"Kenapa tidak mungkin? Ingat, nyawa itu mutlak milik Tuhan yang maha kuasa, manusia tidak punya hak untuk menentukan kapan kita akan meninggal, dan sampai kapan kita akan tetap hidup. Mungkin dokter punya wewenang untuk mengatakan itu, karena dari kacamata seorang dokter, mereka hanya melihat dari mana kemampuan mereka untuk menyembuhkan penyakit seorang pasien."
Azia terasa tenang mendengar kalimat yang Yasril sampaikan dengan lembut dan mengandung dukungan itu. Ia tersenyum simpul, kemudian mengangguk. "Terima kasih, Yasril."
Setelah selesai berbincang cukup lama dengan pria baik yang sudah menyelamatkannya itu, Azia langsung pulang dengan makanan jadi yang ada di tangannya. Ya, Yasril memesan makanan untuk Azia dan juga temannya. Pria itu mengatakan kalau Azia jangan dulu melakukan aktivitas yang berat, bahkan laki-laki itu memberikan penawaran yang terbaik untuk Azia pilih.
"Laki-laki itu benar-benar sangat baik, seandainya Wiland seperti dia, maka aku tidak akan takut dengan permintaan bu Rahma," tuturnya. Azia menghamburkan tubuhnya di kuris tepat di depan televisi.
Apartemen yang cukup mewah, Anita yang sudah tinggal selama bertahun-tahun di apartemen ini sudah sangat beruntung dapat membeli apartemen seluas ini dari hasil kerja kerasnya di perusahaan Wiland. Anita sudah mengabdikan dirinya untuk perusahaan Wiland sejak dua tahun lalu, jadi wajar jika dia mendapatkan gaji yang cukup besar dari atasannya tersebut.
"Tapi, apa Wiland akan menyukaiku setelah kita menikah? Aku tahu, dia adalah pria yang tidak pernah berpikir untuk mencintai wanita, Fathinia saja yang hidupnya sukses dengan wajah cantik tidak berarti apa-apa di mata laki-laki itu, bagaimana mungkin aku yang hanya seorang asisten yang menggagalkan kontrak kerjanya bisa dia sukai." Azia sadar jika kehadirannya di dalam hidup Wiland tidak bisa mengubah apapun, tapi dia juga tidak bisa menolak permintaan Rahma. Wanita itu sudah banyak membantunya, apalagi semua biaya rumah sakit dia yang nanggung.
"Jika tidak dengan anaknya, setidaknya ibunya bisa bersikap baik terhadapku," lanjutnya.
Azia menghela nafas panjang. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, pikirannya kembali melayang mengingat Wiland yang terlihat tampan saat tersenyum. "Bagaimanapun, dia adalah laki-laki yang menjadi incaran para gadis muda. Dia memang galak, tapi semua itu karena dia tidak suka melihat kesalahan dalam pekerjaannya. Dari yang aku lihat, hati dan sikapnya baik, apalagi fisiknya ... benar-benar sangat sempurna."
"Bentar! Kenapa aku jadi membayangkan laki-laki itu?" Azia mengerucutkan bibirnya heran.
"Daripada aku mikirin laki-laki tidak jelas itu, lebih baik aku mempersiapkan diri untuk melamar kerja di rumah sakit yang Yasril katakan."
Yasril sempat memberikan penawaran menarik kepada Azia. Saat di cafe tadi, Azia sempat mengatakan keinginannya untuk bekerja dan menabung uang untuk masa depan adiknya, tak berselang lama, Yasril memberikan kartu namanya kepada Azia dan meminta wanita itu untuk melamar kerja di rumah sakit tempatnya bekerja. Azia sempat menolaknya karena wanita itu tidak punya pengalaman apapun di bidang kedokteran, tapi Yasril dengan percaya diri mengatakan bahwa dia akan membantunya.
Azia memang tidak bisa bekerja sebagai dokter di sana, tapi karena Yasril adalah salah satu dokter bedah terbaik, Azia bisa mendapatkan posisi sebagai sekretaris Yasril dalam bekerja. Laki-laki itu selalu berpindah-pindah tempat kerja karena panggilan dari beberapa rumah sakit yang membutuhkan jasanya.
Azia tersenyum manis membayangkan kebersamaannya dengan Yasril siang tadi. "Kenapa dia sangat baik kepadaku?" tanya Azia dengan lirih.
"Ah, sudahlah. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku, atau mungkin merasa bersalah karena sudah membahas tentang penyakitku," lanjut Azia.
"Lagi pula, aku tidak punya alasan untuk menolak bekerja dengannya, aku sangat membutuhkan uang saat ini, jadi. Aku tidak boleh lagi memikirkan hal lain yang bisa mempengaruhi pekerjaanku, aku harus kuat dan harus fokus, jangan sampai yang terjadi di kantor Wiland terulang kembali di tempat kerja Yasril," tekadnya.
Azia yang sedari tadi duduk di sofa seraya menonton televisi kini beralih pada benda pipih yang tergeletak di atas meja kecil, sebuah panggilan menyadarkannya dari tivi lantas dengan cepat ia berdiri dan meraih ponsel miliknya tersebut.
Sebuah nama terpampang jelas di layar ponselnya tersebut. "Wiland, mau apa dia menghubungiku?" tanya Azia dengan wajah bertanya-tanya.
"Apa sebaiknya tidak aku terima saja panggilannya? Lagipula, aku sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dengannya. Dia tidak akan menghubungiku jika bukan karena ingin memarahiku" ujarnya dengan nada tidak peduli.
Tidak menunggu lama, Azia langsung menolak panggilan suara tersebut. Wiland yang melihat wanita itu menolak panggilannya langsung tercengang heran. "Apa dia baru saja menolak panggilanku? Berani sekali dia," umpat Wiland.
Tidak menyerah, Wiland kembali menghubungi Azia di seberang sana. Mendengar ponselnya kembali berdering, Azia hanya melirik benda pipih tersebut seraya menyeringai. Ia membiarkan ponselnya terus berbunyi tanpa menghampiri ataupun menerima panggilan tersebut. Dia sengaja ingin membuat Wiland kesal.
"Biarkan saja, memangnya dia pikir hanya dia saja yang bisa marah-marah? Tidak, tentu aku juga bisa," umpat Azia. Dia merasa senang karena merasa bisa mempermainkan laki-laki pemarah itu.
"Dasar wanita tidak tahu diuntung, aku sudah melakukan banyak hal untuknya, bukannya berterima kasih, ini malah seenaknya menolak panggilanku."
"Seharusnya dia sadar diri, punya rasa bersalah atas apa yang dia perbuat. Dikasih hati malah minta jantung," amuk Wiland. Laki-laki itu memutar mobilnya, mengambil jalan yang sebelah kanan, menuju apartemen Anita untuk menemui Azia.
Tidak berselang lama, bel rumah terdengar menggema di seluruh ruangan, Azia yang sudah menyiapkan makanan dan membersihkan ruangan rumah tersebut bergegas membuka pintu masuk tersebut seraya tersenyum menyambut kepulangan Anita dari kantor.
Krek...
"Anita," seru Azia menyambut diikuti senyuman.
"Kamu ini kenapa? Senyum-senyum gak jelas, kelihatannya senang banget," tanya Anita dengan wajah heran. Perempuan itu masuk setelah melepaskan sepatu kerjanya. Ia melihat sekitar rumahnya yang sudah tampak beda, lebih rapi dibandingkan sebelumnya. Perlahan ia menghampiri dapur yang tidak terlalu luas itu, ia melihat beberapa makanan sudah terpajang di meja membuat rasa laparnya semakin memuncak.
"Wah sudah ada makanan," ucapnya gembira kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Azia.
"Azia, ini ada apa? Kamu yang masak ini semua?" tanya Anita.
"Tapi, kapan kamu belanjanya? Kamu kan lagi sakit, seharusnya diam saja di rumah, bukan malah sibuk beres-beres dan masak," tanya sekaligus protes Anita.
"Nanti aku ceritakan, sekarang kita makan aja dulu, aku sudah lapar." Azia menghampiri Anita kemudian merendahkan tubuh Anita dan mendudukan wanita itu di kursi hadapannya.
Anita tertawa puas. "Ya udah ayo, tapi nanti kamu ceritakan semuanya ke aku!" pinta Anita yang Azia jawab lewat anggukan.
Baru saja kedua insan itu duduk di kursi, suara bel kembali terdengar membuyarkan keasikan yang sedang mereka nikmati. Sekilas Anita memandang Azia. "Apa kamu mengundang seseorang untuk ikut makan bersama kita?" tanya Anita.
"Tidak, mungkin itu penagih listrik," jawab Azia dengan nada mengejek.
"Enggak lah. Masa ia seorang Anita telat membayar tagihan," timpal Anita sambil tertawa. "Ya sudah, aku buka dulu ya." Anita berdiri dan cepat-cepat membuka pintunya.
Azia mengangguk, ia langsung berkutat dengan makanan yang ada di hadapannya. Pertama ia mengambil nasi dan menuangkannya di atas piring, disusul dengan ayam goreng crispy yang Yasril belikan untuknya.
"Pak Wiland," ucap Anita dengan kaget. Azia yang mendengar nama laki-laki itu disebut, seketika langsung menoleh dengan tatapan heran.
"Mau apa dia datang ke sini?" gumam Azia.
"Ada apa ya Pak datang ke sini?" tanya Anita ragu.
"Memangnya salah jika saya datang ke sini?" tanya Wiland dengan nada tinggi.