Tidak mau ambil pusing dengan apa yang baru saja Wiland katakan, Azia kembali ke kamarnya dengan wajah tidak peduli. Dia sudah pasrah dengan apa pun yang akan terjadi kepadanya, seandainya ia akan meninggal lebih dulu sebelum menikah, mungkin itu takdir yang Allah inginkan untuknya, sebaliknya dengan pernikahan itu. Jika Allah mengijinkan Azia untuk menikah dengan Wiland, mungkin itu salah satu cara Tuhan menolong hambanya yang sedang kesulitan, terlebih Azia membutuhkan banyak uang untuk adiknya di kampung.
"Dasar wanita aneh," gumam Wiland yang masih setia di halaman apartemen tersebut.
"Apa dia benar-benar tidak mendengar apa yang aku sampaikan tadi?" ucapnya bertanya-tanya.
"Ya sudahlah, siapa yang peduli dia mendengarnya ataupun tidak, aku tetap akan menjemputnya pagi nanti." Wiland menyunggingkan sudut bibir atasnya, lantas menancap kencang gas mobilnya kemudian berlalu dari sana.
***
"Pak Wiland bilang apa semalam?" tanya Anita yang sedang bersiap untuk berangkat kerja.
Azia yang merasa diingatkan tentang rencana Fitting hari ini langsung tersentak mendengar pertanyaan temannya tersebut. Waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi, dan Azia masih belum bersiap.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Anita, Azia langsung berlari ke kamar mandi dengan handuk yang yang sudah ia bawa dari gantungan.
"Hei!" teriak Anita dengan mimik wajah heran.
"Ada apa si dengan anak itu," gumamnya.
"Anita, kalau mau berangkat, kartu apartemennya simpan saja di meja ya, jangan di kunci, sebentar aku mau pergi ko," teriak Azia dari dalam kamar mandi.
"Kamu mau pergi ke mana, Zia? Sudah sih diam aja di rumah, sudah tahu lagi sakit, nanti kalau kumat di jalan bagaimana?" protes Anita.
"Kamu jangan khawatir, An. Aku pergi sama Wiland, kok," sahut Azia.
"Apa? Kamu benar mau pergi bedua saja sama pak Wiland? Ada apa lagi ini?" tany Anita dengan histeris.
"Sudahlah kamu berangkat saja dulu, aku juga tidak tahu dia mau bawa aku ke mana, yang jelas aku sudah telat." Azia tidak lagi menghiraukan celotehan temannya dan fokus untuk mandi dan bersiap-siap untuk pergi sebelum Wiland marah-marah seperti sebelumnya.
Mobil hitam mewah mendarat tepat di parkiran depan apartemen. Tidak berselang lama, sepasang sepatu pantopel keluar dengan gagah disusul dengan tubuhnya yang terpahat sempurna dengan dada bidang dan juga bahu lebar yang mampu membuat para gadis berhasil meliriknya.
Wiland mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat, memperhatikan sekitar yang sudah sangat ramai. Perlahan ia melangkah masuk ke dalam apartemen lantas langsung menuju kamar yang ditempati oleh Azia dan temannya lewat lift.
"Awas saja jika dia masih belum siap," gumamnya dengan nada menyumpah.
Ting... Tidak butuh waktu lama, ia sampai tepat di samping tempat tinggal wanita yang sedang diincarnya.
Wiland menarik nafas panjang sebelum akhirnya menekan bel kamar apartemen tersebut hingga berkali-kali. Merasa kesal karena pintunya tidak kunjung dibuka, akhirnya Wiland mencoba memutar knop pintu tersebut yang ternyata tidak terkunci.
"Tidak dikunci?" pikirnya. Tidak mau ambil pusing, Wiland memilih untuk langsung masuk dan menutup pintunya kembali.
"Azia!" teriaknya seraya celingukan.
"Ke mana perempuan itu?" ucapnya seraya mencari Azia di ruangan yang tidak seberapa luas tersebut. Sampailah di depan kamar mandi, Wiland mendengar suara shower yang menyala, tanpa mempertanyakan siapa yang ada di dalam kamar mandi, laki-laki itu berhasil menebak bahwa Azia yang ada di dalam sana, karena Anita pasti sudah berangkat bekerja di perusahaanya.
"Ternyata dia baru mandi." Wiland kembali membawa dirinya ke arah sofa di dekat jendela, tepat di hadapan kamar mandi. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku jas nya kemudian memainkannya sambil menunggu Azia selesai mandi.
Kurang dari tiga menit, Azia akhirnya keluar dengan handuk yang melilit di tubuhnya. Dia yang tidak sadar akan keberadaan Wiland di sana, keluar dengan rasa percaya diri. Berbeda dengan Wiland yang sebelumnya asik memainkan benda pipih di tanagnnya, kini mengalihkan pandangannya menatap Azia yang terlihat polos dan cantik dengan tubuh yang hanya tertutup sehelai kain putih tersebut.
Wiland berdiri dengan mata yang terbuka sempurna, mungkin kini dapat dia akui, bahwa wanita yang ia benci adalah perempuan yang sangat cantik, hanya saja Azia tidak mempercantik dirinya dan tidak menggunakan pakaian rapi saat kemarin bekerja di perusahaanya. Mungkin itulah sebabnya Azia tidak membuat Wiland merasa tertarik dengannya.
"Ahhhh!" Azia berteriak histeris saat membalikan tubuhnya dari pintu kamar mandi lantas mendapati Wiland yang tengah berdiri menatap tubuhnya dengan santai. Wiland yang disadarkan setelah mendengar teriakan dari Azia langsung membalikan tubuhnya dengan wajah yang gugup.
"Tidak perlu berlebihan, aku tidak tertarik dengan tubuhmu,' ujar Wiland dengan wajah panik.
Azia mengangkat wajahnya, melihat Wiland yang sudah membalikan tubuhnya. "Kamu ngapain datang ke sini? Gak sopan banget sih, masuk ke rumah orang tanpa izin terlebih dahulu,' protes Azia.
Wiland yang seketika kesal kembali membalik tubuhnya dengan spontan. "Bukankah sudah aku katakan!"
"Eh! Jangan lihat ke sini! Cepat berbalik!" teriak Azia yang tidak bisa Wiland bantah, padahal sebelumnya tidak ada yang berani melawan atau menaikan nada bicaranya kepada Wiland.
Wiland kembali memutar tubuhnya membelakangi Azia. "Sudah aku katakan, kalau aku akan datang menjemputmu, siapa suruh kamu belum bersiap-siap," timpal Wiland.
"Kalau gitu, kamu bisa nunggu di luar, kan? Kenapa seenaknya saja masuk ke rumah orang, memangnya ini rumah punya kamu? Kalau orang lain lihat bagaimana? Terus kalau kita difitnah bagaimana?" Azia terus mengoceh hingga membuat Wiland merasa kesal.
"Kalau difitnah, mungkin kamu akan senang," ejek Wiland dengan pelan.
"Apa kamu bilang? Aku masih bisa dengar loh," umpat Azia.
"Berhenti mengoceh, apa kamu tidak akan memakai baju? Cepat bersiap, jika tidak aku yang akan pakaikan kamu baju," timpal Wiland.
"Tidak-tidak, aku bisa pakai sendiri. Tunggu di sini, jangan ikut masuk ke dalam kamar!" ucap Azia memperingatkan.
"Dih, kepedean banget sih jadi orang. Siapa juga yang mau ngikutin kamu, maaf aku tidak tertarik dengan tubuhmu itu," bantah Wiland.
"Urusan kita belum selesai!" ujar Azia dengan mata mendelik kemudian masuk ke dalam kamar untuk bersiap.
"Huh. Untung aku bisa mengendalikan diri." Arkan menggeleng setelah menghela nafas panjang kemudian kembali duduk di sofa.
"Jangan lama-lama, aku masih banyak urusan!" teriak Wiland.
"Bawel. Cowo kok mulutnya kaya cewe, lemes" timpal Azia dengan nada mengejek.
"Berani banget dia, awas saja, aku akan membalas semua perbuatanmu," sumpah Wiland.
***
"Kukira, dia mengajakku menikah karena tulus, dan ingin memulai hidup baru denganku. Aku sempat berpikir kalau dia benar-benar mematuhi keinginan ibunya untuk menebus kesalahannya yang sudah seenaknya menyakiti perasaanku. Namun ternyata aku salah, dia memanfaatkan penyakit yang ada di dalam tubuhku, untuk memenuhi hasratnya untuk balas dendam kepadaku saja. Kupikir benar saja saat dia mengatakan 'menikahlah denganku' dia sedang menyatakan perasaannya kepadaku."
"Ternyata yang aku pikirkan selama ini adalah benar, dia hanya memperdaya diriku saja," ucap Azia meratapi nasibnya saat mendengar Wiland berbicara dengan seseorang di telepon tentang rencana pernikahannya dengan Azia.