Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 10 - Bab 10 - Pegunungan Lumut

Chapter 10 - Bab 10 - Pegunungan Lumut

Jalur Lumut

Perjalanan Solor menuju Pegunungan Lumut terasa panjang dan melelahkan. Ia memacu Wus-wus, kudanya yang setia, melalui hutan lebat yang penuh dengan pepohonan trembesi raksasa. Batang-batang pohon itu melenggok seperti bonsai raksasa, menciptakan siluet unik di antara kabut yang tebal. Suasana hutan begitu lembab, aroma lumut bercampur dengan tanah basah menyelimuti udara.

Setelah berjam-jam melintasi jalan yang menanjak dan licin, Wus-wus tiba di depan sebuah gapura besar yang berdiri megah di tengah hutan. Gapura itu terbuat dari batu putih yang telah berlumut, dililit sulur-sulur liar yang menjalar ke atas. Di puncaknya tertulis aksara Jawa yang berbunyi "Jalur Lumut."

Solor berhenti sejenak, menatap gapura itu dengan penuh kekaguman dan rasa hormat. Ia tahu Jalur Lumut adalah peninggalan nenek moyang, sebuah jalan setapak yang mengitari Pegunungan Lumut dan menghubungkan kota-kota di wilayah Sanajayan. Jalan ini dulu menjadi jalur utama, tetapi kini banyak bagian tertutupi lumut, akar, dan tanaman liar.

Di sepanjang jalan, terdapat tiang-tiang lampu batu putih berbentuk candi kecil. Namun, kebanyakan telah tertutupi lumut atau rusak, mematikan fungsi penerangannya. Meskipun begitu, Wus-wus tetap berlari penuh semangat menyusuri jalur ini, menembus kegelapan hutan yang mulai beranjak siang.

Lautan Akar

Solor tiba di sebuah wilayah yang penuh dengan akar-akar pohon yang menutupi lantai hutan. Akar-akar itu begitu besar dan semrawut, menjalar seperti ular raksasa yang saling melilit. Lumut hijau tebal menutupi hampir seluruh permukaannya, membuatnya licin dan sulit dilalui.

"Lautan Akar," gumam Solor, mengenali wilayah ini dari cerita orang-orang.

Wus-wus bergerak perlahan, melompat dengan hati-hati dari satu celah akar ke celah lainnya. Sesekali ia tergelincir, tetapi dengan cekatan Solor menyeimbangkannya. Pohon-pohon trembesi di sekitarnya berdiri menjulang, batang-batangnya besar dan melenggok anggun. Daun-daunnya yang rimbun menciptakan bayangan teduh yang berkabut.

Solor menarik napas panjang, menikmati udara lembab yang menyejukkan. Tetapi perasaan lega itu tak berlangsung lama—wilayah ini begitu luas dan membutuhkan kesabaran luar biasa untuk melewatinya.

Gempa di Tebing

Setelah berhasil melewati Lautan Akar, Solor melanjutkan perjalanan menuju daerah yang lebih terang. Hutan di sini sedikit lebih lapang, meskipun pepohonan trembesi masih mendominasi. Jalan setapak Jalur Lumut terkadang tampak, terkadang tersembunyi di balik akar dan lumut.

Namun, langkahnya terhenti ketika ia menemukan jurang besar yang membentang di hadapannya. Di bawahnya, aliran sungai deras menggema di antara tebing. Solor merasa resah. Kabut tebal membuatnya sulit melihat dengan jelas, dan ia mulai berpikir bahwa dirinya telah tersesat.

Ia menyusuri bibir jurang dengan hati-hati, berharap menemukan jalur yang benar. Tak lama kemudian, kabut mulai menipis, dan ia melihat sebuah jembatan putih megah yang menghubungkan kedua sisi tebing. Itu bagian dari Jalur Lumut.

"Ah, akhirnya..." Solor tersenyum tipis, tetapi senyuman itu segera sirna.

Tiba-tiba, getaran terasa di tanah. Wus-wus meringkik gelisah. Solor mengira itu gempa bumi, tetapi getaran itu terlalu teratur. Ia meneliti sekitarnya dengan cermat. Di seberang tebing, dedaunan pohon trembesi besar bergoyang liar, seolah-olah ada sesuatu yang mendekat.

"Bukan gempa..." bisiknya waspada.

Tiba-tiba, suara teriakan menggema dari arah pohon-pohon besar.

"Ke arah sini!!!"

Dari balik kabut di seberang tebing, seorang pemuda muncul. Ia berlari dengan tergesa-gesa, tubuhnya diselimuti peluh dan napasnya tersengal. Terlihat panik, pemuda itu memanggil seseorang, tetapi sosok lain yang ia panggil belum tampak di balik bayangan pepohonan.

Solor menegakkan tubuhnya di atas Wus-wus, bersiap menghadapi apapun yang datang. Suasana hutan yang sunyi berubah menjadi mencekam. Ia tahu, perjalanan ini baru saja membawa ancaman yang lebih besar.