Kanaya bangun sangat pagi. Dia menyiapkan beberapa roti isi dengan segelas susu hangat untuk sarapan Senetra. Jam menunjukkan pukul 06.00 WIB dia harus segera membangunkan anaknya untuk bergegas dan bersiap menuju sekolah. Hari ini juga seharusnya dia bekerja namun akan tetap menyempatkan waktunya untuk mengantarkan Senetra menuju sekolahnya.
Kanaya berjalan menuju kamar Senetra yang masih gelap gulita. Dia meneluk Senetra sambil mencium kedua pipinya membangunkan.
"Netra sayang, ayo bangun kita sekolah."
Senetra mengerang dan perlahan membuka matanya. Dia bangun dan segera pergi berlari menuju toilet setelah mencium kening Kanaya. Kanaya yang sudah membangunkan Senetra bergegas menyiapkan pakaian dan alat tulis yang akan di bawa oleh Kanaya.
***
Senetra sedang bermain dengan teman-temannya sambil tertawa senang. Dia sangat gembira memulai hidupnya yang baru dan berteman dengan anak-anak yang sangat baik. Apalagi sahabatnya yang tadi mengajak dia berkenalan.
Saat tadi Senetra sedang kebingungan untuk mencari tempat duduk seseorang datang dan menemuinya sambil tersenyum cerah. Terlihat dari pakaiannya bahwa dia adalah kalangan orang berada, namun mengapa dia sangat baik pikir Senetra.
Senetra yang merasa malu saat mendekat kepada gadis manis itu perlahan memberanikan diri dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Hai, aku Senetra. Nama kamu siapa?"
Gadis itu sedikit berpikir untuk berkenalan. Apakah Senetra terlalu cepat mengajak gadis itu berkenalan? Tapi, Senetra ingin segera mempunyai teman dan sepertinya gadis itu sangat baik! Senetra menyukainya. Bahkan sangat menyukainya.
Gadis itu membalas uraian tangan Senetra dengan ragu-rsgu. "Diary Armidya."
"Kamu mau jadi temen akuu nggak Dya? Kamu cantik banget," ucap Senetra berterus terang.
"Aku mau, Dya? Ihhh lucu banget nama panggilan buat aku nya. Aku mau manggil kamu Tata yah?"
Sekilas pertemuan mereka sejak tadi yang awalnya sangat canggung sekarang malah sedang bermain berdua. Keduanya berlari kecil menuju taman bermain sambil tertawa, ketika sedang bermain jungkat jungkit seseorang memanggil Diary untuk menghampirinya.
"Diary."
Diary yang mendengar namanya di panggil segera berlari kecil menuju laki-laki yang turun dari sebuah mobil dan menunggu di depan gerbang sekolahnya. Awalnya Diary akan berlari sendirian namun dia baru ingat dia belum pernah mengenalkan Senetra kepada pamannya itu.
Diary menarik tangan Senetra. Sedangkan seempu yang di tarik dan tak tahu apa-apa hanya bisa pasrah mengikuti Diary.
"Paman Rajen!! Kenapa kesini sih? Aku lagi main sama Tata tahu!" rengek Diary sambil memeluk laki-laki yang di panggil Rajen.
Dia Rajendra. Seorang CEO dari perusahaan terkenal di sini, isu demi isu mengatakan bahwa dia belum menikah dan tidak ada satu gadis pun yang bisa membuatnya jatuh cinta. Namun, di sisi lainnya dia sangat menyukai seorang anak kecil makanya sekarang dia berkunjung ke sekolah dasar Diary tapi malah mendapatkan kalimat usiran.
Meski dia tahu, keponakannya tetap merindukannya. Apalagi diary sangat manja kepada Rajendra. Jika ingin pergi kemanapun, Diary akan merengek kepada Rajendra dan tentu saja Rajendra akan memberikan apapun yang sepupunya inginkan termasuk waktunya.
"Ehhh iyah paman. Kenalin ini temenku Tata, ehh nama aslinya Senetra cantik kan?" ucap Diary sambil menunjuk Senetra yang diam saja.
"Hai Senetra, kamu cantik banget. Ngomong-ngomong orang tuamu tidak mengunjungimu?" tanya Rajendra sambil mengelus puncak kepala Senetra.
Senetra menggeleng. "Nggak, Ayah nggak ada udah lama nggak tahu dimana terus Mama lagi kerja buat aku sekolah."
Rajendra yang mendengar itu sedikit kasihan, dia memeluk Senetra dalam pelukan hangatnya. Tak lupa dia juga memeluk Diary. Senetra yang di peluk merasa sangat bahagia. Dia sudah lama tak pernah merasakan pelukan seorang ayah, ah sudah lama? Bahkan dia tidak pernah merasakan pelukan itu selain dari Mamanya.
"Udah yah, paman mau kerja dulu."
"Iyah paman jendraa!! Byee," ucap Diary dengan girangnya sambil mengecup pipi pamannya sekilas.
Rajendra menatap Senetra kemudian tersenyum hangat layaknya seorang Ayah. "Netra, kamu boleh manggil paman ayah yah. Kamu mau kan?"
Senetra yang di tawarin hal itu langsung menerimanya dia merasa sangat senang. Tentu saja sekarang dia akab memanggil pamannya Diary menjadi Ayah. Keinginan Senetra yang sudah lama terkubur akhirnya bisa terkabul meskipun hanya sebentar.
"Iyah Ayah, hati-hati di jalan yah."
Senetra dan Diary melambaikan tangan mereka. Keduanya tersenyum kepada Rajendra sebelum mobil yang di naikinya menjauh. Diary yang sangat senang ketika pamannya di panggil seorang ayah tiba-tiba memeluk Senetra dengan sangat erat nya.
"Tata, aku bahagia banget! Andai mamah kamu istri dari paman jendra. Ihhh seru kita jadi saudaraan," ujar Diary dengan riangnya.
"Mamah aku nggak mau nikah kayaknya Dya," jawab Senetra dengan wajah yang memelas.
Diary yang mendengar itu menjadi sedikit kaget. Perihalnya dia ingin menjadikan Senetra saudaranya, Dia ingin terus bersama Senetra. Padahal baru sehari tapi keduanya telah dekat seolah telah kenang lama sekali.
"Tata, nginep di rumah aku yuk! Aku mau main lama sama kamu," ucap Diary tiba-tiba.
Senetra sedikit berpikir karena dia tidak bisa mengiyakan ucapan Diary dengan pasti. Dia harus meminta izin kepada Kanaya dan dia tidak pernah meminta izin untuk hal seperti ini.
"Tapi, aku harus izin dulu sama Mama yah?" ucap Senetra.
Diary sedikit berpikir, dia ingin bermain lebih lama dengan Senetra dan mengenalkannya kepada semua keluarganya yang di rumah.
"Nanti aku temenin Tata minta izin nya yah? Biar di bolehin aku mau ngerengek sama Mama nya Tata," ucap polos Diary sambil terkekeh.
"Iyah!"
Diary merasa senang akhirnya Senetra bisa di ajak untuk bermalam. Meski belum sepenuhnya yakin, tapi Diary akan membuat Kanaya luluh dengan dirinya. Jika Rajendra saja yang sangat tidak peduli pads lingkungan sekitar luluh kepada Diary, apa kabar Kanaya yang sangat lembut?
Jam pembelajaran masuk telah berbunyi. Keduanya kembali masuk ke dalam kelas dan belajar kembali. Senetra masih tak percaya bahwa dia memiliki teman sebaik Diary.
Sebaliknya, Diary juga sangat senang memiliki seorang teman. Dia tak pernah merasakan seseorang yang mengajaknya tertawa sejak kecil. Diary hanya hidup di dalam rumah tanpa adanya seorang teman. Dia merasa dengan kehadiran Senetra hidupnya semakin indah dan juga penuh tawa.
Diary tak pernah merasakan pegangan tangan yang erat atau pertolongan dari seseorang. Dia seolah hidup di dalam istana yang di kunci tanpa teman sedikitpun dan dengan dirinya yang mengenal Senetra. Dia merasakan bahagia yang luar biasa.
Baginya Senetra seperti sebuah berlian yang harus di jaga keberadaannya. Setiap senyum dan bercandaannya selalu membuat Diary bahagia dan itu semakin membuat dia merasa bahwa Senetra adalah anak yang baik. Diary akan berteman selamanya dengan Senetra.
Saat sedang belajar. Diary melupakan sesuatu, dia tak membawa pensil mewarnya hingga membuatnya murung dan menunduk karena takut di marahi. Senetra yang melihat Diary menunduk menatap dengan heran.