Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 3 - Bab 3 - Kegelapan dan Harapan di Tambang Kertojayan

Chapter 3 - Bab 3 - Kegelapan dan Harapan di Tambang Kertojayan

Tambang KertojayanTersembunyi jauh di lembah tandus Sanajayan, adalah simbol penderitaan yang tak berujung. Dinding-dindingnya yang gelap dan kasar seperti menelan harapan mereka yang masuk, sementara kegelapan abadi menutupi setiap sudut lorongnya. Para penambang yang tersisa di dalam gua itu sudah lama kehilangan hitungan hari, tapi rasa lapar, haus, dan dingin selalu menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan, tak memihak mereka.Di dalam gua, lorong berdinding batu hitam yang keras dan kasar membentang sempit, menghubungkan rongga-rongga besar yang menyimpan kisah pilu tujuh penambang yang tersisa. Dari lima belas orang yang awalnya bekerja di sana, delapan telah gugur—tiga tewas dibunuh saat mencoba melarikan diri, sementara lima lainnya menyerah pada kelaparan dan penyakit. Di salah satu sudut gua yang dingin dan gelap, Hartoko terbaring lemah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, tubuhnya lunglai akibat demam yang membakar, kelelahan, dan kelaparan yang tak tertahankan."Bagaimana dengan persediaan air kita?" tanya seorang penambang, memecah keheningan yang menyesakkan."Hanya tersisa empat kantung," jawab yang lain, suaranya penuh kecemasan.Salah satu penambang menyuapkan sedikit air kepada Hartoko yang terbaring lemah. "Minumlah, Har," ujarnya lembut, meski tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.Namun, situasi kian suram. Di tengah rasa putus asa, seorang penambang bernama Suryadi tiba-tiba bangkit dan berlari menuju mulut gua. Dengan pakaian lusuh dan tubuh yang hampir tidak bertenaga, ia tetap memaksa melawan kelelahan. Harapannya hanya satu: meminta pertolongan dari para prajurit penjaga di luar.Sampai di mulut gua, ia disambut dinginnya mata tombak dan pedang yang diarahkan kepadanya."Tolong kami! Kami kelaparan. Banyak dari kami yang sakit... tolonglah..." jerit Suryadi, melambaikan tangan memohon belas kasihan.Namun, prajurit yang berjaga tetap tak bergeming. "Kembalilah ke dalam, atau kau kehilangan kepala," ucap salah satu dari mereka dengan nada tegas, sembari menggenggam kuat lengan Suryadi untuk menyeretnya kembali ke dalam gua."Aku hanya ingin mengambil makanan dan obat di desa! Aku akan kembali, aku bersumpah!" Suryadi meronta, menatap langit biru dengan awan yang bergaris lembut berusaha keluar melihat pemandangan yang telah lama ia rindukan.Namun, harapan itu pupus seketika. Sebilah pedang menembus punggungnya, keluar melalui dada. Napasnya terhenti perlahan, dan tubuhnya yang lemah roboh di dekat mulut gua. Matanya yang sebelumnya menatap langit kini buram, sebelum akhirnya tertutup untuk selamanya.Di dalam gua, Hartoko membuka matanya perlahan. Napasnya berat, wajahnya memucat. Aryo, penambang tertua di kelompok itu, duduk di sampingnya. "Hartoko, minumlah sedikit lagi," ucapnya, mencoba menguatkan sahabatnya.Hartoko menggeleng pelan. "Waktuku tidak banyak lagi..." katanya dengan suara lirih. "Aku ingin kalian semua selamat... keluarlah dari tambang ini."Air mata menggenang di mata Aryo. "Kami akan bertahan, Har. Kita akan coba menggali ke atas, mencari jalan keluar."Hartoko tersenyum samar. "Aryo... sebelum aku pergi, aku ingin kau tahu sesuatu. Di belakang leherku... ada susuk yang dipasang oleh ayahku ketika aku masih remaja."Semua penambang yang mendengar kata-kata itu menatap Hartoko dengan terkejut."Susuk itu," lanjut Hartoko, "bisa digunakan... meski aku tak tahu bagaimana tepatnya. Ayahku bilang, ia menaruh sesuatu di dalamnya yang mungkin dapat membantu. Ketika aku mati... susuk itu akan keluar dengan sendirinya.""Susuk?" Aryo bertanya penuh penasaran. "Kenapa ayahmu memasangnya?"Hartoko menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Ibuku hanya mengatakan bahwa susuk itu memiliki kekuatan yang besar."Aryo terdiam, mencoba mencerna informasi tersebut. "Baiklah, Har. Tapi bertahanlah. Kami belum siap kehilanganmu."Hartoko tersenyum lemah. "Semoga kalian beruntung..." bisiknya, sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir.Keheningan menyelimuti ruang tambang. Para penambang menunduk, merasakan kesedihan mendalam atas kepergian salah satu dari mereka. "Selamat jalan, Hartoko," bisik Aryo pelan, diikuti oleh yang lain.Namun tiba-tiba, terdengar suara letusan kecil di belakang leher Hartoko. Para penambang tersentak. Dari lehernya yang telah kaku, muncul sebuah benda berbentuk cincin berwarna kuning keemasan. Cincin itu memancarkan sinar redup dan tergeletak di lantai, diapit oleh retakan tanah yang menghitamDengan hati-hati, Aryo mengambil cincin tersebut. Bentuknya sederhana, tanpa permata, namun terasa berat di tangannya. "Inikah susuk yang kau maksud, Hartoko?" bisiknya pelan, menatap cincin itu dengan penuh rasa ingin tahu.Semua penambang menatap benda itu dengan tatapan yang bercampur antara harapan dan ketakutan. Apakah cincin ini akan menjadi kunci untuk keluar dari tambang, atau justru membawa mereka pada takdir yang lebih mengerikan? Hanya waktu yang bisa menjawab. —-----------------------------------CHANDRAKLANA—--------------------------------------  " Pengembara Bulan Sabit "