Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 12 - Bab 12 - Kemah Daun

Chapter 12 - Bab 12 - Kemah Daun

Api UnggunMalam itu di Pegunungan Lumut, kabut tebal melingkupi sekitarnya, menciptakan suasana mencekam yang seakan berbisikkan rahasia alam. Mereka duduk melingkar di sekitar api unggun, nyalanya menari liar di tengah lingkaran batu. Panasnya mengusir dingin yang menusuk tulang, sementara cahaya temaramnya menyoroti wajah-wajah lelah, penuh bayang kecemasan. Di atas api, talas terbakar, mengeluarkan aroma hangus yang bercampur dengan harum kayu bakar, menambah kesan suram.Agniran, dengan wajah gelisah, membuka suara. "Aku benar-benar tak menyangka bisa terjebak dalam kejaran buaya putih raksasa," katanya, suaranya rendah, hampir berbisik. Matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Semuanya gara-gara Dadung Kawilis itu... Membawaku ke sungai penuh makhluk haus darah."Solor menatapnya tajam, matanya yang letih penuh pengertian namun dingin. "Buaya-buaya itu berasal dari Lemah Angker. Mereka telah menjajah rawa-rawa di Nawijem dan Pegunungan ini. Semakin hari, semakin mereka menyebar." Suaranya tegas, namun ada nada kerisauan yang samar.Percakapan bergulir, menyentuh topik Sayembara yang akan datang. Handoko, dengan wajah serius, bertanya, "Kenapa belum ada kabar resmi? Bukankah bulan Ngalam Suro sudah tiba?"Solor memandangi api unggun, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya berbicara. "Hadiah Sayembara kali ini... jika benar dilaksanakan... adalah Akik Kumenteng," ucapnya, nada suaranya lebih gelap."Apa itu? Sebuah senjata sakti?" tanya Joko, matanya berbinar dengan rasa penasaran."Bukan senjata," balas Solor singkat, memutuskan untuk tidak memberi penjelasan lebih jauh. Topik tentang Batin Pangikrar terlalu berbahaya untuk dibicarakan.Namun, pertanyaan lain muncul. "Tuan Solor, apakah kau melihat tiang cahaya beberapa hari lalu? Apa itu benar pusaka?"Solor mengangguk pelan. "Ya, itu berasal dari pusaka. Tapi ingat, hukum Aliansi melarang penggunaan pusaka. Jangan sekali-kali mendekatinya."Suasana mendadak berat, seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Solor mengakhiri pembicaraan dengan nada tegas. "Sudah cukup. Kita harus beristirahat. Perjalanan besok akan panjang."Mimpi SolorMalam kian larut, kabut semakin tebal melilit jalur sempit Pegunungan Lumut. Embun yang menggantung di daun trembesi jatuh perlahan, menghantam dahi Solor yang terlelap. Kejatuhan embun itu seperti pintu gerbang menuju mimpi yang terasa lebih nyata daripada kenyataan.Dalam mimpi itu, Solor berdiri di tengah savana Lataran Wijo, tempat yang ia kenal sebagai Warung dan Pondok Kecot. Semula damai, suasana berubah drastis. Langit mendung menyelimuti, gemuruh menggelegar, dan angin badai menampar tubuhnya.Dari balik pegunungan, bayangan raksasa muncul, siluetnya perlahan mendekat. Gemuruh tanah terdengar setiap langkahnya, seolah dunia bergetar di bawah kekuatannya. Bayangan itu perlahan menyerupai sosok manusia yang berjalan di tengah badai."Itu... Agniran?" bisik Solor, tubuhnya gemetar. Sosok itu mendekat, menatapnya tajam, sebelum menyapanya dengan suara yang menggema, "Aku ada di sini untukmu." Namun saat sosok itu meraih tangannya, badai mereda, dan semuanya lenyap dalam sekejap.Solor terbangun dengan napas memburu. "Hanya mimpi..." gumamnya, tapi perasaan aneh menyelimuti hatinya.Makhluk PemikatDi tengah keheningan malam, udara tiba-tiba terasa menusuk, membawa hawa yang lebih dingin dari sebelumnya. Kesunyian berubah menjadi kehadiran yang mengintai, sementara aroma manis dan memikat menguar di udara, seakan-akan memanggil dari kejauhan.Dari balik kabut, muncul seekor kijang besar, ukurannya hampir sebesar sapi. Tanduknya menjulang tinggi, bercabang seperti pohon yang mengakar ke langit. Tubuhnya bersinar keemasan, bulunya memantulkan cahaya lembut, menciptakan pendar magis yang membius siapa saja yang melihatnya.Joko membuka matanya, terpesona oleh keindahan makhluk itu. Tanpa sadar, ia turun dari pohon, matanya terpaku pada kijang yang berjalan anggun di Jalur Lumut. Kabut semakin tebal, menyelimuti jalur itu, membuat Joko seakan hilang dalam pusaran pesona yang memanggilnya.Namun, Solor terbangun oleh firasat buruk. Matanya tajam menembus kegelapan, langsung menyadari bahaya. "Dadung Kawilis," gumamnya pelan, seraya mengambil batu tajam dari dekat api unggun.Dengan gerakan cepat, Solor melemparkan batu itu ke arah kijang. Tubuh kijang itu seketika terpecah menjadi ribuan kupu-kupu emas yang beterbangan di malam yang gelap."Joko!" teriak Handoko dan Agniran, panik melihat temannya yang hampir terperangkap. Mereka segera menyadarkannya dengan membasuh wajahnya menggunakan embun dari daun trembesi.Joko tersadar, wajahnya penuh kebingungan. "Apa yang terjadi?"Solor menatapnya tajam. "Makhluk itu adalah pemikat. Sesuatu yang indah tak selalu membawa keselamatan."PerpisahanSaat matahari mulai terbit, kabut perlahan memudar, membuka jalur menuju Wijonayem dan Wulansana. Di bawah cahaya pagi, mereka berdiri saling berpandangan, siap melanjutkan perjalanan masing-masing."Berhati-hatilah," pesan Solor, suaranya tegas namun lembut. "Keindahan bisa melalaikan kalian, membawa kalian ke dalam bahaya yang tak terbayangkan."Ketiga pemuda itu mengangguk, menyimpan pesan itu dalam hati. Dengan langkah mantap, mereka berpisah, membawa pengalaman malam itu sebagai pelajaran berharga dalam perjalanan mereka yang penuh ancaman.