Azia sedikit tersinggung dengan nada bicara Wiland yang tidak bersahabat itu. Ia paham posisinya saat ini adalah atasan Azia, tapi rasanya tidak nyaman jika diperlakukan seperti itu.
'Aku harap pernikahannya gagal,' batin Azia.
"Wiland tolong bantu mama!" Rahma tersenyum simpul memandang anaknya dengan tatapan memaksa, Wiland yang sudah tahu akan karakter sang mama lewat matanya, langsung turun kemudian menghampiri Rahma dengan sinis.
"Ada apa?" tanya Wiland.
"Tolong angkat Azia, mama tidak sanggup, soalnya mama sudah tua," jawan wanita berumur itu memberi perintah.
"Apa? Mama minta aku buat angkat cewe ini?" tanya Wiland sambil menunjuk Azia.
"Iya, memangnya kenapa? Ini kan perintah mama."
Wiland mendelik, ia melempar tatapannya ke sembarang arah, kemudian mendung kesal.
"Tunggu apalagi? Ayo angkat!" pinta Rahma semakin memaksa.
"Sejak kapan mama bersikap seperti ini?" bisik Wiland di hadapan mamanya tersebut dengan wajah kesal.
Wiland melangkah mendekati Azia, tapi bukannya ia mengangkat tubuh wanita itu, Wiland malah meminta penjaga rumah sakit untuk mengangkat Azia dan memasukkannya ke dalam mobil.
***
Sekitar pukul sepuluh pagi, Rahma meminta Wiland untuk segera memberikan kepastian atas permintaanya kemarin malam. Setelah mengantarkan Elin ke rumah Anita, Wiland langsung mengantarkan Rahma ke rumahnya, setelah semua urusannya selesai ia berniat untuk kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Sebelum kepulangan Azia dari rumah sakit
"Tidak, Wiland! Kamu harus tetap tinggal di sini sampai mama mendapatkan kejelasan dari permintaan mama semalam!" pinta Rahma dengan tegas, terlihat dari manik kedua matanya yang menunjukan keseriusan.
Wiland mendengus, matanya menelusuri tatapan Rahma yang dipenuhi dengan paksaan. Rahma seorang ibu yang sebelumnya selalu diam tentang kehidupan Wiland, apalagi mengenai pribadi putranya, hal itu terjadi karena dia tahu kalau Wiland sangat tidak suka diganggu atau diatur. Namun, kini wanita itu mulai mempertanyakan keputusan anaknya setelah ia bertemu dengan Azia.
"Ada apalagi, Ma?" tanya Wiland dengan wajah malas.
"Ada apa? Apa kamu tidak mendengar perkataan mama semalam?" tanya Rahma menuntut jawaban.
"Ya ampun Ma. Stop untuk terus membahas tentang pernikahan aku dan Azia!"
"Apa ini caramu membalas rasa cinta dan didikan yang telah mama tanamkan sejak kecil? Apa ini yang ingin kamu berikan kepada seorang wanita yang sudah merawatmu sejak dulu?" protes Rahma.
Wiland terbelalak. Dia sangat terkejut saat melihat Rahma yang kini berubah drastis. Wanita itu tidak pernah memprotes atau mempermasalahkan apapun pilihan anaknya, apalagi jika itu berhubungan dengan masalah pribadinya. "Apa Mama mulai hitung-hitungan dengan anak mama sendiri? Kenapa si Ma? Mama jadi aneh tahu gak, apa mungkin semua ini gara-gara wanita penyakitan itu?" bantah Wiland dengan tegas.
Rahma menghamburkan tubuhnya di atas sofa, ia memijat pelipis yang terasa berdenyut itu. "Maafkan mama, Wiland. Mama hanya terbawa suasana saja, entah kenapa tapi mama merasa nyaman saat didekat wanita itu."
"Kalau begitu, Mama seharusnya menjadikan dia asisten pribadinya Mama, bukan malah menjadikannya istriku," sambung Wiland.
"Mama menginginkan dia menjadi menantu mama, Wil. Jika kamu tidak suka dengannya, maka secepatnya kamu bawa wanita lain, lalu menikahlah!" Rahma memandang anaknya seraya tersenyum menyimpan harapan.
"Tidak, aku belum siap untuk menikah." Arkan masih bersikeras menolak permintaan ibunya.
"Tidak, mama tidak menerima penolakan. Cepat nikahi Azia atau segeralah menikah dengan orang lain. Mau sampai kapan kamu seperti ini, Wiland? Kamu sudah dewasa, sudah saatnya kamu menikah."
"Kalau Mama merasa kesepian seharusnya Mama beritahu Wiland, aku bisa ajak mama jalan-jalan, berlibur kemana pun yang Mama mau," ujar Wiland. Laki-laki itu ikut duduk di samping Rahma dengan mimik wajah santai.
"Jalan-jalan?" Rahma menoleh ke arah anaknya dengan tatapan pasti. "Benar yang kamu bilang, kalau mama itu kesepian, mama tidak ada teman bicara, teman makan dan banyak lagi. Tapi yang mama inginkan bukan berlibur, Wild. Mama ingin ada orang yang selalu ada disaat mama merasa sepi, seorang perempuan yang bisa menganggap mama seperti ibunya sendiri."
"Mama kan punya Wiland," timpal laki-laki itu dengan cepat.
"Kamu pikir, selama ini kamu tidak sibuk bekerja? Kamu selalu ada di kantor, Wil. Mama tidak menyalahkan kamu, karena mama tahu kamu bekerja untuk keluarga ini."
Wiland mengacak rambutnya merasa frustasi, ia sadar jika dirinya memang terlalu fokus dengan pekerjaannya, obsesinya terhadap kekayaan dan hasil memuaskan dari usahanya membuat Wiland hanya memfokuskan dirinya kepada satu hal saja, sehingga ia lupa dengan seorang wanita yang selalu ada di sampingnya tersebut.
"Baiklah, aku akan minta Azia untuk tinggal di sini bersama mama, tapi tolong jangan paksa Wiland untuk menikah dengannya, Ma." Wiland terperanjat dari duduknya, ia memperhatikan mamanya yang terlihat berharap. Kedua mata laki-laki itu memerah, ia sangat kesulitan untuk membuat keputusan saat ini. Dia tidak ingin jika Rahma berlarut dalam kesedihan, karena bagi Wiland kebahagiaan Rahma adalah segalanya. Namun ia juga tidak bisa menikahi wanita yang sudah merusak pekerjaannya.
'Bagaimana mungkin aku menikah dengan perempuan sialan itu, dia sudah membuat semua pekerjaanku berantakan,' umpat Wiland dalam hatinya.
"Mama tahu, pasti semua ini sulit buatmu, apalagi Azia adalah orang baru yang belum pernah kamu kenal sebelumnya, dia juga telah menghancurkan semua rencana bisnismu, jadi. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf Azia karena sudah menggagalkan kontrak kerjamu," ucap Rahma secara tiba-tiba membuat Wiland mengernyit heran.
"Apa Ma? Apa Mama tidak salah bicara? Permintaan maaf." Wiland menarik tubuhnya, ia melempar pandangannya ke sembarang arah dengan wajah kesal dipenuhi rasa tidak percaya.
"Permintaan maaf macam apa seperti ini. Justru dengan Wiland menyetujui pernikahan ini, bukan hanya aku yang merasa rendah, atau membuat wanita itu menyesal dan membayar semuanya dengan setimpal, tapi malah membuat dia merasa beruntung, Ma."
"Pernikahan ini tidak akan membuat aku bahagia, tapi tetap membuat aku merasakan kerugian yang amat besar. Apa Mama masih tidak mengerti itu?" teriak Wiland tanpa melihat lawan bicaranya. Dia sangat khawatir jika apa yang dia lontarkan membuat ibunya terluka, tapi dia juga tidak bisa menahan amarahnya tentang rencana pernikahan ini.
Wiland menarik nafas panjang, ia mencoba menenangkan dirinya, menahan emosi yang semakin memuncak. Ia sangat lelah mendengar semua kalimat yang Rahma katakan kepadanya. Perlahan ia mendekat ke arah wanita yang masih terdiam dengan mulut terkatup itu.
"Tapi ... jika Mama tetap memaksa aku untuk menikahi dia. Baiklah aku akan menurutinya. Namun, jangan salahkan aku jika suatu saat nanti, setelah kami menikah dan aku masih tidak menyukainya atau bahkan mungkin tidak akan pernah menyukainya, tidak mampu membuatnya bahagia, dan juga tidak bisa membuatnya merasa senang atas pernikahan ini."
"Jika Mama masih meminta untuk aku menikahi wanita itu, maka aku akan lakukan dengan cepat. Semua itu aku lakukan, hanya karena aku tidak mau membuat Mama bersedih atas permintaan konyol ini. Mama tahu, aku kerja hanya karena ingin melihatmu bahagia dan tersenyum, aku selalu berusaha melakukan apa yang Mama inginkan. Maka aku akan melakukan hal yang sama, sesuai dengan keinginanmu, aku akan memberikanmu seorang menantu, tapi jangan lagi mama memaksaku menjadikan dia seorang istri yang normal pada umumnya."
"Status ini hanyalah perjanjian, pernikahan ini akan terikat hitam di atas putih. Sekali lagi Wiland katakan, aku menikahi Azia hanya untukmu, bukan untukku. Tidak peduli apa dia bisa mengurusku ataupun tidak, karena aku masih mampu merawat diri sendiri." Wiland menoleh ke arah mamanya, kemudian melengos dari hadapan wanita berumur itu dengan wajah marah.
"Wiland!" panggil Rahma dengan nada tinggi. Air matanya lolos ke luar.
"Maafin Mama Wiland, tapi Mama tidak bisa mengendalikan diri."