Sonya tertegun di ujung tangga, saat melihat sang suami tengah duduk di sudut bar dan minum sendirian. Wanita yang telah mengenakan lingerie warna putih tulang lengkap dengan outernya itu melirik ke arah jam dinding berukuran besar yang tidak terlalu jauh dari Bara berada. Waktu menunjuk pukul satu dini hari.
"Kapan Papa pulang?" tanya Sonya, seraya menghampiri lelaki berkemeja biru itu.
"Oh ... kemarilah! Temani aku minum," sahut Bara, begitu melihat istrinya mendekat.
"Kenapa minum di tempat gelap? Bukannya menyalakan lampu."
"Jangan!" serunya, membuat Sonya urung menekan saklar lampu untuk menyalakan penerangan.
Lagi-lagi Bara bersikap aneh dan tidak seperti biasanya. Sepertinya ia sedang banyak menyimpan permasalahan dalam kepalanya hingga kini melampiaskannya dengan minum-minum sendirian di dalam rumah.
"Apa yang sedang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini, Pa? Kulihat belakangan ini kau kacau sekali," tanya Sonya, saat sudah duduk di kursi sebelahnya.
Bara tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah mengambil satu gelas baru untuk kemudian menuangkan cairan dari dalam botol berwarna merah yang agak pekat beraroma sedikit menyengat.
"Pa ...."
"Minumlah! Aku sedang malas minum di luar."
"Sore tadi aku sudah minum dengan teman-temanku. Kau kan, tahu kalau aku tidak bisa minum terlalu banyak, Pa."
"Oh!" Lelaki bermata sayu itu hanya mengangguk pelan, lalu meraih gelas yang sebelumnya ia tawarkan untuk Sonya kemudian menenggaknya hingga habis tak bersisa.
"Sebenarnya ada masalah apa denganmu, Pa? Selvi bilang ... Papa tidak ke kantor sejak kemarin. Apa yang terjadi?"
"Kau ke kantor?"
"Tidak. Selvi yang menelepon ke rumah karena tidak bisa menghubungimu. Mungkin dia merindukan kehadiran bos kesayangan di ruangannya," sahut Sonya, sembari melirik sinis dari sudut mata.
Bara terkekeh mendengar ucapan istrinya yang masih saja menyimpan kecemburuan sejak lama pada sekretaris seksinya itu. Sonya terlalu cerdas untuk tidak menangkap gelagat aneh yang terjadi di antara dirinya dengan sang asisten pribadi. Ia pun menyadari hal itu.
"Apa yang ingin kau katakan?"
"Tidak ada." Sonya menyahut dengan cepat, tidak ingin terpancing dan akhirnya terpantik oleh ucapannya sendiri.
"Bagaimana dengan temanmu itu, Pa? Dia ... beneran bisa kerja, kan?"
"Hmm? Oh ... Reno maksudmu. Apa kau pikir perusahaanku mau menerima seseorang yang tidak kompeten? Aku membayar mahal pada mereka yang bekerja, bukan yang cuma main-main dan makan gaji buta."
"Bukan begitu maksudku, Pa."
"Menurutmu ... kenapa mereka masih bertahan dalam kondisi yang seperti itu, Ma?"
"Maksudnya?" tanya Sonya, tidak mengerti dengan arah pembicaraan sang suami yang sudah mulai meracau.
"Aku sedang membicarakan Reno dan istrinya."
"Reno? Memangnya ... kenapa dengan mereka?"
"Kau tak lihat? Keadaan mereka tidak baik-baik saja, Ma. Ada yang tidak beres dengan cara mereka memperlakukan anak yang tidak berdaya itu."
"Kenapa? Bukankah kita memang sudah tahu kalau hidup mereka memang sudah bermasalah dari awal? Papa sendiri yang bilang kalau mereka sangat membutuhkan bantuan, kan? Kenapa sekarang jadi sesuatu yang harus diributkan?"
"Aku tidak meributkannya. Hanya saja--"
"Papa sendiri yang bilang ingin memberikan mereka kesempatan, kan? Setidaknya sampai Reno cukup mampu untuk mencari tempat tinggal untuk mereka."
"Aku tahu."
"Lha, terus kenapa sekarang Papa membahasnya lagi? Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan, Pa?"
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa."
"Kamu tidak pandai berbohong, Pa. Ada apa? Yakin tidak ingin membicarakannya denganku sekarang?"
"Aku sedang tidak ingin bertengkar sekarang, Ma. Kepalaku sedang pusing," keluhnya.
"Itulah kenapa Papa minum sendirian di sini?"
"Apa maksudmu? Aku senang minum sendirian di sini. Kau pun tahu hal itu, kan?"
"Bukankah biasanya kau akan pergi ke bar dengan sekretarismu yang seksi dan cantik itu? Kau pikir selama ini aku tidak tahu?" gumam Sonya, seraya meraih botol minuman di tangan sang suami.
Bara tidak menyahut, hanya membiarkan saja saat jemari lentik itu menggenggam gelas kaca yang sempat ia tolak, tapi kini mengisinya kembali hingga separuh.
"Kau tadi bilang tidak akan minum denganku," gumamnya, mengingatkan wanita yang telah memberinya seorang putra itu.
"Aku hanya meminumnya sedikit," jawab Sonya, lantas meneguk cairan beraroma tajam itu dengan perlahan.
Mereka duduk berdampingan, masih dengan suasana temaram yang menyelimuti malam yang semakin dingin menusuk. Hanya detik jarum jam dinding yang mengiringi keduanya meski beberapa kali membungkam dalam jeda yang tidak terlalu lama.
"Kau sudah lama mengetahuinya, kan? Kenapa tidak bertanya atau memarahiku?" tanya Bara.
"Soal apa?"
"Selvi," sahutnya lirih, sembari sesekali menyesap minuman di tangannya.
"Untuk apa?" ucap wanita itu, lantas tertawa kecil dan menggoyang-goyangkan gelas di tangannya dengan perlahan.
"Entahlah. Bukankah setidaknya kau harus marah atau mendatangi perempuan itu dan menjambak ya seperti yang orang lain lakukan?"
"No!" sahut wanita itu dengan cepat.
"Kenapa?"
"Tanganku terlalu mahal untuk menyentuh perempuan murah sepertinya. Kau tahu benar bagaimana aku, kan?"
"Mungkin?"
Senyum di bibir wanita itu perlahan menghilang, lalu berganti dengan helaan napas yang terdengar begitu berat. Kesempatan seperti ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Kesibukan keduanya, mau tidak mau membuat waktu dan kebersamaan mereka seperti hal yang susah untuk dilakukan. Kecuali saat mereka harus bertemu di tempat tidur, itu pun hanya dalam hitungan jam saja.
"Papa sengaja melakukannya?"
"Aku tidak perlu mengatakan sesuatu yang kau sendiri sudah tahu kebenarannya."
"Kau berharap aku marah dan meninggalkanmu?"
"Tidak. Aku tahu kau tidak akan melakukannya."
"Oh, ya? Bagaimana kalau kau salah kali ini?"
"Aku tidak pernah salah menilaimu"
"Kau salah, Pa. Aku yang lebih mengenalmu dengan baik. Lebih dari siapa pun," ucapnya.
Bara seketika terkekeh mendengar ucapan Sonya yang terdengar sangat percaya diri. Wanita itu memang satu-satunya yang ia pertahankan hingga saat ini, pun menjadi ratu yang ia tempatkan khusus di dalam hatinya.
"Kau terdengar sangat percaya diri."
"Memang seharusnya begitu, kan? Sejak aku memutuskan untuk menerimamu sebagai pasangan hidup, aku sudah membiasakan diri dengan semua hal tentangmu sampai ke titik yang terburuk. Kau tahu betul bagaimana aku bertahan di sisimu, kan?"
"Kau menyesal?"
"Bagaimana denganmu? Adakah penyesalan seperti yang saat ini kau tanyakan?"
"Kenapa membalikkan pertanyaan? Aku ingin mendengar jawabanmu, bukan sebaliknya."
"Papa lihat aku menyesal?" tanya Sonya, seraya melempar senyum tipis.
"Aku tidak akan bertanya jika sudah mengetahui jawabannya."
"Kau bisa menemukan jawabannya dari mataku. Senyum bisa menipu pandangan, tapi tidak dengan tatapan mata. Bukankah begitu?"
"Bulu matamu terlalu tebal," jawab Bara, seraya tergelak kecil.
"Papa hanya tidak mau jujur saja. Kenapa tidak mau mengakuinya?"
"Kau tahu segalanya."
"Jangan bercanda. Kau yang sudah berubah jauh. Kita tidak lebih hanya dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama."
"Jangan memulainya lagi, Ma. Aku tidak ingin bertengkar denganmu sekarang."
"Kalau begitu ... temani aku ke atas. Aku ingin tidur denganmu," gumamnya lirih, dengan sorot mata yang sayu penuh rindu.
--