Seorang wanita baru saja keluar dari apartemen dengan mantel tebal yang membungkus tubuhnya, sementara hujan yang cukup deras masih saja turun. Ia berjalan menggunakan payung ke arah supermarket di seberang apartemen tersebut. Wajahnya masih terlihat pucat, bibirnya sangat putih, bahkan langkah kakinya pun terlihat berat. Azia terpaksa keluar dari apartemen disaat Anita sudah kembali ke kantor untuk bekerja.
"Aku tidak bisa hanya menumpang saja, aku harus merawat rumah Anita sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lain" tekad Azia.
"Aku harus beli beberapa makanan pokok yang bisa aku masak. Aku juga harus menanyakan tentang pekerjaan di sana, siapa tahu ada lowongan pekerjaan." Azia mempercepat langkahnya selagi kendaraan masih belum ada yang lewat.
Dari jarang yang cukup seorang pria berpakaian rapi terlihat mengamati Azia, matanya mengintai pergerakan Azia dari jarak yang cukup jauh. Langkah Azia yang terlihat sempoyongan dan lemah membuat laki-laki itu semakin memfokuskan pandangannya kepada wanita tersebut.
Azia, wanita cantik yang harus berjuang di luar kota demi mendapatkan uang untuk kehidupan adiknya setelah ia meninggal nanti.
Did...
Saat Azia sudah mendekati trotoar di depan supermarket, tanpa ia sadari sebuah mobil mewah berjalan dengan laju yang sangat cepat ke arah Azia. Terlihat mobil tersebut yang tidak bisa menghentikan mobilnya karena remnya yang mengalami kerusakan.
Mendengar suara klakson yang cukup memekakkan telinga, dengan cepat Azia menoleh ke arah suara tersebut, Azia tercekat kaget saat melihat kendaraan tersebut yang perlahan mulai mendekat. Kakinya seolah terpaku, ia tidak bisa melangkah karena rasa kaget yang tubuhnya respon membuatnya tidak bisa mengendalikan tubuh untuk bergerak.
Azia terdiam dengan tubuh yang sudah bergetar hebat, matanya perlahan terpejam seraya menjerit melepaskan semua rasa takutnya. Semua orang yang ada di sekitar tempat tersebut langsung mengalihkan fokusnya, memandang Azia yang nyaris tertabrak mobil itu. Untung saja seorang pria yang sedari tadi mengamatinya dari kejauhan dengan sigap berlari lantas menyelamatkan Azia dari kecelakaan tadi.
"Kamu tidak kenapa-napa?" tanya pria yang berpakaian rapi bak seorang dokter itu.
Azia mulai membuka matanya, sesekali ia mengerjap memastikan pandangannya. Seorang pria dengan wajah tampan yang terlihat sangat baik dan ramah itu ada di bawah tubuhnya. Azia terbelalak kaget, lantas dengan cepat ia menarik tubuhnya dari dekapan laki-laki tersebut.
"Ma-maaf." Azia langsung terbangun diikuti pria tersebut. Keduanya berdiri dan saling berhadapan, tatapannya seketika terpaku dengan wajah pria yang sangat tampan itu.
"Apa kamu tidak terluka?" Pria itu kembali bertanya seraya menyentuh bahu Azia, membuat wanita itu seketika salang tingkah.
"Ah, iya aku tidak apa-apa. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menolongku." Azia menyatukan tangannya sebagai ucapan terima kasih.
"Tidak perlu berterima kasih, itu sudah kewajibanku sebagai seorang manusia, dan sebagai seorang dokter, membantu siapapun yang berada dalam masalah." Laki-laki itu tersenyum manis ke arah Azia kemudian menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
Azia melirik tangan laki-laki itu, lantas membalas sapaannya dengan menerima tangan pria asing tersebut seraya menyebutkan namanya.
"Azia."
"Saya Yasril," ucap laki-laki itu seraya tersenyum.
"Tanganmu dingin sekali, apa kamu sedang sakit?" tanya Yasril.
"Ah tidak." Azia menggeleng lemah.
"Tidak, kebetulan aku seorang dokter, jadi aku bisa tahu keadaan kamu saat ini." Yasril meminta Azia untuk menceritakan kondisinya.
"Tapi aku tidak bisa mengatakannya, aku harus kembali ke apartemen, sebentar lagi temanku pulang, aku harus memasak untuknya," tolak Azia.
"Ikut aku dulu, aku yakin temanmu tidak akan masalah."
"Tapi aku takut dia khawatir, kalau disaat dia pulang aku tidak ada di apartemen," ucap Azia menerangkan.
"Tidak butuh waktu lama, jadi biarkan aku memeriksa mu." Yasril meraih tangan Azia lantas menarik tangan tersebut ke arah cafe di samping supermarket. "Kamu duduk dulu, aku pesankan minum, oke!" Pria itu langsung melengos menghampiri seorang pelayan cafe.
Azia hanya tersenyum manis, mengamati tubuh laki-laki baik itu. Ia merasa hangat dan senang dengan sikap Yasril yang memperlakukannya sebagai seorang manusia disaat ia sedang bersedih, berbeda dengan Wiland yang selalu bersikap seenaknya kepada wanita itu.
"Ini minumnya. Dan ini aku bawain makanan juga. Sebaiknya kamu isi dulu perut kamu, terus ceritakan ke saya tentang semuanya!" pinta Yasril.
"Terima kasih ya, Pak dokter."
"Pak? Panggil dengan nama saya saja!" pinta laki-laki tersebut.
"Tidak-tidak, rasanya tidak sopan jika saya memanggil seorang dokter dengan nama saja," tolak Azia dengan cepat.
"Baiklah, panggil bapak kalau saya sedang berada di rumah sakit, tapi panggil saya Yasril kalau kita sedang bertemu di luar, setuju?" Laki-laki itu memandang Azia dengan dalam, kedua alisnya terangkat memastikan jawaban.
Azia tersenyum kemudian mengangguk. "Baiklah aku setuju.
***
Perlahan Wiland melajukan kecepatan mobilnya agar dapat sampai di kantor tepat waktu. Dia meninggalkan banyak dokumen penting yang belum ditandatangani. Semua dokumen itu harus ia serahkan malam nanti, gara-gara asisten sebelumnya keluar Wiland jadi kewalahan mengurus semuanya sendiri.
Dia sudah meng-interview banyak orang yang melamar bekerja sebagai asisten di kantornya, tapi ia menolak mereka semua, ia sangat takut hal yang sama terulang lagi. Setelah Azia yang bekerja menjadi asistennya beberapa hari lalu, pekerjaan Wiland malah semakin menumpuk, bahkan baru sehari wanita itu bekerja, ia sudah mendapatkan nasib yang sangat buruk, ia dipecat gara-gara kecerobohan yang dibuatnya.
"Wanita itu benar-benar membuatku kehilangan akal." Tidak henti-hentinya Wiland mengeluh selama perjalanan menuju kantor.
"Apa yang sudah wanita itu lakukan sampai bisa membuat mama sangat menyukainya?" lanjutnya. Ia semakin melajukan kecepatan di atas batas, jalanan yang bebas hambatan itu membuat Wiland semakin leluasa menggunakan kendaraannya.
"Kamu pikir aku akan luluh hanya karena mama membujukku? Tidak akan pernah bisa, Azia. Setelah kamu menikah denganku, kamu akan sangat menyesal karena sudah menerima pernikahan ini. Aku akan membuatmu membayar semua ini!"
***
"Jadi, kamu mengidap penyakit kanker otak? Sejak kapan kamu tahu tentang penyakit ini?" tanya Yasril dengan serius.
Setelah sampai di Cafe yang tidak jauh dari lokasi apartemen Anita, Yasril mulai mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan rasa penasarannya. Tidak lupa, ia juga memesan minuman untuknya dan juga Azia.
"Baru-baru ini, bahkan sebelumnya aku tidak percaya jika aku mengidap penyakit mematikan ini. Aku tidak pernah merasa sakit parah atau merasakan sesuatu yang berat berulang kali, bahkan aku selalu merasa baik-baik saja, jadi aku merasa heran saat dokter mengatakan hal ini. Bagaimana mungkin aku terkena penyakit kanker secara tiba-tiba." Azia menundukkan wajahnya perlahan dengan mata sayu. Wajahnya kembali terlihat masam.
"Apa yang dokter katakan tentang penyakitmu ini?" tanya Yasril.
"Dokter bilang, kalau aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Bahkan usiaku tidak genap satu tahun lagi," jawab Azia.
Mendengar itu, Yasril tertunduk, ia menarik nafas perlahan merasa tidak enak karena sudah menanyakan hal sensitif yang membuat Azia bersedih. "Maaf karena aku memaksamu untuk mengatakan semua ini."
"Tidak, kamu tidak perlu minta maaf. Anggap saja ini sebagai tanda terima kasihku, karena kamu sudah bersedia menolongku," ujar Azia.
Yasril tersenyum manis, ia memandang Azia dengan tatapan dalam. "Aku bangga dengan semangat yang kamu miliki. Karena tidak semua orang bisa memilikinya. Tetaplah hidup seperti ini, karena dengan tersenyum dan bahagia, kamu bisa bertahan lebih lama!"
"Bagaimana bisa. Dokter sendiri yang mengatakannya kepadaku. Aku sudah siap seandainya aku harus meninggal dengan waktu yang cepat, meskipun sejujurnya aku masih berharap untuk hidup dengan waktu yang cukup lama," sanggah Azia seraya tertunduk.