"Ketemu lagi sama mantan saat kamu udah punya pasangan, rasanya seperti apa?"
"Yang jelas hatiku berdebar, seperti naik rollercoaster."
"Wah, ternyata kamu masih segaring dulu. Enggak niat untuk tobat? Pasti banyak banget korban PHP kamu, kan?"
Percakapan itu sempat terjeda beberapa menit, tatapan mata mereka saling bertemu dengan intens.
Dinia Revina yang kerap dipanggil Revina tersebut tampak berusaha untuk mengatur debaran jantungnya. Jujur, apa yang dikatakan oleh mantannya ini benar, sangat benar malah.
Pertemuan mereka yang tanpa sengaja ini, sungguh membuat jantungnya berpacu, juga bertalu-talu. Dan benar, rasanya ini semua seperti tengah naik rollercoaster. Bertemu mantan ketika keadaan mereka telah berubah, baik fisik maupun status yang bisa dikatakan berbeda secara keseluruhan.
Di ruang tunggu inilah takdir mempertemukan mereka kembali. Ah, semoga takdir sedang tidak ingin bercanda dengan menumbuhkan kembali benih cinta yang sebenarnya belum padam seutuhnya. Masih ada kisah yang belum kelar di antara mereka.
Tentang perpisahan.
Tentang alasan kenapa dulu lelaki ini—Jupiter Suryawijaya ini meninggalkannya begitu saja, tanpa sepatah kata perpisahan.
Mencampakkan Revina yang saat itu benar-benar membutuhkannya dan hidup terombang-ambing tanpa arah. Membuat Revina selalu berbisik pada Tuhannya, agar Tuhan membuat Jupiter tersungkur dan ditegur dengan cara paling pantas dan paling kejam setelah merampas kesucian Revina, memang, saat itu mereka melakukannya karena suka sama suka.
Tapi harusnya Jupiter menepati janji untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka itu, bukan?
Detik ini, semua dosa dari masa lalu mereka terkuak lebar. Luka lama, kembali terbayang dan betapa bodohnya Revina kala itu. Rela membuka bajunya hanya karena kalimat, 'Aku sayang kamu, kita bakal terus bareng kok. Setelah lulus SMA, kita langsung menikah. Aku yang ambil perawanmu, jadi aku yang akan jadi suamimu.'
Dan...
Yaaaa, Revina si bodoh yang tengah dimabuk cinta itu pasrah dan percaya saja dengan kalimat itu. Rela menyerahkan tubuh serta kehormatannya atas nama—CINTA.
"Suamimu enggak ikut?"
Pertanyaan dari Jupiter berhasil memecah lamunan Revina. Membuat perempuan itu mengerjap pelan dan menepis semua rasa kesal ketika kenangan buruk tersebut kembali teringat di benaknya.
"Suamimu enggak ikut? Jupiter mengulang pertanyaannya, matanya menatap kagum pada Revina. Tatapan penuh rindu.
Revina pun memilih untuk balik bertanya, "Kok tahu kalau aku udah punya suami?"
Sambil mengedikkan dagunya ke arah jemari Revina, Jupiter pun menjawab, "Itu cincin kawin kamu."
Refleks, Revina juga menatap pada jemari Jupiter yang terdapat cincin juga di sana. Ah, ternyata mereka bukan hanya memiliki pasangan semacam kekasih, tapi memiliki suami dan istri. Semua benar-benar telah berubah, takdir sedang ingin bermain petak umpet?
"Suamiku enggak ikut. Enggak mungkin setiap kali aku on duty, dia buntutin aku, kan?" Revina berusaha mengatur kembali debaran jantungnya. "Istrimu juga enggak ikut?"
Jupiter menatap ke arah lantai dan mengamati pakaian formal Revina yang sangat berbeda dari wanita pada umumnya. Bahkan, dia baru menyadari hal ini sekarang. Sepatunya, celana bahan yang ia kenakan, dan jaket yang jauh dari kata feminin.
Karena pertanyaannya tak kunjung dijawab, Revina pun berusaha membuang pandangannya ke sembarang arah. Yang pasti, dia masih cukup gugup ketika harus bertatapan lebih lama dengan Jupiter. Satu sisi, Revina sadar kalau dia adalah istri orang.
"Sejak kapan kamu suka pakai pantofel dan jaket 'laki banget' kayak begini?" celetuk Jupiter sambil terkekeh dan menggeleng ketika matanya menatap ke arah jaket Revina. "Kayak preman tahu, enggak?" tambahnya lagi, diiringi suara dengusan dari tawanya yang tertahan.
Mendengar ungkapan Jupiter tersebut, tentu saja Revina buru-buru menoleh ke arah lelaki itu dengan mata yang memicing penuh curiga, lantas ia pun menanggapi, "Preman? Ya kali, aku berubah jadi preman karena dibuang kamu tanpa kata-kata perpisahan," ketusnya lagi.
Jupiter pun akhirnya tertawa dengan keras. "Kamu masih menyimpan cinta untukku, pasti deh..." Ia goyang-goyangkan telunjuknya ke arah Revina.
"Enggak kok, aku sudah sangat bahagia sekarang. Suamiku baik, perhatian, dan yang pastinya setia. Setia banget." Ia memuji suaminya dengan bangga. "Yang pasti, dia menerima keadaanku apa adanya. Bahkan, ketika aku mengatakan kalau aku udah enggak perawan lantaran aku mau dibutakan oleh cinta monyet dari monyet berwujud manusia kayak kamu!" tandasnya sambil bangkit berdiri dengan kesal. "Kamu masih bisa tertawa dengan tampang tak berdosamu, luar biasa!"
Reaksi Revina ini tentu saja membuat tawa Jupiter terhenti. Yang akhirnya meluncur dari bibirnya adalah ungkapan tulus, "Aku minta maaf untuk kejadian dulu. Aku enggak bermaksud kabur, aku bahkan berulang kali cari kamu ke rumahmu. Kamu udah pindah dan katanya kamu lanjutkan pendidikan ke Bali."
Sambil mengibaskan tangan ke udara dan menepuk pelan pundaknya sendiri, Revina pun menjawab, "Udah berlalu juga. Kita udah punya suami dan istri masing-masing."
"Tapi aku enggak tenang sebelum kamu tahu, dulu bukan kemauanku untuk pergi dan melupakan janji-janji kita."
"Kisah kita udah kelar, jadi enggak penting lagi." Revina melambaikan tangannya ke arah para pramugari yang juga tengah melambaikan tangan padanya. Perlahan, ia membuka jaket yang tadi ia pakai. "Semoga kita sama-sama bahagia dengan pasangan masing-masing ya, Ju." Revina berkata lagi tanpa menoleh.
Sementara di tempatnya, Jupiter tengah melongo saat melihat seragam putih dengan bar di bahu mantan kekasihnya itu. Ia menelan ludahnya dengan kuat dan tampak terpaksa. Matanya tak berkedip sama sekali, Revina si cengeng yang dulu selalu menangis karena takut hamil usai kejadian malam itu, kini bermetamorfosis menjadi...
"Hai, Mbak Captain yang cantik. Lagi jadi ekstra kru, ya?" sapa salah seorang pramugari dengan seragam berwarna jingga tersebut sembari mencium pipi Revina dengan gemas. "Kangen banget sama Mbak, udah lama kita enggak terbang bareng."
Jupiter mengernyitkan keningnya, menatap ulang ke arah Revina dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Pasti enggak sabar mau ketemu sama suami tercinta senusantara yang super romantis itu, kan?" tebak sang pramugari lagi. "Mas Daniel memang suami paling romantis yang selalu punya kejutan buat Mbak, aku yang awalnya takut buat nikah aja, pas lihat perlakuan Mas Daniel ke Mbak aja buru-buru cari calon suami, hahaha..."
"Ah, tapi jangan berpikir untuk gaet suamiku ya, Mbak Icha." Revina terkekeh.
"Oh, aku doyannya yang single kok, Mbak." Beberapa orang pramugari di sana ikut terkekeh. "Ya udah, kami duluan ya, Mbak."
Revina hanya mengangguk dan membiarkan kru aktif tersebut masuk lebih dulu. Semua pramugari yang kenal dengannya pasti tahu, bagaimana romantis dan perhatiannya sang suami padanya. Suaminya kerap kali memberi kejutan tak terduga, kadang mendadak namanya ada di data manifest, atau kadang menjemput sang istri yang berprofesi sebagai pilot wanita tersebut.
"Wah, kamu jadi pilot. Selamat ya," ucap Jupiter dengan tulus setelah tinggal mereka berdua di kursi itu.
"Aku melanjutkan cita-citamu. Berharap kita kembali bertemu di frekuensi yang sama di udara. Walaupun bertegur sapa lewat radio frekuensi pun, enggak apa-apa." Revina menghela napas panjang. "Aku yakin, kamu juga udah jadi seorang pilot yang hebat. Pasti pendidikannya di luar negeri, beda sama aku lulusan Indonesia, itu pun dibiayai oleh orang sebaik Papa Biru. Kalau biayai sendiri ya mana mampu, zaman SMP aja SPP-ku nunggak terus kok."
Jupiter tertunduk malu. "Aku enggak berhasil capai cita-cita itu. Aku bahkan udah lupakan impian untuk jadi seorang pilot sejak meninggalkan Jakarta sepuluh tahun yang lalu."
Reaksi Revina justru sebaliknya, ia tersenyum lebar. Menatap Jupiter dengan tatapan meremehkan. "Mungkin karma karena kamu kabur begitu aku bilang—aku hamil sepuluh tahun yang lalu."
Jupiter kembali mengangkat wajahnya, mengerutkan keningnya ketika coba memastikan apa yang baru saja dikatakan oleh mantan kekasihnya. "Hamil? Kamu hamil?"
"Hahaha." Revina merapikan rambut panjang terurainya ke belakang. "Kamu kabur setelah baca BBM dariku, kan?"
Sepuluh tahun yang lalu, Blackberry Messenger adalah aplikasi andalan untuk para penggunanya. Dan demi bisa komunikasi dengan Jupiter si anak sultan di sekolahnya, Revina rela menabung dan enggak jajan di sekolah. Hanya demi bisa memiliki smartphone tersebut.
"BBM tentang kamu hamil?"
"Centang dua kok," celetuk Revina sebal. "setelahnya... Kamu menghilang, BM kamu enggak pernah aktif lagi. Kamu kabur! Kamu lari! Kamu biarkan aku menanggung semuanya sendiri!"
Jupiter menahan napasnya sejenak dengan kening yang berkerut.
"Tapi jangan tanya di mana anak itu sekarang, aku juga udah kehilangan dia!" Dadanya terasa makin sesak. "Jadi, kamu enggak perlu berpikir aku ungkit ini lagi karena minta kamu bertanggung jawab, enggak kok." Matanya menyipit.
Setelah mengatakan hal yang sangat mengejutkan tersebut, Revina meninggalkan Jupiter di tempatnya.
Malam ini, dia kembali ke Jakarta setelah melakukan tugas ke Balikpapan beberapa hari yang lalu. Pertemuan dengan Jupiter membuat dadanya sesak dan kini... Revina ingin memeluk suaminya dan mengatakan kalau dia sangat mencintai Daniel Pujangga, suami terbaik yang selalu ia syukuri kehadirannya.
"Sumpah, aku enggak kabur." Jupiter tahu, Revina tak akan bisa mendengar kalimat lirihnya ini. "Aku enggak tahu kalau dulu kamu hamil, sumpah..."
***
Sesampainya di Jakarta, Revina menatap kecewa pada layar ponselnya.
[Dinia Revina]: Hubby, kamu kok belum sampai bandara? Kamu enggak bisa jemput aku? Aku udah tunggu kamu setengah jam loh, apa aku pesan taksi aja?
Helaan napas panjang meluncur bebas dari bibir Revina setelah lima menit, chat-nya masih belum dibaca oleh Daniel, sang suami tercinta.
"Ya udah, aku pesan taksi aja." Revina berbicara pada dirinya sendiri sambil bangkit berdiri sembari menarik kopernya. "Hah, kamu lagi?!" ketusnya ketika mendapati Jupiter yang berusaha menghalangi langkahnya. "Suamiku bentar lagi datang, kamu jangan cari perkara dong!"
Jupiter menahan tangan Revina dengan cepat. "Aku enggak tahu kalau waktu itu kamu hamil, maafkan aku, Rev..."
"Sekarang aku udah enggak hamil kok. Semua luka itu udah selesai, udah sembuh, dan aku udah melupakannya!"
"Aku yang sekarang enggak bisa lupakan semuanya. Aku yang merasa bersalah."
Revina kembali menggeleng. "Udahlah, aku udah punya suami yang sangat mencintaiku. Kamu juga udah punya istri, kan?"
"Tapi anak itu..."
"Aku mengalami keguguran dan anak itu udah enggak bisa tertolong, jadi enggak ada alasan kamu untuk merasa bersalah lagi, kok." Revina tersenyum kecil, meski pun terlihat sangat terpaksa. "Kisah kita udah kelar begitu kamu kabur, permisi..."
Revina terus mencoba untuk menghubungi suaminya berulang kali. Menelepon dan mengirim pesan rindu yang entah kenapa malam ini Revina ingin sekali memeluk Daniel dan mengatakan... Revina sangat bersyukur telah dicintai dan mencintai lelaki itu.
BERSAMBUNG...
***