Chereads / Chandraklana : Pengembara Bulan Sabit / Chapter 2 - Bab 2 - Bayang-Bayang di Malam Rawa

Chapter 2 - Bab 2 - Bayang-Bayang di Malam Rawa

Malam menurunkan selimutnya di Rawa Nawijem, membawa ketenangan yang tak sepenuhnya alami. Kabut tipis memeluk permukaan air yang tenang, membuat bayangan hutan nipah dan pandan tampak seperti siluet makhluk raksasa. Suara kodok yang bersahutan membentuk irama monoton yang tercampur dengan dengung nyamuk, menciptakan suasana yang hampir memabukkan. Kunang-kunang terbang rendah, cahayanya berkilauan seperti bintang kecil yang menyelip di antara tanaman liar, menerangi rawa yang dihiasi sinar bulan yang perlahan pudar.Di dalam gubug sederhana itu, Solor duduk di ranjang akar pohon yang sudah mulai melunak, diselimuti kain hijau tua yang mulai lusuh. Meski udara malam terasa sejuk, pikirannya tidak bisa tenang. Lampu ublik kecil yang terletak di atas lemari kayu di samping ranjang memberikan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menenangkan kegelisahannya. Poster sayembara yang ia temukan sore tadi terlintas di benaknya, berputar-putar seperti bayangan yang tak ingin hilang.Ia menarik napas panjang, bangkit dari ranjang, dan melangkah ke ruang makan. Meja kayu akar penuh dengan piring kotor, tumpukan buku-buku yang berserakan, dan poster yang masih tergulung setengah terbuka. Tanpa berpikir panjang, ia meraih buku Alit Ananging Iso yang tergeletak di atas meja. Sebuah buku dengan sampul hitam yang mulai pudar, buku yang menuntun pada kenangan yang seharusnya sudah lama terkubur.Solor keluar dari gubug, menuju teras, dan duduk di kursi rotan tuanya. Meja kecil yang ada di samping kursi dipenuhi debu dan tumpukan buku-buku yang tak teratur. Lampu ublik lain berdiri di meja, cahayanya remang-remang namun cukup untuk membaca. Solor menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, matanya menatap ke arah kandang kudanya, Wus-wus, yang tampak tenang. Kuda itu sedang mengunyah potongan daun, dan suara lembutnya seolah memberi ketenangan sejenak di tengah kegelisahan yang melanda.Dengan tangan yang sedikit gemetar, Solor membuka buku itu, membaca dengan perlahan. Ia kembali menemukan deskripsi tentang Akik Kumenteng yang sempat ia temui sore tadi, aksara Jawa kuno itu terasa berat saat ia membacanya, namun tetap dapat ia pahami."Akik Kumenteng... pusaka dari Batin Pangikrar," gumamnya perlahan. Kata-kata itu terasa ganjil di mulutnya, seolah ada daya tarik yang mengikatnya pada masa lalu yang ia coba lupakan.Semakin dalam ia membaca, semakin banyak detil yang mengusik perasaannya. Semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, namun semakin kuat pula perasaan tidak nyaman yang menggelayutinya. Tiba-tiba, suasana di sekelilingnya berubah drastis. Udara yang semula sejuk dan menyegarkan kini terasa gerah, lembap, seolah rawa di sekitarnya memancarkan hawa yang menekan tubuhnya. Solor mendekap buku itu erat, mencoba menenangkan diri.Cahaya bulan yang perlahan memudar digantikan oleh bayangan pekat yang merayap, menelan seluruh ruang di sekitar gubug. Kabut yang semula tipis kini menyelimuti tanah, dan udara terasa semakin berat. Aroma besi, basah, dan tanah yang lembap memenuhi sekelilingnya, mengingatkannya pada sesuatu yang jauh lebih tua, lebih gelap.Seketika, Solor merasa kakinya tidak lagi berpijak di atas lantai bambu gubug. Ia menoleh ke bawah dan menyadari bahwa kini ia berdiri di atas batu kasar yang lembap. Tempat yang familiar kini lenyap, digantikan oleh gua tambang yang suram. Dinding-dinding batu yang dingin menggantikan bambu kuning, kilau redup mineral yang tertanam di dinding gua menyinari sekelilingnya dengan cahaya yang tidak menyenangkan."Dari mana...?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar di antara gema langkahnya yang berderak di batu.Suara baru mulai terdengar, pelan namun jelas. Dengungan beliung besi menghantam batu tambang bergema keras di telinganya, menambah kegelisahan di dada Solor. Hantaman itu semakin lama semakin kuat, namun saat ia berusaha mencari sumber suara, tiba-tiba semuanya menjadi sunyi. Suasana mencekam, menelan suara dunia sekitarnya, hanya ada gema langkahnya sendiri yang mengisi ruang yang gelap dan sepi itu.Solor menggenggam buku hitam itu lebih erat, matanya berpindah-pindah, mencari sesuatu yang nyata, sesuatu yang membawanya kembali pada kenyataan. Ia tahu bahwa ini bukan pengalaman biasa. Pusaka itu—Akik Kumenteng—memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa ia pahami. Ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di balik bayang-bayang itu, dan Solor merasa bahwa ia tak bisa menghindarinya.Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara pelan, hampir seperti bisikan, memanggil namanya."Solor..."Ia membeku. Matanya membelalak, wajahnya pucat. Suara itu datang dari kegelapan, dan meskipun ia tidak melihat siapa yang mengucapkannya, Solor merasakan ketakutan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Suara itu seolah menggema di dalam dirinya, merasuk hingga ke tulang."Siapa?" bisiknya, suaranya serak.Namun, jawabannya hanya datang dalam bentuk hening yang semakin mencekam.