Baginda Kaisar memang mengizinkanku untuk ikut serta dalam perang. Tapi sampai akhir pelaku pembunuhan yang terjadi di kamarnya, sama sekali tak dibahas. Seolah kaisar sudah tahu siapa dalangnya dan berniat menutupi segalanya.
Argh!
Itu membuatku muak.
"Yang Mulia Selir Pertama, semua persiapan sudah selesai."
Ah benar. Sekarang aku tengah bersiap untuk ikut dalam perang. Kebetulan hari ini istana hendak mengirim prajurit tambahan, maka kaisar menugaskanku untuk segera ikut serta.
Aku menghela napas panjang. Yah, memang sih aku yang meminta sendiri untuk ikut perang tapi aku sama sekali tidak menyangka jika itu hari ini juga.
Apa mungkin seharusnya aku tidak usah sok-sokan mengajukan diri? Argh! Tidak, tidak. Jika aku tidak ikut ke medan perang, maka nyawaku pasti akan segera dihabisi oleh para bangsawan itu. Setidaknya jika aku ikut, maka ada yang bisa kulakukan.
Jadi, calm down.
"Yang Mulia?" Aku menoleh pada pelayan yang mendandaniku. Margareth namanya.
"Ya?"
"Apakah Anda yakin untuk mengikuti perang di perbatasan?"
Margareth menatapku cemas. Aku hanya memasang senyum simpul. Aku mengerti mengapa Margareth berperilaku demikian. Gadis yang kuperkirakan baru menginjak usia dua puluhan tahun itu adalah orang yang paling dekat dengan Liliana De Chastine di istana yang suram ini.
Seorang maid yang benar-benar melayani Lily paling tulus yang pernah aku lihat selama mendiami tubuhnya. Meskipun Liliana sudah meninggalkan raga ini, namun kadang kala ada perasaan yang tersisa. Contoh perasaan persaudaraan yang terbangun antara dirinya dengan Margareth.
"Lebih baik ikut ke medan perang dari pada hanya menunggu di sini, kan?"
"Yang Mulia …," panggil Margareth dengan putus asa. "Kalau begitu, tolong bawa saya. Meskipun saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan di sana tapi saya berjanji tidak akan merepotkan Anda."
"Kamu masih belum jera untuk memohon ikut?"
Terhitung ini adalah ketiga kalinya. Rupanya Margareth adalah gadis yang gigih.
"Saya mohon Yang Mulia. Saya pasti tidak akan merepotkan Anda!"
Aku menghela napas panjang. "Baiklah. Silahkan saja."
"Terima kasih, Yang Mulia! Saya akan segera bersiap!"
Margareth cepat-cepat keluar dari kamar. Semangatnya sangat membara. Sepertinya dia benar-benar ingin ikut ke medan perang.
Padahal tempat itu bukanlah tempat yang baik bagi seorang gadis rumahan seperti Margareth. Namun demi Liliana, gadis itu meminta ikut. Aku iri. Persahabatan yang mereka jalin benar-benar sangat harmonis.
Di dalam novel, tak ada penjelasan apapun tentang mereka. Karena mereka … hanyalah karakter-karakter tidak penting yang namanya bahkan tidak disebutkan sama sekali.
Ah sudahlah. Memikirkan itu membuat kepalaku pening.
***
"Lily, kemarilah."
Kaisar memanggilku ke atas singgananya. Aku lekas berdiri dari posisi bungkuk dan mematuhi apa yang diperintahkan.
Kaisar menatapku dengan mata biru tenangnya. "Bawalah ini bersamamu."
Kaisar Arthur mengulurkan tangannya. Tak lama, cahaya emas keluar dengan indah. Lalu tongkat dengan ujung berbentu bulan sabit muncul.
Apakah itu tongkat sihir? Indah sekali.
Kaisar menyerahkan tongkat sihir itu padaku. Aku menerimanya. Tak hanya indah. Sebagai seorang penyihir, aku bisa merasakan kekuatan mengalir di dalam tongkat ini.
"Itu adalah tongkat sihir milik nenekku. Permaisuri Adara. Bawalah. Hanya itu yang bisa kuberikan padamu."
Permaisuri Adara? Siapa itu? Entahlah. Mengangguk saja. Toh juga mendapatkan tongkat yang indah. Sudah sepatutnya aku berterima kasih, kan?
"Terima kasih atas hadiah yang luar biasa ini, Baginda. Semoga tongkat ini memberikan manfaat kepada kekaisaran ini." Aku kembali menunduk, sebagai penghormatan.
"Kembalilah dengan selamat."
Aku tersenyum kepada Kaisar Arthur. Lalu kembali ke tempat di mana aku berdiri tadi. Semua orang telah bersiap untuk menyusul ke medan perang. Ada setidaknya lima puluh prajurit yang datang bersamaku sebagai bala bantuan ke tempat pertempuran darah itu.
Pertempuran yang sudah terjadi bertahun-tahun lamanya namun belum juga terlihat tanda-tanda akan berakhir.
Aku tidak tahu. Apa yang akan menungguku di sana. Namun aku memiliki tujuan. Membawa pemeran utama laki-laki untuk menaiki tahta hingga aku tak perlu mengorbankan nyawa demi mematahkan kutukan kaisar.
Semoga aku berhasil. Karena aku tidak memiliki niat untuk mati lagi. Cukup hanya satu kali. Aku tak mau mengulanginya. Setidaknya di waktu dekat ini.
***
Ugh, punggungku! Rasanya ingin lepas dari tempatnya. Berkuda dan naik kereta selama berhari-hari cukup membunuhku. Sumpah. Rasanya nyeri sekali. Encok di sana-sini.
Kenapa sih di dunia ini tidak ada pesawat terbang atau kereta api? Untuk apa mengendarai kereta kuda dan kuda untuk menempuh jarak berkilo-kilo meter. Jika aku tahu tempatnya sejauh ini, aku pasti tidak akan mengajukan diri. Sialan!
"Yang Mulia. Silahkan diminum."
Margareth menyerahkan air hangat padaku. Asap masih mengepul. Saat ini kami tengah beristirahat di hutan antah berantah. Malam sudah semakin larut dan para rombongan memutuskan untuk beristirahat. Mendirikan tenda dan juga memasak.
"Kapten, berapa lama kita akan tiba di medan perang?" tanyaku pada Mike, kapten perjalanan saat ini.
"Jika lancar, besok sore kita sudah berkumpul dengan prajurit lainnya."
Aku mengangguk mengerti. Memandangi sekitar, semuanya gelap gulita. Hanya api yang digunakan untuk memasak satu-satunya sumber cahaya di sekitar sini. Api itu mengingatkanku dengan api unggun.
"Brr!"
Aku menoleh pada sumber suara. Arah jam tiga. Arah di mana aku medengar suara aneh itu. mengamatinya namun aku tak melihat apapun. Nihil. Kosong dan hanya kegelapan yang ada.
"Brr!"
Kembali. Aku mengamatinya. Bahkan berdiri hendak ke tempat itu. Perasaanku mendadak tak nyaman. Seolah sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
"Yang Mulia, Anda akan ke mana?" tanya Margareth. Memegangi tanganku. Iris cokelat terangnya menatapku penasaran.
"Aku tadi mendengar sebuah suara."
"Suara? Suara apa?"
"Entahlah. Makanya aku harus memastikan." Aku kembali hendak melangkah. Namun Margareth menahanku. Alisku naik salah satu. Heran dengan tingkahnya. "Ada apa. Gareth?"
"Jangan, Yang Mulia. Di sana gelap."
"Brr!" Suaranya semakin jelas. Kini bukan hanya aku aja yang menoleh pada sisi itu. Melainkan Margareth dan para ksatria juga berjalan mendekat. Bersiap dengan pedangnya.
"Yang Mulia, sebaiknya para ksatria saja yang mendatangi suara itu," nasihat Mike.
Hal itu diangguki oleh beberapa orang yang lain dan juga Margareth. Aku menghela napas. Mengalah. Mereka mungkin masih meragukan kemampuanku. Bagaimanapun Liliana hanyalah gadis berusia 18 tahun. Baru menginjak usia dewasa. Terlebih dirinya belum pernah menggunakan sihir di tempat umum. Pastinya orang-orang hanya menganggapnya sebelah mata.
Sebagian ksatria mengikuti Mike untuk datang ke asal suara. Sementara yang lain menunggu di sini bersamaku. Menjagaku jikalau ada hal-hal yang tidak dikehendaki. Bagaimanapun aku masihlah bagian dari keluarga kaisar. Meskipun hanyalah berstatus Selir Pertama. Tetap saja. Aku istri kaisar.
"Brr!"
Aku menoleh kembali. Suara itu semakin nyaring memekakkan kuping. Rasanya gendang telingaku hampir bolong. Ada apa itu?
"Gareth, apa mungkin mereka gagal?" tanyaku pada Margareth yang juga berwajah pucat.
"Naga Agung, lindungi kami."
Margareth mengepalkan kedua tangannya dan berdo'a. Aku hanya memandang sekilas. Bingung dengan tingkahnya. Bukannya memikirkan sebuah rencana untuk menyelamatkan diri, dia malah berdo'a.
"Argh! Brr!"
Sepertinya do'a Margareth tidak terkabul. Buktinya suara misterius itu semakin memekakkan telinga hingga membuat bulu kudukku meremang.
"Gareth, aku harus menyusul mereka!"