Kanaya Maheswari, seorang wanita yang memiliki satu anak manis. Anak itu di beri nama Senetra, yang di harapkan akan menjadi cahaya indah layaknya sorotan matanya yang sangat indah. Sayang, ternyata hidupnya tak seindah namanya. Senetra kehilangan ayahnya, sejak dia lahir.
Entah pergi kemana, namun suaminya pergi tanpa sepengatahuan nya. Membuat Naya harus bekerja keras untuk memberikan anaknya makanan dan susu. Sejak anaknya kecil Naya selalu bekerja dengan keras, hingga anaknya telah tumbuh menjadi gadis manis yang sangat di sukai oleh teman kampungnya.
Naya bukan seorang gadis yang berkecukupan, dia hanya bisa memberikan anaknya makanan yang seharusnya. Hidupnya yang terlanjur sederhana membuatnya harus terus bekerja dengan keras untuk memberikan apa yang selalu anaknya inginkan. Bukan untuk memanjakannya, hanya saja Naya ingin Netra tahu bahwa ada orang yang sangat menyayanginya. Iyah, ibunya sendiri. Naya sangat menyayangi anak semata wayangnya ini.
Hari ini Naya tidak mendapatkan pekerjaan sedikitpun, membuatnya bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Jika dia tidak bekerja apa yang harus mereka makan? Namun, hal ini memberikan ruang dan waktu bagi Naya untuk menghabiskan waktu dengan anaknya.
Naya mengelus pelan puncak kepala anaknya yang senang menggambar dengan imajinasi luasnya.
"Mamah, ayah dimana?" celetuk Netra ketika dia menunjukkan gambar buatannya. Dimana seorang anak sedang di apit oleh ayah dan ibunya.
Naya bukan tidak ingin jujur terhadap anaknya. Hanya saja dia masih kecil, bukan waktunya untuk mengetahui hal-hal yang membuatnya merasakan sedih. Netra harus bahagia, meskipun membahagiakan anaknya Naya harus melakukan beribu cara dia akan selalu melakukannya.
Naya tersenyum penuh arti kepada anaknya. "Ayah lagi kerja, biar nanti kita dapat tinggal di rumah yang besar."
Mendengar jawaban dari ibunya, Netra tersenyum sumringah. Dia menari-nari dengan bahagia, membuat hati Naya teriris. Melihat anaknya bahagia memang keinginannya namun tentu saja bukan pada hal yang tak seharusnya dia bohongi.
Senetra kecil memeluk ibunya kemudian berlari ke kamarnya. Dengan gerak dan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Perlahan pertahanan Naya telah luruh, dia merasakan sakit yang mencengkam. Seolah ada beribu goresan yang telah melukainya.
***
Hari ini Naya mendapatkan panggilan pekerjaan di rumah tetangganya. Naya selalu menitipkan anaknya Netra di rumah tetangganya yang telah dia anggap kakak, disana Naya merasakan bahwa Netra akan aman.
Naya bekerja dengan sangat keras untuk menghidupi anak semata wayangnya, dia sering kali mengerjakan pekerjaan rumah di rumah-rumah tetangganya. Naya ingin berandai-andai, andai saja jika dia tidak menikah dengan lelaki itu. Mungkin Naya akan bahagia dengan apa yang dia dapatkan, mungkin saja ketika Naya di berikan seorang anak akan ada banyak tawa di dalam rumahnya.
Naya tidak pernah mengharapkan sebuah rumah yang akan kehilangan topangannya. Sebuah keluarga yang telah kehilangan kepala keluarganya. Naya ingin mengeluh dan menangis, namun melihat anaknya tertawa saja sudah cukup menghapuskan luka yang Naya pendam selama beberapa tahun ini.
Naya yang sedang bekerja terus melamun, memikirkan banyak beban yang telah ia tanggung di bahunya sendiri. Seorang ibu yang bekerja tanpa seorang suami bukanlah hal mudah bagi semuanya. Bukankah Naya sangat hebat? Dia mampu memberikan kebahagiaan bagi putrinya bahkan jika putrinya menginginkan dunia, Naya akan memberikannya.
Naya berjalan dengan lemas. Entah mengapa kepalanya menjadi pusing sejak bekerja tadi. Mungkin karena kelelahan? Tapi, jika Naya berhenti bekerja dia akan makan apa nantinya? Seharusnya Naya memberikan makanan yang lezat untuk putrinya dan membuatnya tersenyum cerah setelah bermain dari taman dengan teman-temannya.
Setelah selesai bekerja Naya pergi dari rumah itu. Dia pulang menuju rumahnya dan tertidur sebentar untuk meredakan sedikit pusing di kepalanya. Nyatanya itu tak mudah. Semakin di tidurkan kepalanya semakin berdenyut sakit.
Naya memejamkan matanya sambil merasakan rasa sakit di kepalanya. Tanpa dia sadari seseorang telah membuka pintu kamarnya. Netra yang melihat Naya memegang kepalanya menatap khawatir ibunya. Dia berjalan dengan perlahan kemudian mengambil kain hangat dan menyimpannya di kening Naya.
Merasakan hangat di keningnya Naya membuka mata. Dia sangat kaget melihat Netra yang menyimpan kain hangat di kepalanya. Netra tersenyum dengan sangat manis, melihat senyumnya. Mampu membuat mood Naya kembali penuh.
"Mamah istirahat dulu yah? Biar Netra yang kerjain makanan di dapur." Netra hendak pergi namun tangannya di cekal oleh Naya.
"Nggak sayang, kamu duduk di sini aja yah? Biar mamah yang masak," ucap Naya sambil mencium puncak kepala anaknya.
Netra menggeleng keras. Tatapannya berubah sendu saat kedua mata mereka saling berpandangan. Seolah tak ingin ibunya bekerja Netra menatap lembut pada kedua mata Naya. Tatapannya yang teduh seolah menghipnotis Naya yang tetap ingin bekerja agar membuat anaknya tersenyum cerah. Namun, bukan itu yang Netra inginkan dia hanya ingin ibunya bahagia.
Toh memasak telur saja bukan hal yang sulit baginya. Meski umurnya masih di bilang di bawah umur tapi dia bisa membuat telur dadar, karena hidupnya yang sederhana sejak ia lahir.
Netra yang lahirnya penuh harapan selalu datang dengan senyum indahnya. Seolah kotak pandora telah turun dalam wujud manusia yaitu ; Netra, gadis kecil yang manis.
Naya yang melihat Netra memasak merasakan sakit kembali di dadanya. Seolah dunia berhenti berputar untuk sekian kalinya. Apa yang harus Naya lakukan? Apalagi di umur Netra sekarang yang seharusnya telah masuk menuju taman kanak-kanak. Sialnya Naya tak memiliki pekerjaan tetap untuk membiarkan anaknya masuk sekolah dasar. Entah apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
***
Setelah selesai masak Netra berlari kecil menuju ibunya dengan sepiring nasi dan telur dadar. Tangannya yang mungil mengambil nasi dari piring dan menyuapi kepada Naya.
"Mamah makan yah, biar Netra yang suapin terus cepet sembut deh."
Naya terkekeh mendengar ucapan Netra kecil yang mampu mengahangatkan hatinya. "Mamah bakalan cepet sembuh kalau dokternya kamu." Naya menghela nafas sebentar lalu mencolek hidung putrinya. "Makanya cium mamah dulu nanti mamah sembuh."
"Beneran? Netra bakalan jadi dokter buat Mama. Biar mama cepet sembuh deh," ujar Netra antusias sambil mencium kedua pipi Naya.
Mereka berdua telah masuk ke dalam dunia mereka sendiri. Seolah dunia hanya milik mereka, hal-hal manis selalu tercipta meski sangat sederhana. Naya selalu bersyukur pada tuhan bahwa dia memiliki anak seajaib Netra dan Netra selalu bersyukur kepada tuhan bahwa ibu yang telah melahirkannya adalah Naya.
Meski tanpa seorang ayah dan kasih sayang ayah Netra merasakan bahagia yang meluap. Terkadang memiliki ayah adalah keinginannya, tapi dia selalu menahannya agar tak membuat ibunya sedih dan menangis. Netra harap ibunya akan bahagia, sebab hati kecilnya sering terluka ketika sang ibu menangis.