Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 8 - Bab 8 - Malam Penghakiman

Chapter 8 - Bab 8 - Malam Penghakiman

Ketika Solor mendekati kerumunan, tubuhnya yang pendek membuatnya sulit melihat apa yang terjadi di depan. Dengan hati-hati, ia menyelinap di antara rumah-rumah hingga menemukan celah yang membawanya lebih dekat. Ia menambatkan Wus Wus di tempat aman sebelum melangkah ke sisi yang lebih longgar dari kerumunan. Malam terasa berat, penuh ketegangan yang mencekam.Tiba-tiba, suara ledakan keras memecah keheningan. Kilatan cahaya menyilaukan muncul dari rumah yang dijaga ketat oleh para prajurit Aliansi. Orang-orang di sekitar mundur dengan wajah diliputi kecemasan. Solor hanya bisa berdiri diam, matanya menyipit melihat kilatan itu—ia tahu, itu adalah penghancuran sebuah pusaka. Ledakan demi ledakan menyusul, setiap kali membuat langit di atas desa itu berpendar suram sebelum tiang cahaya perlahan meredup dan akhirnya lenyap.Solor menarik napas panjang, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Namun, kerumunan yang sibuk memberi celah baginya untuk mendekat. Warga, dengan obor di tangan, tampak terpukul. Di tengah mereka, kelompok berseragam Aliansi sibuk mengatur sesuatu. Tepat di depan sebuah rumah yang dijaga ketat, seorang pria berseragam, tampak sebagai pemimpin, naik ke atas panggung kecil.Dengan lantang, ia membuka gulungan kertas dan mulai berbicara:"Wahai warga Sanajayan, dengarkan dengan khidmat dan penuh pengertian. Hari ini, kita menyaksikan akhir dari pelanggaran yang telah mengoyak tatanan hukum dan keseimbangan dunia kita. Pemakaian benda pusaka tanpa pengabdian kepada hukum adalah pengkhianatan terhadap jiwa, terhadap tanah yang kita cintai, dan terhadap hukum Aliansi yang telah melindungi kita semua.Ketahuilah, hukuman ini bukanlah keinginan kami, tetapi sebuah kewajiban yang harus ditegakkan demi menjaga harmoni antara manusia, alam, dan nilai luhur Sanajayan. Dalam setiap kejahatan, ada akibat; dalam setiap pelanggaran, ada ganjaran. Maka, biarlah hari ini menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa tidak ada ambisi yang lebih besar dari kebenaran, dan tidak ada kekuatan yang lebih berharga dari kesetiaan pada hukum."Warga yang mendengar pidato itu terdiam, sebagian menahan tangis. Sorot mata mereka tertuju pada seseorang yang berdiri di panggung kecil, dengan kepala tertutup kain hitam."Semoga jiwa yang akan pergi menemukan jalan terang dalam kegelapan, dan semoga perbuatannya menjadi pelajaran yang abadi bagi kita semua. Kepada Anda yang melanggar, kami ucapkan: semoga kedamaian mengiringi langkah akhir Anda, meski dunia telah menutup pintunya."Tangisan seorang ibu pecah dari kerumunan, tubuhnya gemetar, menahan amarah sekaligus kesedihan. Ia mencoba menerobos ke arah panggung, tetapi penjaga Aliansi segera menahannya."Kalian tidak punya hati! Dia bukan penjahat, dia hanya ingin melindungi desa ini!" teriak sang ibu dengan tangisan yang memilukan, namun usahanya sia-sia.Ketenangan mulai runtuh ketika seorang pemuda melangkah maju dari kerumunan.

"Hei, kalian tidak lebih baik dari mereka yang kalian hukum! Kalian tidak tahu apa artinya keadilan!" teriaknya dengan suara lantang, matanya menyala penuh amarah. Ia mencoba menerobos, tetapi penjaga segera menghadangnya.

"Kemana hati nurani kalian?! Kalau kalian berani gantung dia, hukum kami juga!" Teriakan pemuda itu memancing warga lain untuk ikut mendekat, menambah ketegangan.Kerumunan berubah menjadi kekacauan. Penjaga Aliansi sibuk mencoba menenangkan situasi, tetapi amarah warga terus memuncak. Solor, yang berdiri di sisi kerumunan, merasakan suasana semakin tidak terkendali. Ia melihat ke arah panggung, di mana sang terdakwa kini dipandu menuju tiang gantungan.Tanpa perlawanan, tali melingkar di leher terdakwa. Prosesi berlangsung cepat di tengah hiruk pikuk. Dalam sekejap, tubuh terdakwa tergantung, nafasnya hilang. Jeritan wanita dan pemuda itu bercampur dengan suasana ricuh.Solor berdiri kaku, matanya terpaku pada tubuh yang tergantung itu. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan dan dugaan saling bertabrakan. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini? Apa arti tiang cahaya yang lenyap, dan bagaimana pusaka bisa menjadi alasan kehancuran?Malam itu, prosesi berakhir, tetapi meninggalkan desa yang penuh misteri dan luka yang tak terhapuskan. Solor, dengan rasa penasaran yang membakar, tahu bahwa apa pun jawabannya, dia harus terus maju. Langkahnya perlahan membawa dia semakin dekat ke tempat yang memanggilnya—ke arah rahasia yang menunggu untuk terungkap.