Wiland yang mendengar suara itu pun seketika langsung menoleh ke arah pintu, terlihat jelas seorang wanita cantik yang selalu tampil modis itu tersenyum di ambang pintu membawa berkas yang dimintanya.
"Fatin, ayo masuk!" ucap Wiland dengan ramah.
Fathinia menanggapi sapaan itu dengan dahi mengernyit, bukan tanpa alasan. Meskipun dirinya adalah satu-satunya teman dekat Wiland, tapi laki-laki itu selalu memperlakukan Fatin layaknya karyawan yang lain, jadi disaat Wiland bersikap santai seperti ini Fathinia merasa tersentuh dan aneh.
"Wiland, apa kamu baik-baik saja?" tanya Fathinia dengan ragu, ada sebuah senyuman yang mengiringi pertanyaan itu dari bibir Fathinia.
"Tentu aku baik-baik saja," jawab Wiland dengan santai.
"Bukannya kamu sedang marah kepada mantan asisten pribadimu itu? Tapi bagaimana mungkin sekarang kamu terlihat sebahagia ini?" tanya wanita tersebut yang kini sudah berdiri di hadapan Wiland.
"Apa kontrak kerjanya tidak jadi batal?" Belum berhasil Wiland menjawab pertanyaan itu, Fathinia kembali mengajukan pertanyaan.
"Bukan itu, tapi ada yang lain," jawab Wiland.
"Apa itu?" tanya Fathinia.
"Tunggu saja waktu yang tepat! Aku akan umumkan semuanya."
'Umumkan? Apa yang ada dipikirannya? Apa mungkin dia mulai sadar dengan perasaan aku? Aku yakin dia mulai sadar kalau aku sangat menyayanginya, dan dia mulai luluh dan ingin melamarku di hadapan semua orang,' batin Fathinia dengan bangga. Degup jantungnya berdetak sangat kencang membuatnya tidak nyaman berada di dalam ruangan itu terlalu lama, dan canggung saat melihat Wiland yang terus tersenyum seperti itu.
"Ehem." Fathinia berdehem mencoba menenangkan perasaannya yang semakin tidak karuan. "Sejak kapan kamu seserius ini Wiland?" gumam Fathinia, namun Wiland mengabaikan pertanyaan wanita itu.
"Mana berkas-berkas penting yang aku pinta itu?" tanya Wiland, dengan cepat fathinia menyodorkan berkas yang ada di tangannya kepada Wiland seraya tersenyum.
"Kenapa kamu tersenyum seperti itu?" tanya Wiland seraya melirik wanita itu.
"Ah tidak ada, aku hanya merasa bahagia hari ini," jawab Fathinia dengan percaya diri.
"Bahagia? Kenapa? Apa jangan-jangan sudah ada yang melamarmu?" tanya Wiland dengan nada kaget seolah dia sangat takut didahului oleh orang lain.
"Tidak, tidak. Kamu tenang saja, aku masih single," jawab Fathinia sambil tersenyum malu dengan pipi yang memerah sambil sedikit memalingkan wajah.
Fathinia sangat percaya jika Wiland saat ini sedang menyukainya, itulah sebabnya sikap Wiland kepadanya membuat ia salah tingkah dan hanya bisa dia ekspresikan lewat sebuah senyuman yang memberi sinyal akan keterbukaannya menerima perasaan Wiland.
"Kamu boleh pulang!" ucap Wiland.
Seperti biasa, jika tidak banyak pekerjaan di kantor, Wiland selalu menyuruh semua karyawannya untuk pulang, agar dirinya bisa fokus mengerjakan semua pekerjaan yang ada.
"Kamu tidak mau dibantu?" tanya Fathinia.
"Tidak perlu, aku sudah biasa mengerjakannya sendiri. Kamu juga sudah bekerja sesuai porsimu, jadi sebaiknya kamu pulang dan beristirahat," jawab Wiland kembali membuat Fathinia merasa bahagia.
"Baiklah." Fathinia menggeleng setelah menghembuskan nafas panjang kemudian berlalu dari hadapan Wiland dengan cepat.
"Ada apa dengan jantungku," lirih Fathinia seraya mengelus area dadanya.
Wiland kembali memfokuskan dirinya kepada pekerjaannya yang sempat tertunda, setelah ia selesai menandatangani berkas tersebut ia harus buru-buru menyerahkan dokumennya kepada CEO dari perusahaan lain yang berencana ingin bekerja sama dengan perusahaan yang Wiland rintis tersebut.
***
"Bukan aku tidak bahagia dengan rencana pernikahan ini, tapi, bagaimana jika dia menikahiku hanya karena ingin balas dendam saja? Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang. Apalagi setelah melihat sikap dia disaat marah membuatku merasa takut," gumam Azia dengan rintih.
"Zia, cepat tidur! Ini sudah malam," teriak Anita dari dalam kamar.
Azia langsung bergegas masuk ke dalam kamar setelah ia mematikan televisi dan juga lampu rumah. Baru saja Azia melangkah masuk, dering ponsel menghentikan langkahnya di tempat, ia mendengus, dengan wajah kesal ia melirik ponsel yang ada di dalam genggamannya tersebut.
"Wiland, mau apa dia nelpon malam-malam begini?" tanya Azia bergumam. Anita yang mendengar gumaman itu langsung menyahuti.
"Sebaiknya kamu angkat saja, Zia. Jangan sampai pak Wiland marah lagi di rumah ini!" titah Anita memperingatkan.
"Ya udah deh. Aku angkat telpon dulu ya." Azia memutar tubuhnya, ia menerima panggilan dari laki-laki itu di balkon apartemen yang cukup luas.
Malam hari yang sangat indah, gelapnya langit yang dihiasi bintang-bintang membuat malam ini terlihat sangat cantik. Azia mengedarkan pandangannya ke langit, menatap bintang-bintang yang berkelip indah.
"Ada apa nelpon malam-malam begini?" tanya Azia dengan ketus.
"Tolong perhatikan nada bicaramu! Waktu saya pecat kamu mohon-mohon agar saya bersikap baik dan memberimu kesempatan kedua," protes Wiland.
"Itu posisinya saat aku hendak kamu pecat, otomatis aku mengemis karena aku benar-benar membutuhkan pekerjaan itu. Namun sekarang beda lagi. Aku bukan lagi bagian dari bawahanmu, jadi, aku bicara apa adanya," bantah Azia semakin ketus.
"Sudahlah, percuma bicara dengan perempuan yang tidak tahu terima kasih, "ujar Wiland.
"Lagian, apa yang harus aku syukuri darimu?" gumamnya.
"Cepat! Kamu mau bicara apa?" tanya Azia kembali mengulangi pertanyaannya.
"Ada hal penting yang ingin aku sampaikan," jawabnya.
"Iya bicaralah, mau bahas apa? pernikahan kita?" tanya Azia dengan tidak peduli.
"Besok kita pergi Fitting baju."
Azia tercekat saat mendengar kalimat itu. Benar-benar di luar dugaan jika pernikahannya akan berlangsung secepat ini. Bahkan Azia tidak menanggapi ucapan Wiland dengan serius siang tadi. Ia menganga menghiraukan panggilan Wiland di seberang sana. Ada gemuruh yang tidak jelas menyeruduk dadanya.
"Azia?"
"Apa kamu mendengar apa yang aku katakan?" Berkali-kali Wiland memanggilnya, tapi wanita itu masih saja diam tenggelam dalam lamunannya.
"Azia!" teriak Wiland dengan kencang membuat wanita itu tersentak kaget.
"Iya ada apa? Maaf tadi kamu bilang apa? Aku tidak dapat mendengarnya." Azia berpura-pura lupa dengan kalimat yang sudah Wiland sampaikan, dan meminta laki-laki itu untuk mengulangi kalimatnya tentang Fitting baju tadi.
"Dasar wanita aneh. Kamu pandai berpura-pura," sindir Wiland.
"Apa maksudmu? Aku benar-benar tidak mendengarnya," sanggah Azia dengan gelagapan.
"Padahal aku bisa melihatnya dengan jelas," gumam Wiland yang ternyata sedang memantau Azia dari kendaraannya di bawah sana.
"Apa sih, kalau bicara itu yang jelas, biar aku bisa mendengarnya!"
"Tidak ada, sudah malam, aku akan tutup telponnya, dan ingat, jam delapan pagi aku jemput."
"Ta-" Belum selesai Azia menyelesaikan kalimatnya, Wiland sudah lebih dulu mematikan panggilan tersebut secara sepihak.
"Halo? Wiland?" Azia melirik ponsel yang masih menempel di bagian telinganya.
"Ih belagu banget orang ini. Seenaknya saja menutup panggilan, padahal aku masih ingin bicara dengannya." Azia mengerucutkan bibirnya, ia mengumpat beberapa kali karena Wiland mematikan panggilannya secara sepihak.
"Tapi, apa dia benar-benar akan menikahiku?" Azia menyandarkan tubuhnya di pagar yang terbuat dari besi dan kaca itu.
"Jika ia, apakah aku akan bertahan lebih lama? Apa mungkin pernikahan ini membuatku bahagia dan aku bisa bertahan hidup lebih lama lagi seperti yang Yasril sampaikan?" tanya Azia seraya tersenyum memandang bintang dan juga kelap kelip lampu jalanan yang sangat padat dengan kendaraan. Sementara Wiland masih setia di tempat seraya memandang wanita itu dengan tatapan mengintimidasi.