Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 13 - Bab 13 - Motif

Chapter 13 - Bab 13 - Motif

WulansanaPagi hari di danau Wulansana begitu cerah, dengan sinar matahari yang memantul di atas permukaan air yang tenang. Udara sejuk dan lembut, membawa aroma segar dari pepohonan yang tumbuh subur di sekitar danau. Solor Jayusman, dengan Wus Wus, kudanya yang setia, melintasi jalan setapak menuju ke pinggir danau. Di sana, sebuah perahu kecil sudah menanti, dikendalikan oleh seorang tukang perahu mendekat dengan senyum ramah mengenakan pakaian tradisional yang sangat rapi."Selamat datang, Tuan Solor," sapanya sambil menundukkan kepala. "Jika Anda hendak menuju kota, perahu saya siap mengantar."Solor mengangguk, menyetujui tawaran itu. Ia melangkah naik ke perahu, sementara Wus Wus diikatkan pada perahu kecil di belakangnya. Angin pagi yang sejuk dan aroma air danau yang segar menemani perjalanan mereka.Di kejauhan, kota Wulansana mulai mengungkapkan dirinya dari balik tirai kabut yang lembut, seperti sebuah mahakarya surgawi yang muncul dari jantung danau. Kota ini tampak bagaikan dongeng yang menjelma nyata, memancarkan keagungan sebagai lambang perdamaian abadi, harmoni sempurna, dan kemegahan peradaban dunia Chandraklana. Kota ini dibangun menyerupai piramida besar dengan lima lapisan hierarki sosial, semakin tinggi, bangunan semakin megah, mulai dari permukiman rakyat biasa di dasar hingga sampai istana yang menjulang, pusat pemerintahan Aliansi, bermahkotakan menara-menara putih yang menantang langit.Lanskap kota dihiasi oleh permukaan air danau yang tenang, memantulkan cahaya matahari dengan gemerlap yang mempesona. Setiap riak kecil di atas air seolah memantulkan kilauan emas, menciptakan pendar cahaya yang menyelimuti seluruh kota, memberikan suasana agung yang terasa sakral mengalirkan energi kehidupan, membawa harapan baru yang menyinari setiap sudut kota, menjadikannya sebagai tempat yang bukan hanya indah, tetapi juga penuh dengan janji kedamaian dan masa depan yang gemilang.Bangunan-bangunan di Wulansana terbuat dari batu putih berukir, terkenal dengan seni dan kerajinannya, sementara budaya masyarakatnya berakar pada tradisi dan festival yang menjunjung tinggi harmoni dengan alam. Hukum anti-pusaka yang ketat dan teknologi pengairan canggih menjadikan Wulansana sebagai kota damai, sekaligus pusat pemerintahan dan perdagangan yang menghubungkan seluruh wilayah Sanajayan.Beberapa perahu lain melintas, membawa penduduk dan barang-barang menuju dermaga yang sibuk. Suara dayung yang menyentuh air terdengar seperti irama alam yang harmonis. Solor tak bisa menahan decak kagumnya.Dermaga dan Gerbang KotaSetibanya di dermaga, Solor disambut oleh hiruk-pikuk aktivitas. Dermaga batu putih itu penuh dengan orang-orang yang sibuk menurunkan muatan dari perahu. Bangunan-bangunan di sekitarnya, terbuat dari batu putih yang sama, berdiri dengan megah, mencerminkan keselarasan dan kekuatan kota ini.Solor menaiki Wus Wus, kemudian melanjutkan perjalanan menuju gerbang utama Wulansana. Gerbang itu adalah sebuah gapura megah berukir motif bulan sabit, dijaga oleh penjaga berseragam putih dengan aksen emas. Mereka menyambut Solor dengan hormat, membuka jalan menuju kota.Jalan menuju pusat kota dihiasi taman-taman yang terawat indah, dengan bunga-bunga cempaka putih yang semerbak. Di sepanjang jalan, tangga-tangga batu yang luas membawa Solor lebih tinggi, menuju wilayah pusat pemerintahan kota Wulansana.Graha Penyangga LangitBangunannya menjulang dengan megah, bagaikan candi yang menjelmakan keabadian, dikelilingi oleh taman hijau yang teratur dan rapi, seolah membingkai keindahan alam yang sempurna. Pohon-pohon cempaka putih yang anggun tumbuh di sekitar, melepaskan aroma manis yang menenangkan jiwa, mengisi udara dengan kesejukan yang memeluk setiap langkah. Setiap sudut dinding dihiasi ukiran bulan sabit yang penuh makna, seolah menyuarakan kisah-kisah kuno tentang kejayaan, misteri, dan kebesaran Wulansana, yang terukir abadi dalam setiap lekuknya.Seorang penjaga menghampiri Solor. "Izinkan saya membawa kuda Anda ke bilik penempatan, Tuan," katanya sopan.Solor menyerahkan Wus Wus dengan penuh kehormatan, kemudian melangkah memasuki bangunan yang memukau. Di sepanjang pintu masuk, banner-banner putih besar berkibar anggun, dihiasi lambang bulan sabit berwarna emas yang bersinar seperti bintang di langit malam. Tiang-tiang tinggi dengan ukiran rumit, seakan menyimpan kisah masa lalu, menopang langit-langit megah yang dihiasi relief halus dari batu putih berkilau, menyerupai marmer namun lebih bening, memantulkan cahaya dengan pesona yang memikat. Jendela-jendela besar dengan kerangka antik yang anggun membiarkan cahaya lembut menyusup, menari-nari di udara dan menyentuh lantai, menciptakan pola cahaya yang indah di pijakan langkah Solor, seperti melodi yang meresap dalam setiap detik perjalanan.Solor menaiki tangga batu besar yang terukir dengan indah, setiap langkahnya membawa ke sebuah koridor terbuka yang mempesona. Dari sana, pandangannya terbentang luas, menyaksikan keindahan kota Wulansana. Tiang-tiang tinggi yang anggun mengelilinginya, menciptakan harmoni yang sempurna antara keagungan arsitektur dan keindahan alam, seolah langit dan bumi bersatu dalam sebuah karya seni yang tiada habisnya. Setiap sudut kota terlihat seperti lukisan hidup, memancarkan aura megah yang membuat hati siapa pun yang menyaksikan terpesona dalam diam.Pertemuan dengan WandarimoDi tengah kekagumannya, langkah Solor terhenti saat mendengar suara akrab."Tuan Solor!"Wandarimo Dhijoyo Respathi, mantan Pengembara Bulan Sabit, melangkah keluar dari sebuah ruangan. Senyumnya tipis, penuh arti, sementara sorot matanya tajam mengamati Solor."Senang Anda akhirnya datang," sapa Wandarimo seraya menjulurkan tangannya untuk berjabat.Solor menerima jabatan tangan itu, namun dengan kewaspadaan. "Senang melihatmu juga, Wandarimo. Apa yang membawaku ke sini?"Wandarimo tertawa kecil. "Tentu, undangan saya. Poster-poster yang saya sebarkan, apakah Anda sudah menerimanya?""Poster-poster itu tiba," jawab Solor singkat. "Dan aku tidak setuju dengan apa pun yang kau usulkan."Wandarimo tersenyum lebar. "Kau tahu, Solor, kita ini seperti bayangan bulan. Indah terlihat dari kejauhan, tetapi tak pernah utuh. Kau, aku, dan semua Pengembara Bulan Sabit lainnya... Kita hanyalah boneka Aliansi."Solor menghela napas, bersandar pada pagar koridor yang tampak sepi. "Boneka atau tidak, tugas kita adalah menjaga keseimbangan. Kau tahu apa yang dilakukan pusaka terhadap dunia ini.""Pusaka bukanlah masalah, Solor," Wandarimo menegaskan. "Masalahnya adalah manusia yang tidak cukup kuat untuk menggunakannya. Hukum Aliansi hanyalah tirani yang menyamar sebagai kebijaksanaan.""Kekuatan tanpa batasan hanya akan membawa kehancuran," balas Solor, nadanya tegas. Ia berbalik, bersiap meninggalkan koridor itu.Namun sebelum ia melangkah pergi, Wandarimo berkata, "Kau tidak tahu alasan sebenarnya mengapa Sakadian muncul. Kau harus mengetahuinya, Solor."Solor menoleh, hanya sebentar. "Sayangnya, aku sudah tahu."Suara Solor perlahan menghilang bersama langkahnya yang menjauh, meninggalkan Wandarimo berdiri dalam keheningan koridor. Angin membawa suara bendera yang berkibar, seolah menjadi saksi atas percakapan penuh rahasia itu.