Chereads / Emergency Relations / Chapter 11 - Wiland Bersedia Menikah?

Chapter 11 - Wiland Bersedia Menikah?

wiland memandang Anita dengan tatapan tajam, alisnya terangkat kemudian mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.

"Tidak, Pak. Maksudnya kalau ada kepentingan kenapa tidak menelpon saja, takutnya bapak repot karena sengaja datang ke sini," jawab Anita gugup karena melihat wajah Wiland yang terlihat sangat marah.

"Sayangnya telepon saya tidak diangkat," jawab Wiland tegas.

"Apa yang bapak maksud saya?" tanya Anita ragu. Dia tidak merasa menerima panggilan apa pun dari Wiland.

"Di mana wanita pembawa sial itu?" tanya Wiland seraya celingukan memperhatikan sekitar menghiraukan pertanyaan Anita.

"Maksud Bapak, Azia?" tanya Anita.

Wiland menatap anak buahnya itu dengan sinis, kemudian menimpali, "Memangnya ada orang lain di sini selain kalian berdua?"

"Dia lagi makan, Pak," jawab Anita.

Tanpa permisi dan izin dari sang pemilik rumah, Wiland langsung menerobos masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya terlihat sangat marah, melihat Azia yang seolah sengaja tidak menghiraukan kedatangan Wiland dan malah asik menikmati makanannya, Wiland langsung menggebrak meja makan tersebut hingga Azia tercekat kaget.

"Ahh," jerit Azia dengan wajah kaget.

"Astagfirullah, apa kamu tidak melihatnya, ada manusia sedang makan di sini, kenapa dengan beraninya kamu menggebrak meja ini sembarangan?" protes Azia dengan mata yang melotot sempurna.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Atau kamu sengaja mau membuatku kembali masuk ke rumah sakit?" protes Azia.

"Azia, jaga mulutmu!" ucap Anita memperingatkan.

"Kenapa aku harus repot-repot menjaga mulutku untuk laki-laki jahat seperti dirinya. Aku juga bukan bagian dari karyawannya lagi. So, aku bebas melakukan apapun kepadanya," bantah Azia.

"Dasar tidak tahu malu. Sadar diri kamu Azia!" bentak Wiland.

"Apa masalahmu? Kenapa kamu tiba-tiba marah?" Azia mengangkat tubuhnya, ia memandang Wiland dengan tatapan menantang, sebenarnya ia tidak ingin melakukan itu, apalagi Wiland sudah membayar semua biaya rumah sakitnya. Azia juga merasa bersalah kepada laki-laki itu karena sudah kehilangan kontrak kerja incarannya, tapi ia sengaja ingin membantah Wiland, hanya karena ia ingin melihat laki-laki itu merasa kesal.

"Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku? Bukannya diangkat malah ditolak," protes Wiland semakin marah.

"Maaf sepertinya aku salah pijat." Jawab Azia tanpa rasa bersalah.

Anita yang merasa heran dengan sikap temannya itu langsung bergegas menghampirinya. Azia, kamu ini kenapa si? Kenapa kamu bersikap seperti ini kepada pak Wiland?" gumam Anita dengan memekik.

"Maafkan aku, Pak."

"Mari menikah!"

***

Azia tercengang saat mendengar Wiland mengatakan kalimat tadi, begitu pun dengan Anita, ia merasa heran dengan kalimat yang baru saja Wiland katakan. Rasanya tidak percaya jika laki-laki egois itu bersedia menikah dengannya.

Azia masih menganga dengan mata yang meloto sempurna. "Apa yang baru saja kamu katakan adalah benar? Apa aku tidak salah denganr?" tanya Azia dengan ragu.

"Sebentar, Pak. Apa Bapak tidak salah bicara? Menikah dengan Azia? Bukannya Bapak sangat kesal karena dia sudah menghancurkan kontrak kerja Bapak?" tanya Anita menimpali dengan ekspresi wajah heran.

Wiland tersenyum sinis, tatapannya masih tidak beralih dari Azia. Perlahan ia melangkah menghampiri wanita yang masih berdiri dengan mulut dipenuhi makanan.

"Kenapa terkejut? Seharusnya kamu senang mendengar ini. Kamu sudah susah payah merayu ibuku hanya agar kamu bisa menikah denganku. Sekarang aku sudah memenuhi keinginanmu, butuh apa lagi?" ucap Wiland seraya mengangkat kedua alisnya.

"Karena aku sudah mengatakannya, jadi sebaiknya kamu segera bersiap menyambut hari itu tiba!" lanjut Wiland penuh penekanan.

Azia menggeleng menyadarkan dirinya dari lamunan. "Aku tidak menyangkan, ternyata kamu bersedia menuruti permintaan bu Rahma," timpal Azia sambil tersenyum. Ia mengangkat ke dua tangannya lantas melipatnya di depan dada.

"Tapi perlu aku luruskan sedikit. Tuan Wiland yang terhormat, anda salah besar, jangan kamu pikir aku yang meminta ibumu agar kamu mau menikahiku. Justru bu Rahma sendiri lah yang memaksaku untuk menerima anaknya, yaitu kamu," lanjut Azia dengan penuh penekanan.

"Pernikahan? Sebenarnya ada apa sih ini?" tanya Anita seraya menyentuh bahu temannya tersebut.

"Jadi, bu Rahma memintaku untuk menjadi istri dari anaknya, yang tidak lain adalah mantan majikanku" jawab Azia seraya menoleh ke arah Wiland.

"Aku tidak peduli, siapa yang memintaku untuk menikahimu. Yang jelas, mulai sekarang kamu harus bersiap! Ingat ini, aku tidak ingin melihat kekurangan darimu saat pernikahan tiba, jika aku melihat satu saja hal yang tidak aku sukai darimu, maka kamu harus membayarnya!"

"Hah?" Azia mengernyit kaget.

"Yang benar saja. Hey, jaga ya mulutmu itu, memangnya kamu sesempurna apa sampai bisa mengatakan hal sebutuk itu? Maaf ya tuan Wiland yang tidak sesempurna itu, aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak peduli dengan pandanganmu, karena aku tidak perlu hidup untukmu, aku hanya perlu sempurna untu diriku sendiri," protes Azia dengan cepat nyaris tanpa jeda.

"Sempurna apanya," sindir Wiland.

"Apaan si kamu ini. Gak sopan banget, datang ke rumah orang bukannya bersikap ramah, ini malah seenaknya sama orang rumah. Dasar tidak tahu malu!" pekik Azia dengan penuh penekanan.

"Percuma kaya, berpendidikan tinggi, ngaku sempurna, tapi minim adab." Azia berbalik membalas sindiran Wiland sambil menyunggingkan bibir.

"Apa maksud dari perkataanmu itu? Seenaknya saja kalau bicara."

"Sudah-sudah, kenapa malah jadi bertengkar sih, gak enak didengar yang lain." Anita yang keheranan dengan kedua insan yang ada di hadapannya langsung menghentikan keributan yang berlangsung tersebut.

"Aku heran sama laki-laki satu ini, An. Memangnya dia tidak tahu kalau manusia itu tidak ada yang sempurna," gumam Azia seraya menoleh temannya itu.

"Sudahlah Azia, cepat selesaikan dengan baik!" pinta Anita menatap keduanya seraya bergantian.

"Ingat ini, jangan pernah menuntut seseorang untuk sempurna, sesuai dengan apa yang kamu harapkan!" tuntut Azia.

"Baiklah itu hak kamu, aku hanya mengatakan, kalau aku tidak menerima apapun yang salah dihari pernikahan kita," timpal Wiland.

"Terserah, apapun yang terjadi dipernikahan itu, mutlak semuanya bukan urusanku." Azia masih terus menerus membantahb ucapan Wiland hingga keduanya kembali saling melempar kata perlawanan.

"Astagfirullah, kenapa kalian tidak berhenti? Kalian bukan anak kecil lagi. Jangan ribut kaya gini, malu," protes Anita hingga keduanya memilih untuk diam dengan mata yang saling menatap tajam.

Anita menghela nafas lega dengan menyentuh dadanya yang terasa lebih bebas kali ini. "Pak, apa masih ada yang mau disampaikan?" tanya Anita.

"Tidak ada. Saya datang hanya untuk mengatakan itu kepadanya. Dan ya, tolong sampaikan kepadanya untuk tidak menolak panggilanku!" jawab Wiland memperingatkan.

"Ehh, aku ada di sini. Sialan," umpat Azia yang berhasil terhentikan saat Anita mengelus tengkuk temannya memperingatkan untuk berhenti.

"Jangan macam-macam!" ucap Wiland dengan nada mengancam, matanya tertuju kepada wajah Azia yang sudah terlihat kesal.

"Kalau begitu, saya permisi." Wiland langsung melempar pandangannya kepada pribumi yang tidak lain adalah Anita seraya melengos.

"Lagi pula, aku tidak bersedia menikah denganmu," sanggah Azia lantang, berhasil menghentikan langkah laki-laki itu di ambang pintu.

"Azia, kamu sudah gila, ya," timpal Anita dengan cepat sambil menatap Azia dengan mata tajam. Azia paham kalau Anita memintanya untuk bersikap lebih sopan kepada Wiland, karena Anita sangat takut sikap Azia mempengaruhi pekerjaannya.

"Lagian, buat apa aku menikah dengan pria yang tidak bisa bersikap baik kepadaku, An?" tanya Azia.

"Tebakanmu benar sekali. Tapi sayang, kamu tidak punya pilihan lagi, selain menikah denganku." Wiland tersenyum sarkastik, sedikit menoleh sebelum akhirnya ia memilih untuk meninggalkan apartemen tersebut.