aku pasti sudah sangat bingung.
Perlu waktu tiga minggu untuk membiasakan diri, sekarang aku sudah sangat mahir menggunakan sihir.
"Gareth, tetap di sini. Dan kalian, jika ingin mengikutiku, majulah. Sisakan dua orang untuk menjaga pelayanku!" titahku pada sisa prajurit.
Mereka tentu mendengar perintahku. Meskipun kadang dipandang sebelah mata namun seorang ksatria sejati tidak akan mengabaikan perintah majikannya. Dan aku adalah salah satu dari majikan mereka.
"Brr!" suara itu nyaring terdengar kembali.
Aku semakin mengencangkan langkahku. Bahkan teriakan Margareth yang ada di belakang sana tidak terdengar jelas. Bersama beberapa prajurit kami menyusul asal suara itu.
Sebuah pohon besar di depan bergoyang hebat. Aku menghentikan langkah. Tak berapa lama, raksasa Ogre datang. Bentuknya besar dan berwarna hijau dengan gigi taring di wajah. Meneguk ludah gugup, aku berusaha untuk tenang.
Jantungku berdebar kencang. Kacau. Padahal ini bukanlah medan perang yang sesungguhnya. Aku hanya bertemu monster. Tapi tubuhku sudah bergetar ketakutan.
Memalukan!
Padahal akulah orang yang meminta kaisar untuk ikut serta dalam perang.
"Yang Mulia, kami akan melindungi Anda!"
Dua orang prajurit maju. Berusaha melindungiku dari Ogre yang berjalan mendekat.
"Brr! Brr!"
Suaranya kencang di telinga. Tanah bergetar akibat goncangan kakinya. Raksasa itu semakin cepat menuju kami.
Aku mengatur napas. Ayolah Liliana. Jangan lembek. Siapkan kekuatanmu!
Aku menyemangati diriku sendiri lantas menyiapkan tongkat. Dan BRUK!
Ogre itu tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Kilat putih nampak dari kegelapan dibalik tubuh Ogre itu.
Kembali merinding, apa itu? Mungkinkah itu monster yang lebih berbahaya dari Ogre? Dan apakah para pengawalku telah dihabisi semuanya. Oh ayolah otak. Berpikir positive!
Para ksatria menyiapkan pedangnya. Dan aku dengan tongkatku. Cahaya kilat putih semakin banyak menyelimuti. Tidak menyerang kami. Seakan mencoba mengatakan bahwa dia tidak akan menyakiti.
Entah bagaiaman otakku kembali memutar salah satu adegan heroik yang ada di dalam novel.
[Matahari bersinar terang di langit. Tapi jelas cahaya yang baru saja menolongnya adalah sebuah petir. Lalu dia menolehkan kepalanya ke sebuah suara langkah kaki mendekat. Seorang pemuda berambut hitam dengan warna mata merah menyala datang. Di tangan kanannya terdapat kilat petir berwarna perak yang tadi menyelamatkannya.
Elazar Nicholas Draco.]
Itu adalah scane di mana dua pemeran utama saling bertemu untuk pertama kalinya. Dan entah mengapa kejadian itu nyaris sama seperti saat ini.
"A—apa itu?!" Prajurit di sampingku berjengkit kaget. Tentu saja. Seorang pria datang membawa petir di tangannya. Dan itu … hanyalah kekuatan yang bisa dimiliki oleh keluarga kekaisaran.
Berkah Naga Agung.
Aku tak percaya, bisa melihatnya secara langsung. Bukan di dalam novel. Tapi live di depan mataku! Tuhan, terima kasih telah memberikan hidupan kedua ini. Hiks!
***
Aku mengamatinya. Elazar Nicholas Draco benar-benar sama seperti penggambaran dalam novel. Rambut hitam legam dengan mata merah menyala. Sangat indah. Nampak menakutkan sekaligus menawan. Seperti seorang iblis yang mengerikan namun teramat menggoda.
"Ehem, apakah kau bisa berhenti untuk memandangiku seperti itu?"
Elazar mengusap sisa remahan makanan yang berada di sekitar mulutnya. Iya. Setelah berhasil menumbangkan raksasa hijau Ogre sendirian, aku mengajaknya untuk ikut dalam rombongan kami.
"Maaf."
Aku tersenyum simpul. Lalu mengalihkan pandangan pada sekitar. Setelah kejadian Ogre itu, para prajurit lebih meningkatkan kewaspadaan. Beberapa berjaga di sekitar dan yang lainnya beristirahat lebih awal untuk pergantian shift nanti.
Hm, tugas ksatria bukanlah hal yang mudah.
"Jika boleh tahu, bagaimana Anda bisa berada di tengah hutan malam-malam dan melawan Ogre sendirian?" tanyaku akhirnya.
Sebenarnya aku sudah tahu dari novelnya sih. Tapi aku benar-benar ingin berbicara dengannya.
"Aku tersesat dan terpisah dari rombonganku."
Romongan yang dimaksud adalah rombongan tentara bayaran yang menaunginya. Saat ini Elazar masihlah seorang tentara bayaran. Namun segera setelah kekuatan itu dipergunakan di medan perang, dirinya yang sebenarnya pangeran akan segera diketahui banyak orang.
Tapi berhubung rencanaku adalah membawanya ke istana kekaisaran dan membuatnya naik takhta secepatnya, maka aku tidak akan menunggu sampai saat itu.
Aku mengembangkan senyum lebar sampai mataku tertutup sempurna.
"Kau … kenapa tersenyum mengerikan begitu?"
Aku? Mengerikan? matanya buta, ya? Wajah Liliana adalah wajah terindah yang pernah aku lihat tau! Berani-beraninya dia mengatakan wajah yang tersenyum ini mengerikan. Ah, lupakan. Sekarang fokus dengan apa yang ingin dilakukan.
Mengembuskan napas, berusaha bersabar, aku menatap mata merahnya tenang. Jenis mata yang sangat berbeda dengan kaisar yang sewarna laut dalam.
"Anda … apakah tidak penasaran dengan identitas Anda?" ucapku mencoba memprovokasinya.
Setahuku Elazar dibesarkan oleh seorang nenek yang tidak memiliki ikatan darah apapun dengannya. Lalu saat usianya menginjak dua belas tahun, sang nenek meninggal hingga dirinya terpaksa hidup mandiri di usia yang cukup dini. Makanya saat remaja, Elazar sudah bergabung dengan tentara bayaran untuk menyambung hidup.
Dia sama sekali tidak mengetahui identitasnya yang sebenarnya.
Jika menilik kembali kisah hidupnya, aku cukup miris. Penggambaran masa kecil Elazar itu cukup menyakitkan.
Namun….
Elazar masih saja melanjutkan makannya. Tak peduli. Ck, persis seperti penggambaran di novel.
Elazar Nicholas Draco benar-benar orang yang paling cuek di muka bumi ini. Bahkan jika ada orang yang menyebutkan tentang keluarganya yang misterius, dia masih saja bergeming. Satu-satunya yang bisa menjadi pusat perhatiannya hanyalah pemeran utama wanita. Aurora Rose.
"Hei, dengarkan aku."
"Hm."
Elazar masih saja fokus pada makanan itu. Aku berdecak. Kesal sekali. Ini adalah salah satu sifat Elazar yang paling kubenci. Dan aku tidak percaya harus menghadapinya saat ini. Jam ini. Detik ini. Tuhan, kumohon berikan kesabaran lebih luas lagi pada diriku.
"Elazar Nicholas. Aku tahu siapa kamu."
Berhasil. Elazara mengalihkan atensinya dari makanan itu. Yes! Akhirnya dapat perhatian juga.
"Dari mana kamu tahu namaku?"
Sekarang, aku merutuki bibirku. Kenapa aku main sebut namanya sih?! Padahal sejak bertemu beberapa saat yang lalu, Elazar belum sekalipun menyebukan namanya. Sial!
"Itu karena … aku adalah penyihir."
Hanya itulah alasan yang kupunya. Setahuku seorang penyihir bisa mengetahui masalalu dan masadepan seseorang. Jadi aku harus memanfaatkannya.
Elazar menganggukkan kepalanya. Mengerti. Dan juga nyaris tak peduli.
Heh, orang ini benar-benar mengikis kesabaran, ya?!
Tanganku mengepal erat. Agaknya keacuhan Elazar sudah cukup menjadi kayu bakar untuk amarahku yang mudah sekali meletup.
Kenapa sih penulis harus menciptakan karakter semenyebalkan dia?!
"Elazar Nicholas. Ah, bukan. Yang Mulia Elazar Nicholas Draco. Pangeran pertama dan satu-satunya dari kaisar saat ini."
Aku mengatakannya dengan kesal. Dan tanpa sadar nada suaraku menjadi naik beberapa oktaf. Suasana tengah tenang. Tentu saja itu membuat orang-orang di sekitar mendengar apa yang kukatakan.
Ugh, sial!
Saat ini, semua orang tengah memandang kaku ke arahku. Lalu si cuek Elazar, juga menghentikan makannya dan mata merahnya beralih padaku. Tajam. Mematikan. Seakan siap menelanku hidup-hidup.
Lalu bulu kudukku merinding.