Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 5 - Bab 5 - Ancaman di Rawa

Chapter 5 - Bab 5 - Ancaman di Rawa

Rawa di Nawijem, tempat yang seolah tidak pernah tidur, menjadi saksi bisu atas kehidupan Solor Jayusman. Ia memilih hidup sederhana di sana, jauh dari gemerlap kota, mengabdikan diri menjaga dan melindungi desa-desa di sekitarnya dari ancaman makhluk liar. Siang itu, di bawah terik matahari, ia sedang sibuk memperbaiki perahu kecilnya yang mulai rapuh termakan usia.Pikirannya melayang jauh, terhanyut oleh aliran waktu yang terasa begitu cepat. Sebentar lagi, "Ngalam Suro" akan tiba—tahun yang oleh warga Sanajayan dikenal sebagai "tahun para pengembara." Tahun ini selalu dipenuhi persiapan bagi calon peserta Sayembara Tujuh Tahunan. Namun, bukan sayembara itu yang mengusik pikirannya, melainkan pusaka yang diumumkan sebagai hadiahnya."Akik Kumenteng," pikir Solor, menggelengkan kepala pelan. Sebuah pusaka yang selama ini mengandung suatu hal yang dilarang oleh hukum, kini justru dijadikan hadiah utama. "Aliansi benar-benar kehilangan akal," gumamnya. Meski ia merasa ada yang janggal, Solor enggan terlibat. Baginya, pemilihan Pengembara Bulan Sabit hanya menjadi hiburan rakyat semata—tanpa makna, tanpa perubahan.Yang ada hanyalah beban yang tak terhindarkan bagi sang pemenang.Langit mendadak menampakkan warna yang tak lazim, menggoreskan nuansa ketegangan yang mencengkam. Di ujung barat, sebuah garis cahaya putih menjulang tinggi, menembus langit seperti tombak surgawi yang berkilauan. Kilauan itu begitu terang hingga menusuk pandangan, membangkitkan rasa takjub yang mengunci tubuh Solor seketika. Dia berdiri terpaku, matanya tak mampu lepas dari fenomena luar biasa yang menghiasi sudut cakrawala.Namun, sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata yang mampu menggambarkan rasa terpesona di hatinya, dunia di sekitarnya perlahan berubah. Bayangan masa lalu yang mulai merangkak di benaknya seolah terpecah oleh gejolak yang tak terduga. Semuanya terasa berbeda. Angin mendadak membawa hawa berat, dan suasana rawa di sekelilingnya bergerak dalam harmoni kacau.Dedaunan nipah di sepanjang tepian rawa mulai bergerak liar, bergemerisik seperti bisikan peringatan. Gerakan itu bukan sekadar tiupan angin biasa—tampak jelas, sesuatu yang besar dan mengancam sedang mendekat, menciptakan gelombang ketegangan yang menyebar di udara. Solor menggenggam gagang palunya dengan erat, jantungnya berdetak lebih cepat seiring gemuruh samar yang semakin mendekat dari kejauhan."Ada apa ini?" Solor mendongak, waspada.Seketika, seekor buaya putih raksasa muncul dari air dengan moncongnya yang lebar, menyerang tanpa aba-aba. Solor segera melompat menghindar, nyaris kehilangan keseimbangan. Namun, belum sempat ia bernapas lega, seekor buaya lainnya muncul dari arah berbeda, menghadang jalannya."Sialan! Dari mana datangnya buaya-buaya ini?" geram Solor, berusaha menjauh dari perahu dan gubugnya. Wus Wus, kuda setianya, meringkik gelisah di dekat gubug.Dalam waktu singkat, Solor mendapati dirinya terjebak. Air rawa di sekelilingnya menghalangi jalan keluar, sementara buaya-buaya itu semakin mendekat. Ia mencoba meniup seruling bambunya untuk menenangkan suasana, berharap dapat mengusir makhluk-makhluk ganas itu. Namun, alih-alih menjauh, buaya-buaya itu justru semakin mendekati gubugnya."Wus Wus!" teriak Solor panik, melihat kudanya dalam bahaya. Dengan cepat, ia meraih tali dari sabuknya, mencoba menjinakkan salah satu buaya. Tapi usahanya hanya membuat buaya yang terjerat semakin marah, menyeret dirinya mendekat dengan kekuatan luar biasa.Tanpa berpikir panjang, Solor membuka kotak angkrang kecil yang selalu ia bawa. Dari dalamnya, ia mengeluarkan semut-semut merah beracun. "Maaf, kau harus berhadapan dengan mereka sekarang," ucapnya seraya melemparkan semut-semut itu ke wajah buaya. Makhluk raksasa itu menggeram kesakitan, mundur sejenak untuk menyelamatkan diri.Memanfaatkan momen itu, Solor melompat ke punggung buaya yang sedang terjerat, lalu meluncur menuju gubugnya. Sesampainya di sana, ia segera melepaskan pengikat kudanya."Kita harus pergi sekarang, Wus Wus!" teriaknya, menarik kuda itu ke perahu.Dengan tenaga terakhir, ia mendorong perahu kecilnya menjauhi gubug. Wus Wus, meskipun gelisah, berhasil melompat ke atas perahu. Solor segera mendayung sekuat tenaga, menjauh dari gerombolan buaya raksasa yang mulai berkumpul di depan gubugnya.Ia menoleh ke belakang, menyaksikan gubug kesayangannya ambruk di bawah berat makhluk-makhluk buas yang terus berkumpul dan menghancurkannya tanpa ampun. "Selamat tinggal, rumahku," bisiknya lirih, suara itu sarat dengan kesedihan dan keikhlasan yang bercampur aduk.Kini, Solor dan Wus Wus melaju di atas perahu kecil menuju garis cahaya yang menjulang di kejauhan, meninggalkan rawa yang semakin tidak aman. Di dalam hatinya, ia tahu kejadian ini bukan kebetulan. Sesuatu yang lebih besar sedang menantinya di depan."Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" pikir Solor sambil terus mendayung, matanya tetap terpaku pada cahaya misterius itu. Angin sore membawa aroma rawa yang familiar, namun kali ini terasa berbeda—seolah alam memberi tanda.Tanpa menoleh ke belakang, Solor menatap ke depan dengan tekad yang semakin kuat. Ia sadar, perjalanan ini akan mengubah segalanya.