Lorong menuju kamarSolor melangkah di lorong remang yang dihiasi ukiran dinding bercahaya samar oleh lentera-lentera kecil di sepanjang jalan. Dua penjaga berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat gelap, dengan tulisan "Rekreasi" terukir di atasnya.Rasa ingin tahu membuat Solor menghampiri pintu tersebut. Setelah memberi hormat, penjaga itu membukanya. Di dalamnya terdapat ruang yang sempit namun penuh dengan rak-rak kayu dan peti yang menyimpan benda-benda antik. Di bawah lampu gantung berwarna jingga, benda-benda itu tampak bersinar, seperti membawa misteri tersendiri.Di antara benda-benda itu, mata Solor tertuju pada sebuah patung kuda dari marmer putih, dengan detail yang begitu sempurna hingga tampak hidup. Ia mendekat, mengamati setiap guratan ukiran. Namun, langkahnya terhenti saat suara pintu terbuka."Tuan Solor, kami diberi tahu Anda sudah tiba. Mohon ikuti saya untuk menuju kamar peristirahatan Anda," ujar seorang wanita berpakaian kebaya putih, rambutnya tersanggul rapi, dengan suara lembut penuh hormat.Solor mengikuti wanita itu menuju lantai tiga, tempat kamar tamu undangan disediakan. Selama perjalanan, Solor mencoba menggali informasi."Apakah semua tamu undangan sudah tiba?" tanyanya datar.Wanita itu berhenti sejenak, membalikkan badan dengan sikap santun. "Yang belum tiba hanya Tuan Dharuman, Tuan.""Dan Samiranah?""Nyai Samiranah memilih tinggal di kediamannya. Besok ia langsung menghadiri pertemuan, Tuan."Setelah percakapan singkat itu, Solor tiba di kamarnya. Wanita itu membungkuk sopan sebelum pergi, meninggalkan Solor dalam ruangannya yang luas dengan dekorasi penuh ukiran mewah khas Wulansana.---Pertemuan dengan Shidik SukroDi tengah malam yang sunyi, ketukan di pintu membangunkan Solor. Suara berat memanggil dari balik pintu."Solor..."Dengan pelan sedikit sadar Solor bangkit, membuka pintu dan menemukan Shidik Sukro berdiri di sana. Dengan tubuh tegap dan usia yang delapan tahun lebih tua, Shidik masih membawa wibawa seorang mantan Pengembara Bulan Sabit."Shidik, kau? Apa yang membawamu ke sini malam-malam begini?" tanya Solor dengan nada tenang, namun tatapannya mengandung kewaspadaan.Shidik melangkah masuk tanpa izin lebih lanjut. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya singkat."Begitu-begitu saja. Bagaimana denganmu?" balas Solor sambil menutup pintu.Shidik mendesah panjang, mengalihkan pandangannya. "Kau tahu masalahnya, Solor?" tanya Shidik sambil melihat dekorasi atap ruangan." Ini semua tentang hadiah itu."membuat Solor mendadak tegang. Ia melangkah keluar kamar, mengisyaratkan agar mereka bicara di lorong.Mereka berjalan perlahan di sepanjang lorong berhiaskan dinding batu berukir."Kenapa benda seperti itu dijadikan hadiah sayembara? Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?" tanya Solor, nadanya mengandung keheranan dan kekesalan.Shidik menatapnya tajam. "Bukan hanya soal itu, Solor. Ini jauh lebih besar. Wandarimo, kau tahu dia bisa melihat apa yang tidak kita lihat. Dia bilang lingkaran itu... pusaka itu... adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.""Omong kosong. Kau juga percaya padanya?" balas Solor dengan nada skeptis."Kau tahu ini lebih dari sekadar hadiah, Solor. Jika akik itu jatuh ke tangan yang salah, rakyat akan mulai menggugat Aliansi. Revolusi akan meletus. Dan aku... aku mendukung Wandarimo sepenuhnya."Mereka tiba di sebuah meja makan kecil di ujung lorong, hanya diterangi oleh beberapa lentera. Shidik mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menusuk Solor."Apa maksudmu mendukung Wandarimo? Kau juga ingin revolusi?" tanya Solor dengan nada meninggi.Shidik tersenyum tipis, dingin. "Solor, perlahan warga akan tahu. Pusaka itu akan membawa mereka ke kebenaran. Kau pikir bisa menghentikannya? Ini sudah terlambat.""Kau sama gila seperti Wandarimo! Apa kau ingin melihat kehancuran? Pusaka tidak boleh muncul di muka umum! Itu akan membawa bencana yang lebih besar!" bentak Solor, menghentak meja dengan tangannya.Shidik tetap tenang, meski wajahnya menunjukkan ketegangan. "Kau terlalu buta oleh aturan, Solor. Kau tak akan bisa menghindari takdir yang sudah ditetapkan. Ini bukan soal pilihan. Ini soal waktu."Kata-kata Shidik menggema di benak Solor, seperti bayangan relief kuno yang kembali menghantuinya. Ia bangkit dari kursinya, membuang pandangan ke arah lain."Cukup. Aku harus tidur. Kita akan tahu jawabannya besok di pertemuan."Shidik tidak membalas, hanya menatap Solor yang pergi meninggalkan ruangan. Dalam diam, ia tahu Solor mulai goyah. Keyakinannya pada Aliansi mulai terguncang.