Chereads / Emergency Relations / Chapter 6 - Kanker Otak

Chapter 6 - Kanker Otak

Wiland menghela nafas panjang, lantas bertanya, "Ada apa Ma?"

"Tolong untuk saat ini, kamu fokus dengan kesehatannya Azia!" pinta Rahma.

"Fokus? Maksud Mama, aku harus ngurusin dia, begitu?" tanya Wiland yang Rahma indahkan lewat anggukan.

"Kenapa harus Wiland, si Ma? Mama kan tahu sendiri, Wiland itu paling tidak suka menunda sesuatu dalam urusan pekerjaan. Lagian kondisi dia tidak seburuk itu, sampai harus di jagain segala, dia pingsan hanya karena kaget, gara-gara aku pecat, Ma." Wiland berusaha menghindar dengan bantahan demi bantahan yang diajukan kepada Rahma.

"Wiland, dengerin mama! Jangan dulu membahas pemecatan Azia, mama gak mau kamu memecat dia seperti ini. Lagi Pula apa salahnya kalau kamu memberikan dia kesempatan kedua?" Rahma mengangkat tubuh menghampiri anaknya yang masih berdiri di ambang pintu.

"Mamah tidak merasakan bagaimana kecewa dan malunya Wiland, saat meeting tadi. Kerjasama ini adalah impian Wiland dengan almarhum ayah, Ma," protes Wiland setelah kehilangan kesabarannya, karena Rahma yang bersikeras membela Azia dibandingkan dengan keputusannya.

"Dalam keadaan genting kaya gini, bisa-bisanya kamu hanya memikirkan keadaan kamu sendiri," tegur Rahma.

"Wiland memang begitu, Ma," bantah Wiland lebih tegas.

"Maaf Bu Rahma," timpal dokter.

"Iya Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Rahma, dia menghampiri dokter tersebut, sementara Wiland masih diam di sana dengan mimik wajah kesal.

"Perempuan ini harus segera diberikan penanganan yang lebih serius," jawab dokter.

"Astagfirullah, apa seserius itu keadaanya, Dokter?" tanya Rahma mulai cemas.

"Dokter, teman saya kenapa?" tanya Anita yang juga ikut mencemaskan keadaan Azia.

"Saya masih belum tahu alasannya kenapa, untuk lebih lanjut, dan agar saya bisa mengetahui lebih jauh tentang keadaannya, sebaiknya kita bawa dulu dia ke rumah sakit, karena sepertinya, dia mempunyai penyakit yang cukup serius," saran dokter dengan wajah tegang, seolah dirinya sudah tahu tentang keadaan Azia, dan dengan sengaja menutupinya dari Rahma.

"Baik Dokter, sebaiknya kita bawa dia sekarang juga," imbuh Rahma.

"Penyakit? Apa mungkin kondisi dia separah itu?" pikir Wiland.

"Wiland, ayo cepat bawa Azia ke mobil!" titah Rahma

"Aku?"

"Iya kamu, masa dokter yang bawa Azia, cepat! Dia adalah tanggung jawabmu selama masih jadi karyawan di sini, jangan sampai kamu dituntut gara-gara ini."

Wiland membanting pintu ruangannya cukup kuat, hingga para karyawan yang ada di sana melirik ke arah Wiland dengan wajah terkejut, termasuk dengan Rahma, yang jarang sekali melihat anaknya semarah ini kepada orang.

"Awas!" titah Wiland kepada Rahma. Dengan cepat Wiland membawa Azia dengan cara menggendongnya.

"Anita, tolong kamu awasi kegiatan di kantor, ya!" pinta Rahma.

"Baik, Bu."

Dengan cepat Rahma meninggalkan ruangan tersebut menyusuli Wiland yang sudah pergi lebih dulu.

"Astaga, Azia kenapa tuh?"

"Ya ampun, pak Wiland gendong Azia?" Para karyawan bertanya-tanya, kenapa Azia bisa sampai di bawa ke rumah sakit, bahkan Wiland mau menggendongnya sampai ke mobil. Semua orang tahu, Wiland paling tidak suka dekat dengan wanita selain Fathinia, itu pun karena Fathinia adalah teman masa kecilnya.

"Apa seserius itu keadaan Azia, sampai digendong pak Wiland," celoteh seorang wanita, yang tanpa sengaja Fathinia dengar.

'Apa, Wiland gendong Azia? Berani-beraninya wanita itu," geram Fathinia.

Melihat Rahma yang juga bergegas menyusuli Wiland, Fathinia langsung mengikutinya dan menghampiri Wiland yang sudah sampai di depan perusahaan.

"Wiland, ada apa ini?" tanya Fathinia.

"Entahlah, wanita itu benar-benar membuatku sial," jawab Wiland dengan emosi.

"Astaga, benar kan firasatku dari awal, kalau perempuan ini tidak akan bisa bekerja," sahut Fathinia ikut mengoceh.

"Sudahlah, sekarang aku mau ke rumah sakit dulu, tolong kamu urus kantor selama saya di rumah sakit!" pinta Wiland.

"Iya Wiland, aku pasti akan mengerjakannya sebaik mungkin, sampai kamu kembali," jawab Fathinia.

"Awas saja kamu!" umpat Wiland dengan nada mengancam seraya menoleh ke arah Azia.

***

Lobi rumah sakit yang cukup ramai. Wiland berdesis risih, kala melihat sekumpulan orang yang sedang menunggu pasien di depan ruangan, juga beberapa pasien yang berlalu lalang menggunakan kursi roda.

Hari ini cukup membosankan baginya, bukan hanya karena kontrak kerjanya yang melayang, tapi Rahma, ibunya yang terlalu membela perempuan yang sudah menggagalkan impiannya.

"Mah, Wiland balik ke kantor, ya?" pintanya dengan nada malas.

"Ngapain buru-buru si, Nak. Mama kan sudah bilang, kamu harus bertanggung jawab dengan keadaan Azia, apalagi dia pingsan sewaktu kamu bentak, kalau terjadi sesuatu padanya bagaimana?" tegur Rahma.

Pria itu mendelik, membuang wajah malas dari hadapan Rahma.

"Ayo lebih cepat sedikit jalannya! Kita harus memastikan kalau Azia baik-baik saja!" Rahma semakin mempercepat langkahnya, menghiraukan Wiland yang semakin jengkel dengan situasi saat ini.

Wiland mendengus kesal. Pemandangan indah yang selalu ia lihat selama di kantor, kini berubah memuakan dengan aroma obat-obatan yang menjadi bau khas di rumah sakit.

"Wanita itu benar-benar membuatku jengkel." Wiland memukul tembok rumah sakit cukup keras, hingga beberapa orang yang ada di sana melirik ke arahnya dengan wajah heran.

"Apa lihat-lihat?" tegur Wiland pada seorang perawat yang berhenti di sampingnya, lantas memandang Wiland dengan tatapan aneh.

Laki-laki itu mendelik, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang sudah dokter beritahukan sebelumnya. Tepat di kursi tunggu, kedua insan itu duduk santai dengan berasumsi, bahwa Azia hanya pingsan biasa. Wiland asik dengan dunianya sendiri, melihat informasi pekerjaan lewat ponsel yang sedari tadi di genggamnya, begitupun dengan Rahma, wanita itu selalu sibuk dengan dunia bisnisnya sendiri di bidang Fashion.

Krek... Tidak menunggu lama, dokter yang menangani Azia langsung keluar dengan wajah cemas.

"Dokter," ujar Rahma. Dengan cepat ia berdiri diikuti Wiland yang juga penasaran dengan kondisi Azia.

"Bagaimana kondisi Azia, Dok?" tanya Rahma.

"Benar yang saya duga," jawabnya terpotong dengan helaan nafas seolah memberi kesan prihatin kepad wanita yang kini masih terbaring tidak sadarkan diri.

"Dugaan apa maksudnya, Dokter? Apa dia menderita penyakit yang cukup parah?" Rahma kembali bertanya dengan wajah cemas.

"Tolong bicara yang jelas, Dokter! Anda tahu, saya harus segera pergi ke kantor," protes Wiland menimpali pertanyaan mamanya.

"Wiland, bersikap yang sopan!" protes Rahma. Wanita itu memang selalu berusaha memberikan didikan yang tepat untuk anaknya.

"Azia, dia mengidap penyakit mematikan, bahkan dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi, di dunia ini," jawab dokter, ia tertunduk.

"Ya ampun, Dokter. Jangan berlebihan deh, memangnya dia sakit apa, sampai divonis tidak bisa bertahan lama segala?" tanya Wiland. Ia mengangkat sudut bibirnya dengan rasa tidak percaya atas pernyataan dokter tersebut.

"Kanker otak," jawabnya dengan lirih. Mendengar kabar mengejutkan itu, sontak membuat Rahma melemas, bahkan pada saat itu juga dirinya hampir pingsan.

"Kanker otak, Dok?" tanya Wiland memastikan. Setelah dokter tersebut mengangguk untuk mempertegas pernyataannya, Wiland langsung menarik tunuhnya, dengan rasa menyesal.

"Mungkin bentakan, dan kelelahan yang dia rasakan selama bekerja, membuat tubuhnya merespon dengan sangat buruk, bahkan otaknya bisa memberikan respon menyentak atas sesuatu yang mengejutkannya." Jelas dokter tersebut.