Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 6 - Bab 6 - Relief Takdir Sanajayan

Chapter 6 - Bab 6 - Relief Takdir Sanajayan

Angin sore menyelinap lembut melalui jendela-jendela tinggi di ruangan balkon melingkar, salah satu tempat tertinggi di Wulansana. Sosok seorang gadis berdiri tegap di sana, tubuhnya menyatu dengan aura keagungan ruangan yang dihiasi ukiran geometris mirip candi. Cahaya matahari yang mulai meredup memantulkan kilau lembut pada relief batu putih raksasa di depannya, menciptakan suasana sakral yang terasa tak tersentuh oleh waktu.Gadis itu, Samiranah, berdiri dalam diam. Rambut panjangnya terurai, dihiasi sumping perak berukir yang berkilauan samar. Kain kemben dan jariknya berwarna putih keemasan melambai lembut, selendangnya berkibar seolah menjadi bagian dari tarian angin yang lembut. Namun, fokusnya tertuju pada relief raksasa itu—sebuah mahakarya tak tertandingi dari batu putih berkilauan seperti kristal.Relief itu menyimpan keajaiban dalam diam. Setiap ukirannya membentuk pola yang begitu rumit hingga tak terjelaskan, menggambarkan berbagai macam sosok misterius dan simbol yang memancarkan aura rahasia kuno. Di bagian tertinggi, sebuah kristal besar berdiri anggun seperti mahkota, memancarkan cahaya lembut yang seakan berbisik kepada jiwa.Pandangan Samiranah tertuju pada bagian tengah relief: sebuah lingkaran besar yang diukir dengan tujuh pola melingkar. Tepat di tengah lingkaran, tergambar sosok seorang manusia duduk bersila, mengangkat tangan tinggi, menggenggam sesuatu yang tampak seperti Batin Pangikrar yang terbelah, memancarkan cahaya ke segala arah.Langkah pelan memasuki ruangan, memecah keheningan. "Nona... kau di sini rupanya," suara berat dan lembut itu menyapa.Samiranah menoleh perlahan, menemukan Waluyo Karman, salah satu petinggi Aliansi, berdiri di ambang pintu. Pria itu, meski berwibawa, tampak membawa beban yang tak kasat mata."Tuan Waluyo Karman," balas Samiranah, suaranya penuh hormat namun sarat keletihan.Waluyo mendekat, pandangannya beralih ke relief raksasa. "Aku tahu apa yang kau rasakan," katanya lirih, "semua ini... beban yang tak mudah.""Sebentar lagi masaku habis," jawab Samiranah, pandangannya tak lepas dari relief. "Namun hingga kini, aku belum mampu memecahkan teka-teki ramalan ini."Waluyo Karman berdiri tegap, matanya memandangi relief raksasa yang menjulang di hadapannya, sebuah karya seni dan mistis yang telah menjadi saksi bisu sejarah Sanajayan selama berabad-abad. Relief ini, terbuat dari batu putih yang menyerupai kristal, berdiri megah setinggi dua puluhan meter. Cahaya matahari yang memantul dari permukaannya menciptakan kilauan lembut, seolah relief ini memiliki kehidupan tersendiri.Setiap lekuknya memancarkan keanggunan yang penuh teka-teki, menampilkan ukiran yang tidak hanya indah secara estetika tetapi juga sarat makna. Pola-pola lingkaran yang harmonis terlihat menghiasi bagian tengah relief, tujuh lingkaran yang tampak saling terhubung oleh jalur-jalur halus yang berkelok-kelok, menyerupai untaian takdir yang tak terputus. Di pusat lingkaran terbesar, terdapat ukiran sosok manusia yang duduk bersila, kedua tangannya terangkat memegang Batin Pangikrar yang tampak terbelah menjadi dua, mengeluarkan cahaya ukiran yang terasa hidup."Pengembara Bulan Sabit," gumam Samiranah, menyebut tulisan aksara Jawa kuno yang terpahat di bawah sosok tersebut. Suaranya hampir seperti bisikan, seolah tak ingin mengganggu suasana sakral di ruangan itu.Waluyo melanjutkan, menunjuk bagian yang lebih tinggi. "Lihat di atasnya," katanya, suaranya dalam dan penuh makna. "Relief itu menggambarkan bintang-bintang yang bertebaran, diselimuti kabut tipis seperti misteri yang menyelubungi takdir kita." Di sela-sela bintang-bintang tersebut, terukir aksara berbunyi, "Malapetaka Penutup," terpahat dengan goresan tegas namun penuh kehati-hatian.Samiranah mengerutkan kening, pandangannya mengikuti arahan Waluyo. "Kabut itu," katanya, hampir pada dirinya sendiri, "seolah memberi peringatan bahwa langit yang indah juga bisa menyimpan ancaman."Waluyo mengangguk pelan, lalu menunjuk bagian relief yang lebih tinggi lagi. "Lihat, di sini terdapat sebuah candi yang bersinar cemerlang, seolah-olah memancarkan harapan di tengah kegelapan. Namun, di atasnya... bulan sabit bersinar di tengah latar yang gelap, tetapi bukan malam.""Di Kegelapan tetapi Bukan Malam," ulang Waluyo, mengutip tulisan aksara Jawa yang menyertai ukiran itu. Suaranya terdengar berat, seolah-olah makna dari kata-kata itu terlalu besar untuk diungkapkan.Puncak relief itu menyimpan keajaiban terakhir—sebuah batu kristal yang memahkotai keseluruhan ukiran, berdiri seperti penjaga yang bisu namun penuh kewibawaan. Kristal itu memantulkan cahaya alami, menciptakan spektrum warna yang menari di dinding ruangan. Keberadaannya seolah menjadi kunci yang mengikat seluruh cerita yang terkandung dalam relief tersebut."Dan akhirnya," ujar Waluyo dengan nada lembut namun serius, "kristal itu. Mungkin itulah puncak dari semua rahasia yang terkubur di sini."Samiranah memandang relief itu dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apakah relief ini benar-benar mencerminkan takdir Sanajayan?" tanyanya lembut, hampir seperti kepada dirinya sendiri.Waluyo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Bagaimana tidak? Itulah yang selama ini menjadi keyakinan kita..."Namun, keraguan jelas mengendap di matanya. Samiranah melanjutkan dengan suara ragu, "Apakah benar suatu saat Batin Pangikrar akan menjadi murni kembali?"Relief itu menjadi saksi hening atas dialog mereka. Waluyo akhirnya berkata, "Relief ini sendiri yang memberikan petunjuk, tetapi jawabannya... aku tidak tahu."Ia memandang Samiranah dengan tatapan penuh beban, seolah-olah ada sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan. "Dan tentang pusaka itu," tambahnya, "aku hanya takut jika kita salah memahaminya."Dengan perlahan, ia mendekat kepada Samiranah, membisikkan sesuatu yang membuat waktu seakan berhenti. Kata-katanya terbungkus misteri, namun membawa ketenangan tersendiri."Cahaya tidak pernah meninggalkan kita."Samiranah terdiam, meresapi kata-kata itu. Relief di hadapannya tampak semakin hidup, seolah-olah ia mendengar suara bisikan dari ukiran-ukiran yang memanggilnya untuk lebih memahami rahasia di balik keindahan itu. Perlahan, pemahaman mulai menyusup ke dalam dirinya. Namun sebelum ia bisa berkata lebih jauh, suasana tiba-tiba berubah.Dentuman gong dari kejauhan menggema di udara, membuat jendela kaca bergetar dan suasana di ruangan itu mendadak mencekam. Pandangan Samiranah dan Waluyo terpaku pada garis cahaya yang berdiri tegak memancar di ujung cakrawala sebelah barat mereka tahu—takdir Sanajayan telah mulai bergerak.Samiranah berbalik ke arah relief, melihat kristal di puncaknya memancarkan cahaya yang semakin terang. Aura aneh menyelimuti ruangan, menggugah rasa takut sekaligus harapan. Dalam dadanya, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, malam ini akan mengubah segalanya.