Chereads / Emergency Relations / Chapter 12 - Dilema

Chapter 12 - Dilema

Setelah kepergian Wiland dari apartemen tersebut, Azia langsung hilang selera makan, ia berjalan tertatih ke arah sofa lantas menghamburkan tubuhnya di sana. Tatapannya kosong ke depan. "Aku pikir dia tidak akan mungkin mau menerima permintaan mamanya. Lagian dia juga masih sangat membenciku, bagaimana dia bisa menikahiku secepat ini," gumamnya mencoba berpikir keras.

Anita yang masih mematung di dekat meja makan menghampiri Azia dengan wajah heran, rasa penasarannya tentang pernikahan Azia dengan atasannya itu masih belum terjawabkan. "Azia, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa pak Wiland bisa tiba-tiba ngajak kamu menikah?" tanya Anita menuntut jawaban.

"Aku juga tidak mengerti, An. Semua ini rencana bu Rahma, saat di rumah sakit, Bu Rahma bilang kalau dia merasa nyaman saat di dekat aku, jadi dia menawarkan diri untuk menjadi mertuaku," jawab Azia.

Anita menutup mulutnya dengan rasa tidak percaya. "Bagaimana bisa begitu, apa dia sama sekali tidak marah karena kamu sudah menggagalkan kontrak kerja anaknya?" Anita kembali bertanya.

"Sama sekali tidak, An," jawab Azia.

"Ya baguslah kalau begitu. Berarti ini kabar gembira buat kita, jadi kenapa juga kamu harus bersedih?" tanya Anita.

"Bagus apanya sih An? Menikah dengan monster seperti Wiland itu adalah mimpi buruk. Kamu tahu tentang penyakitku bukan? Kalau seandainya pernikahan ini membawa dampak buruk untukku bagaimana?" ujar Azia dengan nada kesal.

"Tidak Azia, bu Rahma orangnya baik, kalau dia yang memintamu untuk menjadi menantunya, setidaknya dia akan bersikap lembut kepadamu," jawab Anita mencoba menanamkan hal positif kepada temannya itu.

"Masalahnya, Wiland itu bukan laki-laki yang baik, An. Dia itu cukup kasar dan tidak berperikemanusiaan," jawan Azia dengan wajah cemberut.

"Azia-Azia. Kata siapa pak Wiland itu tidak baik?" Anita meraih kedua tangan Azia lantas menggenggamnya, ke dua matanya memandang Azia dengan serius.

"Kamu itu salah besar jika menilai pak Wiland seperti itu. Pak Wiland itu orang yang sangat baik, bahkan dia sangat pengertian sama semua karyawannya. Ya memang perkataan yang dia lontarkan cukup menyakitkan bagi orang baru yang belum mengenal karakter asli dia yang sebenarnya, tapi dia gak sejahat itu, sampai kamu harus ketakutan jika dekat dengannya." Sebuah saran yang lembut nan menenangkan keluar dari Anita. Azia sedikit merasa lega, tapi tidak mengurangi kecurigaannya terhadap Wiland yang bisa saja bersikap buruk kepadanya setelah menikah nanti.

"Kamu itu baru ketemu sehari saja sudah menyimpulkan karakter orang," sindir Anita dengan nada bercanda.

"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Aku ikut bahagia untukmu, Azia." Anita memeluk temannya itu dengan hangat.

'Kamu mungkin menganggap dia baik, An. Tapi siapa yang tahu sikap dia setelah menikah akan seperti apa?' batin Azia.

***

Setelah kepergian Wiland dari apartemen tersebut, Azia langsung hilang selera makan, ia berjalan tertatih ke arah sofa lantas menghamburkan tubuhnya di sana. Tatapannya kosong ke depan. "Aku pikir dia tidak akan mungkin mau menerima permintaan mamanya. Lagian dia juga masih sangat membenciku, bagaimana dia bisa menikahiku secepat ini," gumamnya mencoba berpikir keras.

Anita yang masih mematung di dekat meja makan menghampiri Azia dengan wajah heran, rasa penasarannya tentang pernikahan Azia dengan atasannya itu masih belum terjawabkan. "Azia, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa pak Wiland bisa tiba-tiba ngajak kamu menikah?" tanya Anita menuntut jawaban.

"Aku juga tidak mengerti, An. Semua ini rencana bu Rahma, saat di rumah sakit, Bu Rahma bilang kalau dia merasa nyaman saat di dekat aku, jadi dia menawarkan diri untuk menjadi mertuaku," jawab Azia.

Anita menutup mulutnya dengan rasa tidak percaya. "Bagaimana bisa begitu, apa dia sama sekali tidak marah karena kamu sudah menggagalkan kontrak kerja anaknya?" Anita kembali bertanya.

"Sama sekali tidak, An," jawab Azia.

"Ya baguslah kalau begitu. Berarti ini kabar gembira buat kita, jadi kenapa juga kamu harus bersedih?" tanya Anita.

"Bagus apanya sih An? Menikah dengan monster seperti Wiland itu adalah mimpi buruk. Kamu tahu tentang penyakitku bukan? Kalau seandainya pernikahan ini membawa dampak buruk untukku bagaimana?" ujar Azia dengan nada kesal.

"Tidak Azia, bu Rahma orangnya baik, kalau dia yang memintamu untuk menjadi menantunya, setidaknya dia akan bersikap lembut kepadamu," jawab Anita mencoba menanamkan hal positif kepada temannya itu.

"Masalahnya, Wiland itu bukan laki-laki yang baik, An. Dia itu cukup kasar dan tidak berperikemanusiaan," jawan Azia dengan wajah cemberut.

"Azia-Azia. Kata siapa pak Wiland itu tidak baik?" Anita meraih kedua tangan Azia lantas menggenggamnya, ke dua matanya memandang Azia dengan serius.

"Kamu itu salah besar jika menilai pak Wiland seperti itu. Pak Wiland itu orang yang sangat baik, bahkan dia sangat pengertian sama semua karyawannya. Ya memang perkataan yang dia lontarkan cukup menyakitkan bagi orang baru yang belum mengenal karakter asli dia yang sebenarnya, tapi dia gak sejahat itu, sampai kamu harus ketakutan jika dekat dengannya." Sebuah saran yang lembut nan menenangkan keluar dari Anita. Azia sedikit merasa lega, tapi tidak mengurangi kecurigaannya terhadap Wiland yang bisa saja bersikap buruk kepadanya setelah menikah nanti.

"Kamu itu baru ketemu sehari saja sudah menyimpulkan karakter orang," sindir Anita dengan nada bercanda.

"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Aku ikut bahagia untukmu, Azia." Anita memeluk temannya itu dengan hangat.

'Kamu mungkin menganggap dia baik, An. Tapi siapa yang tahu sikap dia setelah menikah akan seperti apa?' batin Azia.

***

Setibanya di kantor, Wiland langsung masuk ke ruangannya. Seperti yang ia ketahui. Wanita yang akan dinikahinya adalah perempuan berpenyakit yang dinyatakan tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama daripada dirinya.

Laki-laki itu menghamburkan tubuhnya di atas kursi kerja dengan wajah sumringah. Dalam hatinya ia masih merasa kesal, tapi ia merasa lega karena rasa kesalnya akan segera ia bayar dengan cara melampiaskannya kepada Azia beberapa hari lagi.

"Jangan dulu meninggal, Azia. Kamu harus membayar semua yang sudah kamu lakukan kepadaku!" ucapnya.

Dengan paksaan Rahma yang terus memintanya menikah dengan Azia, Wiland berpikir untuk menyetujui pernikahan yang tidak akan berlangsung lama tersebut. Ia berpikir, saat ini hanya perlu menuruti keinginan Rahma tanpa harus membantahnya, karena ia tahu pernikahan itu akan segera usai saat Azia meninggal.

"Hanya beberapa bulan saja, dan setelah itu aku akan bebas dengan sendirinya," ucap Wiland dengan senang. Aneh rasanya melihat orang yang bahagia atas penderitaan yang dirasakan orang lain. Bagi Wiland, keadaan Azia saat ini adalah kesempatan yang bagus untuk dimanfaatkan.

Wiland bersandar di kepala kursi, ia menatap langit-langit sambil tersenyum lebar, membayangkan nasib Azia yang akan semakin parah di tangannya. "Pembalasan akan segera dimulai."

Fathinia membelalakan mata saat mendengar apa yang baru saja Wiland katakan. Wanita yang sudah menjadi teman dekatnya selama ini dan menjadi wanita pengincar Wiland sejak sekolah itu terkejut saat mendengar kata pembalasan.

"Ehem." Fathinia berdehem menyadarkan Wiland.