Chereads / She Called Me "Om Jae" / Chapter 23 - Pemergian

Chapter 23 - Pemergian

Dini terbangun oleh suara tangis Alika yang terdengar tidak begitu keras. Tetapi perempuan itu tersentak saat mendapati sang putri sudah tergolek tidak berdaya dengan kondisi yang menyayat hati.

"Maaaasss!" teriaknya, sembari mengusap cairan merah yang keluar dari hidup gadis mungil itu dengan tamgan yang gemetar.

"Mas Renooooo ...!" jeritnya lagi, saat sang suami tidak juga muncul setelah ia memanggil dengan keras.

"Apa, sih? Pagi buta sudah teriak-teriak!" Terdengar sahutan Reno yang kemudian muncul dari kamar sebelah, masih mengenakan kolor dan kaus dalam berwarna putih.

Begitu melihat keadaan yang terpampang di depannya, Reno tanpa pikir panjang segera mendekat dan membantu istrinya untuk menangani Alika yang makin lemah dan hanya bis menatap mereka dengan sorot mata yang layu.

"Kita ke rumah sakit! Aku pakai baju dulu," ucap Reno, setelah membantu istrinya menggendong putri mereka.

Dini tidak menyahut, lantas bergegas keluar kamar dan menuju ke halaman depan. Sementara Reno berbenah diri, lalu muncul kemudian dengan pakaian lengkap dan berjalan bergegas.

"Masuklah lebih dulu! Aku buka pintu gerbang."

Dini tidak banyak bicara. Ia menurut saja, masuk ke dalam mobil dengan terus memeluk tubuh Alika yang lunglai dan tidak lagi menangis seperti sebelumnya.

"Tahan terus handuknya, biar darahnya tidak kemana-mana," ucap Reno, saat telah duduk di kursi kemudi.

Tidak menunggu lama, mobil itu pun melaju kencang meninggalkan rumah yang pintu pagarnya masih dibiarkan terbuka. Reno berencana untuk memberitahu asisten rumah sebelah dan meminta tolong untuk mengurusnya nanti.

Tidak sampai setengah jam, mereka pun sampai di rumah sakit dan langsung mendapatkan pertolongan dari pihak medis. Selama proses penanganan Alika, tidak satu pun di antara Dini atau Reno diperbolehkan untuk masuk. Mereka hanya diizinkan untuk menunggu di kursi yang telah disediakan di luar ruangan.

"Anak kita akan baik-baik saja kan, Mas?" tanya Dini, dengan suara yang gemetar.

"Dia tidak akan apa-apa. Memangnya apa yang terjadi?" tanya Reno.

"Aku tidak tahu, Mas. Begitu bangun tidur, aku sudah menemukannya seperti itu," jawab Dini, masih dengan suara bergetar.

"Nggak tahu, gimana? Dia kan tidurnya sama kamu!" hardiknya.

"Iya. Tapi --"

"Makanya! Aku kan, sudah bilang dari dulu. Relakan! Relakan saja dia ...."

"Masa!?" jerit Dini, disusul dengan tangis yang histeris.

"Terus saja menangisinya seperti itu. Terus saja! Kau pikir anakmu itu akan sembuh seketika setelah air matamu habis? Dasar keras kepala!"

Sementara sang istri duduk bersimpuh begitu saja di lantai, lelaki itu memilih untuk menjauh dan bersandar di dinding rumah sakit yang bercat biru muda itu, mengatur emosinya yang naik turun.

"Ren! Reno!"

Reno langsung menoleh dan melihat Bara bersama istrinya berjalan bergegas mendekati mereka. Sonya langsung memeluk Dini, meski ia terlihat kepayahan karena tengah memakai heels tinggi.

"Ada apa?"

"Alika, Bu. Alika ...."

"Sudah, sudah. Biarkan para dokter yang mengurus Alika. Kita berdoa saja. Dia tidak akan apa-apa, Din. Percayalah," bisiknya lembut.

Aku tidak mau kehilangan dia, Bu. Aku nggak mau ...."

"Hush! Cup, cup, cup! Sudah! Jangan katakan apa pun. Kita duduk di sana saja, yuk!" ajak Sonya, bermaksud membujuk Dini agar mau duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan oleh rumah sakit.

Reno mendengkus kesal, lantas membuang muka ke arah lain meski kini sang sahabat telah berdiri di sampingnya. Bara menepuk bahunya dua kali,sebagai tanda atau sekadar bentuk rasa simpati.

"Tenanglah! Dia pasti akan baik-baik saja, Ren." Ucapan Bara terdengar lirih.

"Aku capek begini terus, Bar. Mau sampai kapan dia terus percaya kalau anaknya yang sudah sekarat itu bisa sembuh seperti anak-anak normal yang lainnya? Sampai kapan dia bangun dari mimpi bodohnya itu?" gerutunya, berharap sang istri tidak mendengar apa-apa.

"Sudahlah ...."

"Harusnya dia itu tahu, kalau dengan terus memaksanya bertahan hanya akan membuatnya merasa tersiksa. Dia nggak mikir ke sana!"

"Ssttt! Turunkan emosimu, Ren. Ini bukan saat yang tepat untuk meributkan hal seperti itu. Sebaiknya berdoa saja agar Alika mendapatkan yang terbaik."

"Lebih baik dia mati saja. Itu lebih baik dari pada terus hidup dengan bergantung pada obat-obatan seumur hidup dan merasakan sakit yang tidak ada habisnya."

"Dini! Dini ...." Terdengar suara jeritan Sonya.

Keduanya sontak menoleh dan melihat wanita itu berusaha menahan tubuh Dini yang tiba-tiba terkulai lemas, tak lama setelah mereka duduk di kursi.

"Dini!?" gumam Bara, terlihat kaget.

Maksud hati ingin berlari menolong, tapi kesadarannya masih waras untuk membiarkan mereka tahu semuanya. Kedua kaki pria itu tertahan, begitu melihat Reno berlari mendekat untuk menangkap tubuh Dini sebelum ia jatuh ke lantai.

"Sepertinya dia pingsan," ucap Sonya lirih.

"Aku akan mengurusnya. Terima kasih," balas Reno, sembari mengangkat tubuh ramping istrinya yang terasa ringan.

"Iya, iya Aku dan suamiku yang akan menunggu di sini. Kalian pergi saja. Berikan pertolongan pada dia dulu," sahut Sonya.

"Terima kasih," ucapnya.

"Tidak apa-apa. Kalian pergi saja." ungkapnya.

Reno melihat ke arah Bara yang dibalas anggukan oleh pria itu, lalu bergegas pergi dengan membawa sang istri untuk menuju ke ruang rawat lain agar segera mendapatkan pertolongan.

"Duduk di sini saja, Pa."

"Aku harus ke kantor, Ma. Kenapa kau malah membawaku ke tempat seperti ini?" ucap Bara, Seraya berjalan mendekat.

"Selvi pasti bisa mengurus semuanya, Pa. Nggak usah lebay, deh!"

"Aku ada pertemuan dengan klien siang ini, Ma. Sudah beberapa kali aku menundanya. Kalau hari ini aku sampai tidak datmg lagi, semuanya bisa kacau."

"Sebentar saja, Pa. Kita musti--"

Belum sempat Sonya menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Keduanya langsung berdiri dan mendekati tim medis yang melihat merek bergantian.

"Maaf. Wali pasien mana, ya?" tanya salah seorang dokter yang masih mengenakan seragam kerjanya dengan lengkap.

"Mereka ke ruangan lain, istrinya pingsan. Tapi kami di sini untuk menggantikan mereka. Bagaimana keadaan Alika, Dok?" tanya Sonya.

"Kalian ini ... siapanya pasien?"

"Kami keluarganya." Sonya menjawab dengan tenang.

"Oh, oke. Begini ya, sebenarnya akan lebih baik untuk menyampaikan hal ini langsung pada wali pasien, tapi ya... audah, toh masih dengan keluarganya."

"Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?" Sonya makin tidak sabar, ingin mengetahui hal yang akan dibicarakan oleh dokter berkaca mata itu.

"Mohon maaf, Ibu. Kami sudah berusaha tapi ...."

"Tapi apa? Tapi apa, Dok?" cecar Sonya.

"Kankernya sudah menyebar ke mana-mana, Bu, Pak. Jadi ... tidak ada lagi yang bisa kami lakukan."

Baik Bara maupun Sonya tidak mampu berkata apa-apa. Bahkan saat dokter tampan itu pamit undur diri pun, mereka masih diam dan membungkam.

"Bagaimana ini, Pa? Kita harus gimana?" tanya Sonya.

"Entahlah ...."

--