Chereads / Chandraklana : Singularity Of The Grand Prize / Chapter 13 - Hutan Pinus Alingkukoh

Chapter 13 - Hutan Pinus Alingkukoh

Seperti halnya dataran tinggi yang patah sisi satunya tenggelam dan sisi yang 

satunya tidak, mirip dengan plateu tapi lebih hijau berumput kebanyakan tanah 

dan batu batunya seperti lebih subur dari pada batu gamping tetapi masih bagus 

batu marmer.

Tebingan besar dan panjang ini dinamakan tebing Walikukoh. Solor dengan melaju cepat menaiki kuda coklat keemasan berambut dan 

berekor putih.

Memiliki Sadel terbuat dari kulit berwarna coklat tua. Kuda pilihan Solor ini 

tidak pernah mengecewakan penunggangnya atas kecepatan dan kelincahannya. Kuda yang mungkin memang terlahir kerdil, tidak dapat diragukan kekuatannya dari pada kuda biasanya.

Walaupun tampak kecil, dengan cepat kuda berlari melewati daratan luas berumput di selangi beberapa tonjolan bebatuan putih menjulang tinggi yang seakan akan bebatuannya berlari seperti berlawanan arah. 

Rumput berdaun lebat pendek tipis yang seagian memiliki bunga kecil berwarna putih 

menyebar keseluruh daratan depan atau sebelah selatan kota Alingkukoh.

Dengan gegas menggoyah menarik kekang pada kuda, Solor mempercepat laju 

larian kudanya.

Angin yang berhembus tertabrak menggoyahkan sebgian apa yang di 

kenakan Solor sampai rambut kudanya.

Langit senja yang cerah membentang luas 

membelakangi kerajaan Alingkukoh, di hiasi awan bergaris garis jarang dan tipis 

kearah mata hari bergerak.

Dengan sedikit tergesa Solor menjalankan dengan laju kecepatan yang tidak 

begitu stabil memegang kekang pada kuda yang di tungganginya. Hingga nampak 

suatu jajaran pohon dari satu pohon terlewati oleh larian kuda hingga beberapa 

pohon terlewati sampai Solor memasuki hutan. 

Hari semakin gelap, cahaya 

mataharipun hampir hilang tidak tersisa. Solor berencana sampai ke Warung & 

Pondok Kecot yang tepatnya setelah melewati hutan ini sebelah sungai Walindir. 

Didalam hutan menjadi agak remang karena sinar matahari yang semakin terlahap 

oleh bumi. Segera mengeluarkan pematiknya dari kantong yang di sampirkan disampingnya, agak kesulitan menyalakan sumbu Lampu tabung yang ada 

pada cantolan sabuk yang tertali kencang, bergerak naik turun di pahanya 

dikarenakan goyahan laju cepat larian kuda, hingga Solor selesai menyalakan 

pematiknya mengenai sumbu lampu, Kini Solor sedikit terbantu penerangannya 

melewati hutan mengikuti jalan tanah menuju Warung & Pondok Kecot. 

Dengan sedikit bantuan cahaya lampu bahan bakar batu bara yang tercantol di sabuk 

menempel di bagian paha dan terikat kencang.

Solor terus melaju didalam hutan 

yang banyak di tumbuhi pohon pinus, Jalan tanah dalam hutan sebagai panduan 

kemana Solor melaju kencang mengendarai kuda. Di keadaan yang hampir gelap 

gulita dia melihat dua orang berjalan dipinggir jalan tanah dari belakang, 

Solor sedikit memperlambat larian kuda hingga sampai mendekati dan berjalan 

menaiki kuda tepat berada disamping kedua orang yang sedang berjalan di pinggir 

jalan tanah.

" Helo,"

Ucap Solor kepada kedua orang yang tidak menimbulkan kaget pada keduanya.

" Oh Kroto domble? "

Ucap salah satu dari orang di jalan tanah, mengenali Solor.

Memang Kroto domble adalah julukan Solor yang pernah menang salah satu Sayembara dulu karena senjata andalannya menggunakan rumah angkrang hingga membawa namanya menjadi pejuang jaman dahulu dan semakin dikenal sebagai penjaga Rawa Si Kroto Ndomble

" Kalian darimana?"

Ucap Solor yang masih berada di tunggangan kuda dengan melihat orang berjalan di sampingnya.

" Kami tinggal di Alingkukoh, kami terlambat pada rombongan ke Wijonayem, yang sudah berangkat empat hari yang lalu"

"Tetapi tenang saja tuan Solor si Kroto Ndomble, kami mendengar kabar ada Delman khusus yang mau mengantar ke Wijonayem secara aman dan gratis di Ronoasri"

Jawab salah satu kedua orang itu

" Apakah kalian tahu tentang Akik Kumenteng?"

Tanya Solor singkat

" Sekarang Akik itu menjadi Grandprize para pengelana dan semuanya menginginkan itu,"

Jawab orang itu sambil berjalan dengan suasana hutan pinus yang remang yang 

hanya tersebar cahaya dari lampu ublik yang dibawa ketiga orang tersebut.

Terdengar dari kejahuan suara delman dari belakang mereka, yang semakin 

keras suaranya tanda mendekati. Dengan segera orang wanita yang berjalan itu 

melewati pria disampingnya dan berada di jalan agak menengah Wanita itu 

melambai tangan keatas.

" Acara yang diperingati setiap tujuh tahun, sayang sekali kalau kami melewatkan!!"

" Apalagi hadiahnya … membuat kami penasaran dari mana pemenangnya.."

Jawab pria orang itu sambil menengok kearah delman yang menimbulkan suara karena berlari dari belakang menuju mereka.

" Maksud saya, apakah anda tahu asal usul akik itu?"

Tanya Solor bertujuan mencoba menanyai tentang Akik Kumenteng.

" Sepertinya Tidak"

"Iya kami tidak tahu"

Ucap kedua orang itu bergegas mencegat Delman yang dilihatnya semakin mendekat.

Tidak lama kemudian Delman tiba tepat di samping sebelah kuda Solor yang 

sedang berjalan pelan dibarengi kedua orang masuk kedalam gerbong Delman.

" Kemana ini? Apakah langsung Ke Wijonayem? "

Ucap Solor mengangkat tangannya melambaikan ke kusir yang terlihat menyisihkan punggungnya dari samping tertutup dinding Delman bagian depan.

Lama tidak menjawab, membuat Solor mendekati yang kemudian berusaha menengok mencari 

muka dari orang yang bertugas mengendarai kuda dari Delman bergerbong warna hitam tersebut. Dilihatnya pemuda dengan wajah agak pucat lusuh seperti kurang mandi beberapa hari yang hanya sebentar menatap Solor kemudian berpaling.

Ronoasri merupakan desa kecil terletak di pinggir telaga sebelah selatan Alingkukoh yang dapat ditempuh sekitar satu hari setelah dari Hutan Pinus Alingkukoh dalam mengendarai kuda. Ada sebuah jalur yang dahulu dibangun oleh warga yang menghubungkan antara Ronoasri dan juga kerajaan Alingkukoh mereka menamakan jalur Adolan, sebuah jalan dari paving batu yang tidak seutuhnya menyambung, karena kendala akibat geografis, membuat jalur ini sebagian hilang tertumpuk tanah dan juga banyak tidak terlihat ditumbuhi tanaman. 

Walapun jalurnya sebagian tidak menampakan, warga penduduk Sanajayan tetap bisa mudah menemukannya karena memang jalur ini paling ramai karena menghubungkan antara desa Wijonayem, Ronoasri, Wilayah pertebingan dan kota Alingkukoh yang biasanya untuk dalam hal perdagangan. Dari wilayah utara bagian barat dan kota Alingkukoh, jalan tercepat menuju Wijonayem bisa melewati Jalur Adolan yang kemudian harus menaiki kapal dari kedesa Ronoasri dilanjutkan menyebrangi Danau hingga bisa sampai kedesa Wijonayem.

Karena Solor lama menunggu tidak ada balasan dari kusir yang tampak diam saja,  dia kembali memukulkan striup ke perut kudanya untuk memulai perjalanan.

"Baiklah, kalian semua hati hati di jalan.."

Ucap Solor langsung menarik kekang dan kuda mulai berlari menjauhi 

mereka

" Selamat tinggal tuan sampai bertemu kembali"

Teriak suara wanita terdengar dari dalam gerbong Delman yang berwarna kebanyakan hitam berukir kayu terplitur.

Dimalam yang gelap di hutan pinus selatan dataran padang rumput Alingkukoh, 

Solor mengendarai kudanya mengikuti jalan tanah yang cepat, hanya beberapa pengendara yang sekiranya dapat dihitung melewati jalan tanah dua jalur agak lebar yang sebagian kadang ada tiang lampu tidak semua menyala di pinggir jalan tanah membuat sebagian tersinari cahaya oren api batu bara.

Terus melaju menelusuri Hutan sampai waktu menunjukan tengah malam, 

ditemuinya pohon pohon pinus tumbuh mulai jarang kini Solor hampir keluar hutan pinus.

Ditengah malam yang cerah tak berawan, Solor keluar dari hutan pinus menuju Padang rumput lagi yang tetap masih mengikuti jalan tanah yang jalannya agak naik bukit tidak terlalu tinggi.

Setiba di bukit Solor melihat tampak luas lembah padang rumput yang jarang di tumbuhi pohon diterangi bulan yang bersinar utuh dilangit cerah, membuat padang rumput terang kebiru biruan membawa semilir angin dingin.

Dilihatnya juga beberapa sungai mengalir dari kejauhan yang airnya nampak 

berlinang terpantul cahaya bulan malam hari.

Berhenti sejenak kuda Solor telah sampai di atas bukit padang rumput hijau, dipandanginya sambil memengang tali kekang, didepan yang sangat jauh mata memandang terbentang luas seperti karpet hijau raksasa dimalam hari, wilayah ini dikenal dengan julukan "Lataran Wijo".

Dilihatnya sebuah batu tebing sendirian ditengah tengah lembah padang rumput

yang diatas batu tebing tinggi lagi terdapat bangunan layak cangkang siput mengkerlipkan cahaya kecil terlihat berderetan dari atas cangkang sampai menyebar ditanah bawah tebing.

Karena sedikit capek dan mengantuk tidak mau lama menikmati suasana lembah padang rumput dimalam hari beberapa saat kemudian, Solor menarik kekang membuat kudanya melanjutkan berlari mengikuti jalan tanah lagi menuruni bukit padang rumput menuju bangunan yang ada pada atas tebing tersebut.

Kuda Solor masih berlari dengan cepat dan mantap menuju mendekati batu tebing yang mulai terlihat dekat. Suasananya yang memang sepi membuat tak ada pengendara kuda lain datang ke batu tebing itu sampai Solor melihat jalan agak naik bertepi pagar kayu yang telah di sediakan.

Dindingnya terbuat dari beberapa susunan papan kayu dan juga beberapa bata dari batu yang di bagian atasnya di pasangkan kulit kulit hewan melebar disisi bagian dinding lainnya. Atap berbentuk cangkang 

keong raksasa terpasang di bagian atas bangunan ruang utama.

Dinding ruang lainnya beberapa atap terbuat dari jerami yang terikat dan terusun rapi. 

Diatas cangkang raksasa terdapat roda kecil sebagai pengerek tali lampu ublik, disampingnya lagi tiang pendek tertali sebuah kain berwarna hijau tua, kain berwarna hijau tua yang tertali sepanjang ujung atap menyambungkan ke beberapa 

tongkat yang berada di atas atap jerami lainnya.

Dan lampu ublik kecil terpasang berdertan di lenturan tali yang menghubungkan 

keroda pengerek dari puncak atap berbentuk cangkang menyebar menyambungkan sebagian diatas atap ruangan lain, sebagian  menghubungkan dari pucuk cangkang 

melentur pada beberapa batu di tanah yang jaraknya agak jauh dari batu tebing.

Semakin mendekat tampak jelas bangunan Warung yang unik dengan khas Keong 

pada atapnya berwarna kuning tua kecoklatan.

Warna lampu ublik orange berkelip 

kelip berderetan di benang kain menggelantung diatas atap ke atas atap lainnya. 

Larian kuda semakin mendekati jalan setapak yang agak naik dan sedikit memutar 

pada pinggiran tebing kecil itu hingga sampai berada di halaman bangunan diatas tebing membuat larian kuda Solor pun melambat sampai menemui didepannya sebuah papan dari kayu yang mempunyai lebar satu meter panjang dua meter bertuliskan

Selamat datang di

" WARUNG DAN PONDOK KECOT "

Tempat ini memang dibangun secara strategis untuk peristirahatan para pengembara.

Selain tempat favorit Solor karena disinilah dia bisa bertemu dengan teman, bukan teman tetapi sahabatnya, sepertinya lebih dari sahabat, bisa jadi saudaranya, mereka pengelola, Warung dan Pondok ini.

Kini Solor tiba didepan pelataran Warung dan Pondok Kecot, dia yang masih 

mengendarai kuda dengan pelan, berjalan menuju tempat pengikatan kuda yang ada 

di sebelah Bangunan Warung ini.

Dia melihat ada sembilan kuda pada sekat masing masing kandang, kini ada 

sepuluh kuda bersama kuda milik Solor.

Seketika Solor turun dari kudanya sembari menarik tali pada kepala kudanya 

mengajak untuk memasuki skat yang tersedia khusus satu kuda dan mengikat tali 

kudanya di tempat pertalian yang ada pada depan kuda menghadap.

Lalu di tutuplah pintu setinggi setengah badan yang ada pada kandang skatan 

itu. Solorpun berjalan meninggalkan kudanya menuju Bangunan Warung yang beratap 

cangkang bekicot raksasa.

Tampak jauh terlihat gerombolan hutan pinus Alingkukoh dari atas tersoroti sinar bulan disetiap lancipan ujung pohon yang mulai tersayu sayu dimalamnya hari memulai timbulnya kabut.

Sekitaran batu tebing tampak lebih terang membawa beberapa angin berhembus lembut menabrak tubuh membuat Solor merasa dingin ingin segera berjalan menaiki pondasi memasuki Warung.

Didalam warung yang terang berkat cahaya lampu ublik besar yang terpasang di 

beberapa dinding dan juga tercantol di atas dua orang penjaga warung yang 

sedang berincang bincang dengan pendatang warung lainnya didepannya.

Ruangan warung yang cukup luas, ada meja besar berisi makanan tersaji dan 

juga beberapa camilan dipiring menyebar di meja besar tengah.

Meja besar tengah yang membentuk U ditengahnya ada penjaga warung dan juga pramusaji yang siap membantu kebutunan para pendatang. 

Didepan dua orang penjaga warung ini 

sebelah meja Besar tersedia tempat duduk kursi dingklik mengitari Meja Besar. 

Di sebelah bagian kanan kiri meja besar terdapat juga Meja berbentuk kotak yang 

lebar serta dua kursi dingklik yang panjangnya sepanjang meja saling menghadap. 

Didepan meja besar dari jarak kursi dingklik yang menghadap penjaga warung ada 

dua setengah meteran jaraknya terdapat kursi dingklik panjang lagi dan 

didepannya terdapat meja panjang yang menghadap jendela terdiri jejeran balok 

kayu vertikal yang memiliki sekat tiga puluh sentimeter sehingga nampak sisi 

lahan depan warung ini.

Solor berjalan menuju kursi dingklik yang paling longgar yang ada pada 

samping kedua penjaga Warung.

" Ohh... Tuan Solor..Selamat Datang.."

" Silahkan, tuan duduk di depan saja .."

Ucap penjaga warung berbadan gemuk besar berambut cepak ikal masih banyak yang hitam tertutup udeng, memiliki brewok berumur sekitaran empat puluh tahun dan memakai baju lurik coklat hitam tidak lupa serbet putih di pudaknya menyampir, orang ini biasanya sebagai pembantu keperluan Warung dan Pondok Kecot bernama " Gunadir"

Seketika pendatang warung yang duduk di depan kedua penjaga warung itu 

sedikit bergeser memberikan ruang duduk untuk Solor.

" Silahkan tuan .."

Ucap pendatang lain bergeser memberikan sela mempersilahkan duduk kepada 

Solor.

Seketika juga Solor berpindah dari samping hingga duduk di kursi dingklik 

yang ada didepan kedua penjaga warung.

" Senang bertemu anda Tuan Solor.."

Ucap penjaga warung wanita berumuran dua lima tahunan, berbaju lurik dengan 

rambut dikepang dua di taruh ke samping kanan kirinya.

" Mau dibuatkan apa Tuan?"

Pinta pelayan wanita bernama Arindi, sebagai ragil dari ketiga penjaga Warung dan Pondok Kecot.

" Seperti biasa saja, Kopi dengan susu kambing"

Jawab Solor

" Siap, tuan"

Ucap pelayan wanita seraya membalikan badan untuk menuju ke meja bagian 

pengracik minuman.

" Ohh... Tuan Solor...tiga bulan anda tidak mampir sini.., sungguh senang 

bisa bertemu anda tuanku.."

Ucap pelayan gendut tadi bernama Gunadir yang seperti biasa gemar melayani pendatang warung.

" Dari mana Tuan Solor?"

Tanya pendatang lain yang duduk disebelah Solor berusaha menyapa sok kenal sok dekat.

" Sebelumnya saya dirumah saja ... "

" Tetapi, semenjak poster sayembara tiba dirumahku, dan karena Grand 

Prizenya, membuatku harus ketimur.."

Jawab Solor 

" Oh, memang hadiahnya membuat semua warga berantusias "

" Kenapa tuan pendiri padepokan menghadiahkan Akiknya?, bukankah Akiknya 

terlalu mujarab dan begitu disayangkan apabila di turunkan lagi, bukankah begitu tuan Solor?

Kata Gunadir didepannya terhalangi meja besar berbentuk U

" Maka dari itu...Sayembara kali ini sangat terkenal karena hadiahnya"

Tambah pendatang warung disebelah Solor duduk

Karena lama tidak bertemu membuat penjaga Warung dan Pondok kecot bernama Gunadir menyahut pembicaraan diluar topik mempertanyakan kehidupan sehari hari Solor dirawa.

" Berapa banyak Tuan biasanya anda mendapatkan rumah Angkrang?"

Tanya Gunadir pelayan warung yang gendut

" Sebetulnya saya punya kandang dirumah, semua aku masukan di rinjing anyaman 

bambu besar dan kini ada sepuluh lebih"

Jawab Solor

" Ohmm ...banyak sekali ...apakah mereka tidak menggangu tuan?"

Ucap Gunadir

" Tentu saja tidak, karena aku merawatnya..."

Jawab Solor

"Bagaimana keadaan rawa disana tuan, …Apakah disana aman..?"

Tanya lagi Gunadir lagi

" Aman, tidak ada keganjalan apapun.."

" yang ada hanya sepi malahan…"

Jawabnya

" Oh ..iya.., Bagaimana, apakah kalian bertemu Samiranah,.. atau dia mampir kesini?"

Kata Solor sedikir teringat pengelanaanya yang pernah bersama Samiranah mengelilingi Pegunungan Lumut guna menyelidiki Lemah Angker.

" Gadis pandai yang menang Sayembara sebelumnya itukan tuan? Semenjak terakhir datang bersama tuan Solor, Sudah lama juga tidak mengunjungi warung kami"

Jawab Gunadir

" Saya senang dengan gadis itu tuan, setiap berkunjung kesini, saya dapat 

bertanya informasi tentang apa saja..dan hebatnya lagi dia itu pasti tahu apa 

yang saya tanyakan..."

" Dia sepertinya generasi Pengelana Bulan, masih muda dan pandai mengidentifikasi sesuatu"

Ucap Gunadir yang duduk berhadapan dengan Solor diselah meja tengah besar 

berbentuk U

" Begitulah...yang saya herankan dengan perempuan muda itu"

"Tapi sayangnya.. dia suka sekali berkelana ke Lemah Angker…!"

Jawab Solor sambil mengambil cangkir kopi pesanannya dari pelayan wanita yang 

bernama Arindi

" Terima kasih.."

Ucap Solor seraya memegang lepek dari cangkir berisi kopi susu mengepulkan asap.

" Tuan Solor, Anak muda dari mana kira kira yang akan memenangkan 

sayembaranya hehe.."

Ucap Arindi pelayan warung 

" Sayembara kali ini sepertinya akan heboh" 

" Dimana mana semua kelihatan berantusias tetapi ada yang sebaliknya mendemo…"

Sahut pendatang warung lain yang duduk disebelah Solor

" Oh iya tuan solor, saya dengar di Ampringan ada sebagian warga menolak 

diadakan sayembaranya,.. apakah itu benar?"

Tambah Gunadir penjaga warung

" Uhukktts...." 

" Kamu mendapat kabar dari mana ?"

Tanya balik Solor kepada orang itu membuat sedikit terganggu menikmati kopinya.

".. Maaf tuan .., saya mendengar dari pengunjung barusan.."

Kata Gunadir didepan Solor yang duduk juga terhalangi meja besar berbentuk U

" Iya tuan.. di desa Ampringan , Ada orang dari Winihdibyo mampir kesini 

menceritakan itu .."

Tambah pendatang baru 

" Berati orang itu tadi dari Winihdibyo?"

Tanya Gunadir kepada pendatang lain didepannya yang tidak sempat mengetahui gosip tentang penolakan sayembara di Ampringan.

" Begitulah dia tadi mengatakan"

Jawab pendatang warung

" Orang tadi mengatakan kalau awalnya dari provokasi seorang dukun yang 

tinggal di Ampringan.."

Jelas Gunadir lagi

" Dulu pernah juga ada kelompok menolak diadakan Sayembara di desa Soriyup, 

karena kebanyakan orang mengatakan sayembaranya memicu Korupsi"

" Pasti tetap diadakan kan ya..,yang dahulu saja tidak se spektakuler seperti 

di Wijonayem kan ya.."

" Mungkin saya juga mau lihat pertandingannya hehe apalagi finalnya hehe"

Ucap Arindi pelayan Warung dan Pondok Kecot sambil tersenyum kesipu mencoba 

bergabung dalam perbincangan walaupun perkataanya kurang jelas.

" Ya begitulah, pasti

sebagian kelompok ada yang tidak setuju "

Ucap Gunadir membalas perkataan Arindi yang belepotan teringat kejadian sebelumnya

" Kalau hutannya habis ditebangi, akankah orang - orang yang tinggal 

disekitaran wilayah hutan akan berenti untuk selalu berbuat ulah?"

Ucap pendatang warung lainnya mencoba mengutarakan terkaannya karena memang 

lokasi kota Ampringan yang dekat dengan Lembah Lemah Angker.

" Loh.. Apa hubungannya,?"

Ucap Gunadir kaget tiba tiba Lembah Lemah Angker masuk ke topik

" Kan sudah sejak dulu hutan itu angker...tidak ada warga yang berani 

berkunjung di hutan berhantu itu"

Jelas pendatang warung lainnya 

" Hutan itu memang jarang di datangi warga, aku saja enggan mendatangi.."

" karena Samiranah..suka mengeyel mengajak kesana.."

" Aku kira ini tidak ada kaitannya dengan hutan Lemah Angker yang tidak 

berpenduduk itu"

Tambah Solor menjelaskan

" Masa anda tidak pernah ke Hutan itu tuan?

Siapa tahu disana ada hewan bagus untuk dijinakan"

Tanya Gunadir

" Sebetulnya pernah, tetapi tidak sampai kedalam hutan"

" Karena kudaku yang melarang, susah untuk dijalankan apabila mau menuju pusat 

hutan.

Ucap Solor sambil tersenyum lebar memegang kopi cangkirnya mengatakan kepada Gunadir.

" Oalah, kuda anda tidak mau pergi kesitu tuan"

Balas Arindi menatap Solor

" Saya juga heran pada penduduk sekitaran hutan itu, masih saja sampai 

sekarang mereka percaya dan kadang ada yang melakukan pemujaan"

Ucap Pendatang warung

" Oh iya, anda dari mana?"

Tanya Solor kepada pendatang warung lain yang duduk disebelahnya

" Saya tinggal di dekat jalur Adolan, sebenarnya lusa mau ke Wijonayem"

" Tetapi tidak jadi, karena Istriku mendadak melarangku kesana.."

Ucap pendatang lain ke Solor

" Kalau dari Adolan lebih dekat dari Ronoasri, tetapi menyebrangi danau…"

Jawab Solor

" Tuan Solor.. apakah anda tidak makan soto tuan?"

Pinta pelayan wanita Arindi untuk terakhir kali melayani pengunjung guna mau berakhirnya Shift

" Belum, nanti saja, sepertinya aku juga mau menginap disini "

Kata Solor menjawab

" Oh.. iya Tuan.. silahkan.., sebentar lagi Koro juga turun.."

Kata Wanita pelayan itu

" Bagaimana selanjutnya di Ampringan tadi Gun" Tanya Solor sambil menyeruput kopinya lagi

" Tidak banyak yang dia katakan"

" Orang itu datang siang tadi, katanya kejadiannya baru baru ini..mulai masa 

Sayembaraan"

" Katanya ada seorang dukun di Ampringan mendadak mengabarkan gosip, yang 

nantinya akan ada malapetaka penutup seperti kiamat"

Jawab Gunadir penjaga Warung dan Pondok Kecot.

Mendengar itu Solor berusaha tenang kepada yang lain di dekatnya. Pikiran 

Solor langsung berubah kembali tertuju pada apa yang dikatakan Samiranah yang tertulis 

disuratnya dan juga karena membawanya menuju Kota Alingkukoh.

" Ohh..kenapa juga ada orang yang suka ricuh mengatakan berita bohong bisa 

saja mereka itu selalu begitu ... apa tidak takut dihukum apa ya..hehe"

Gumam Arindi wanita penjaga Warung tersenyum senyum yang masih belepotan mengatakan sesuatu.

Malam hari cuaca diluar bangunan Warung dan Pondok Kecot tidak terlalu dingin, 

Langit yang cerah berwarna gradasi biru kehitam horisontal bertabur kerlipan 

bintang yang bening tampak tenang tak ada satupun awan mengiringi. Terlihat 

bulan seperti tercuil disepertiga langit dengan cahaya putih susu yang terang 

menerangi lembah rumput wilayah ini.

Seperti sebuah batu tergletak menyendiri di karpet hijau yang luas.

Cahaya warna kuning tua keorenan, nampak menyala di jendela warung lantai 

bawah, dari jauh terlihat beberapa gerakan tangan pedatang warung di dalam 

ruangan di balik jendela yang sedang berbincang.