Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 11 - Bab 11 - Pertarungan di Jalur Lumut

Chapter 11 - Bab 11 - Pertarungan di Jalur Lumut

Kejaran Buaya PutihSolor merasakan firasat buruk ketika hutan tiba-tiba menjadi hening. Ketenangan yang aneh itu terpecah oleh teriakan dari seorang pemuda di seberang jurang."Pergilah dari situ! Ada monster mengejar kita!" seru pemuda berompi merah sambil mengayunkan pedangnya. Suaranya membawa nada peringatan mendesak.Namun, sebelum sempat bergerak, seekor buaya putih raksasa menerjang dari balik pepohonan, menyerang kudanya. Wus-wus, kehilangan keseimbangan dan tergelincir ke jurang, sementara Solor terpental keras ke belakang, nyaris jatuh ke tebing. Dengan cepat, ia bangkit, menghadapi makhluk buas yang melangkah pelan ke arahnya dengan mata penuh kilau kematian.Dari arah berlawanan, seekor buaya putih lainnya muncul, menutup jalan."Sialan... buaya ini lagi," gumam Solor, mencoba menenangkan napasnya.Melihat dirinya terkepung, Solor dengan gesit ia menyiapkan sesuatu dari sabuk othoknya, tetapi gerakannya terhenti oleh kemunculan tiga pemuda yang berlari melintasi jembatan di kejauhan. Kehadiran mereka malah membuat buaya semakin agresif, balik menyerang mereka dengan kecepatan yang mengerikan."Fiiiuwiiittt!" Solor bersiul keras, suaranya menggema di seluruh hutan.Siulan itu menarik perhatian semua buaya, membuat mereka fokus sepenuhnya pada Solor. Pemuda-pemuda itu berteriak dari jauh."Itu Tuan Solor! Kita harus membantunya!"Tak ingin pengalihannya terganggu oleh ketiga pemuda itu, Solor segera berlari cepat masuk ke dalam hutan.Ketiga Pemuda itu terengah engah bermaksud berlari mengikuti Solor namun terhenti pada Wus-wus yang terjebak di dinding jurang, tubuhnya terperangkap di antara batu dan akar pohon."Pegang aku! Kita harus menyelamatkan kudanya!" seru Agniran, pemuda berumuran 20 tahun dengan peluh keringat mengalir di kulit sawo matangnya, saat ia mendekati tebing.Handoko tampak ragu. "Kau gila, Ag! Ini berbahaya!""Kita tak punya waktu!" Agniran mendekati tepi, lalu meminta Joko memegang kaki Handoko untuk menahan tubuhnya yang meluncur ke bawah. Dengan usaha keras, ia berhasil meraih tali pelana Wus-wus dan melepaskan kudanya dari jebakan batu.Di saat yang sama, buaya-buaya putih raksasa mulai merayap menuruni dinding tebing. Namun, siulan Solor yang nyaring menggema berhasil mengalihkan perhatian mereka. Buaya-buaya itu kembali mengejar siulan yang terus terdengar dari dalam hutan.Ketiga pemuda menarik Wus-wus ke atas dengan susah payah, lalu melanjutkan perjalanan untuk menyusul Solor.Jeratan AlamDi dalam hutan yang gelap dan lebat, Solor terus berlari, memimpin buaya-buaya raksasa itu semakin dalam menuju area yang ia kenali. Napasnya tersengal, dadanya naik turun seirama langkah kakinya yang gesit. Tubuhnya yang kecil dan lincah melompat dari satu akar pohon ke akar lainnya, sementara raungan ganas buaya di belakangnya semakin mendekat.Salah satu buaya melompat, rahangnya yang besar hampir saja menutup di tumit Solor. Dengan refleks cepat, ia menendang ke belakang dengan sandal pengkaitnya, tepat mengenai mata buaya itu. Binatang tersebut meraung kesakitan, memberi Solor beberapa detik tambahan untuk melarikan diri.Hutan semakin rapat, dan Solor tiba di tepi Lautan Akar, sebuah area yang ia incar sejak awal. Akar-akar pohon besar menjalar ke segala arah, menciptakan jalinan yang rapat di atas tanah, seperti perangkap alami. "Sini kalian, dasar reptil buta!" teriak Solor sambil memprovokasi buaya-buaya yang mengamuk di belakangnya.Ia melompat ke dahan besar di atas Lautan Akar. Tubuhnya mendarat dengan mulus, tapi dahan itu berderak, hampir patah. Solor menyeimbangkan dirinya, melihat ke bawah sambil mengatur napas. Buaya-buaya raksasa itu, termakan amarah, menerjang tanpa pikir panjang ke atas akar-akar pohon.Krak!Satu akar patah. Tubuh berat salah satu buaya terperosok, kaki-kakinya tersangkut dalam lilitan akar. Ia meraung liar, menggeliat, tetapi setiap gerakannya hanya membuat jeratan semakin kencang. Buaya kedua mencoba maju, tetapi akar-akar itu juga patah di bawah tubuhnya, dan kini ia terjebak bersama rekannya.Solor mengamati dengan cermat dari atas dahan. Matanya tajam seperti burung elang, memastikan jebakan alami ini bekerja seperti yang ia rencanakan. Ketika buaya ketiga mencoba menggigit akar untuk membebaskan diri, Solor menjatuhkan sebuah batu besar dari atas. Batu itu menghantam tepat di kepala buaya tersebut, membuatnya limbung.Tak lama, suara derap kaki dan ringkik kuda terdengar di kejauhan. Agniran, Handoko, dan Joko tiba dengan wajah tegang, Wus-wus mengikuti mereka dengan langkah kecil dan napas ngos-ngosan. "Solor!" teriak Handoko, mengangkat tombaknya, bersiap menghadapi ancaman.Namun, pemandangan di depan mereka membuat mereka tertegun. Di bawah, buaya-buaya raksasa itu terperangkap tak berkutik, hanya bisa meraung penuh amarah. Di atas dahan, Solor berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan pakaian yang kusut akibat pelarian tadi."Dah selesai," ucapnya singkat sambil turun dengan lincah dari pohon, tangannya memegang dahan untuk menstabilkan tubuhnya. Saat kakinya menyentuh tanah, Solor menghela napas panjang. "Hutan ini punya aturannya sendiri. Kita tinggal tahu cara mainnya."Ketiga pemuda saling berpandangan, terkesan dengan kecerdasan dan pengalaman Solor. "Lanjut," kata Solor sambil menepuk bahu Joko yang masih melongo melihat buaya-buaya itu. "Buaya bukan satu-satunya yang ada di hutan ini."Mereka bergerak maju, melintasi Jembatan Jalur Lumut dengan langkah yang lebih hati-hati. Meski ketegangan mereda, perasaan waspada tetap menghantui. Hutan yang penuh dengan rahasia dan ancaman yang tak terduga.