Wiland terdiam dengan wajah masam saat mendengar ibunya akan menjodohkan dia dengan Azia sang asisten yang sudah menggagalkan kontrak kerjanya. Wiland sama sekali tidak tertarik dengan perempuan, jangankan Azia yang kini hidup dengan menderita penyakit, wanita cantik yang jelas sangat menyukainya pun tidak dapat membuka hati Wiland yang sangat keras tersebut.
Laki-laki itu sangat tampan dan mapan, tidak sulit baginya jika ingin mendapatkan wanita dalam hidupnya. Hanya dirinya saja yang tidak pernah berniat untuk menikah atau bahkan sekedar berkenalan dengan wanita pun dia selalu enggan melakukannya. Bagi seorang Wiland, karir adalah segalanya, soal wanita, cukup baginya mencintai ibunya, itu sudah membuatnya bahagia.
"Apa Ma? Sudah berapa kali si Wiland katakan, kalau Wiland tidak pernah tertarik dengan pernikahan," protes Wiland saat Rahma tiba-tiba memintanya untuk menikahi Azia lewat telepon.
"Apa salahnya jika kamu menikah? Kamu sudah dewasa Wiland, bahkan sudah pantas bagimu menimbang seorang anak," bantah Rahma dengan tegas di seberang sana.
"Ini tentang hidupku ma. Mama boleh atur apapun yang Wiland punya, tapi tidak dengan masa depanku!" Laki-laki itu bersikeras menolak perjodohan mamanya.
"Mama tidak mau tahu Wiland. Nikahi Azia saat dia sudah tersadar nanti. Jika tidak, maka menikahlah dengan wanita lain yang jelas dia adalah anak baik-baik! Putuskan pilihanmu, dan berikan jawabannya besok pagi!" Rahma langsung memutus panggilan suaranya.
"Ahhhh, sial." Wiland langsung melempar benda pipih itu ke sembarang arah. Ia menghamburkan tubuhnya di atas ranjang dengan putus asa.
"Kenapa mama bisa mengambil keputusan secepat ini? Apa yang sudah wanita itu lakukan sehingga mama ingin menjadikannya seorang menantu?" Wiland memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Akan aku buat dia menyesal karena telah berani membuat masalah dalam hidupku," sumpah Wiland.
***
Azia merasa tidak nyaman saat mendengar Rahma yang meneriaki Wiland lantas meminta laki-laki itu untuk menikahinya. Tapi mengingat dirinya yang menjadi bawahan anak laki-lakinya Azia hanya bisa diam tanpa mengajukan keberatan apapun kepada Rahma.
"Ibu maaf, kenapa ibu tidak pulang?" tanya Azia dengan suara yang masih terdengar lemah.
"Azia, ibu akan pulang besok pagi. Wiland baru saja tiba di rumah, ibu tidak enak jika harus membangunkannya," jawab wanita berumur itu seraya menghampiri Azia.
'Padahal aku mendengar semuanya, kalau Wiland masih bangun,' batin Azia.
"Sebaiknya kamu istirahat, biar cepat sembuh."
"Ibu, apa boleh Azia tanya sesuatu?" Azia memandang dalam wanita yang kini duduk di sampingnya.
"Tentu saja, apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Kenapa ibu ingin menikahkan Azia dengan pak Wiland?" Azia menunduk dengan ragu.
"Karena saya merasa hangat jika berada di dekatmu. Saya tahu, seorang pria mencari istri adalah untuk teman hidupnya, bukan teman ibunya. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau Wiland sangat memperhatikan saya, jadi siapapun wanita yang akan menjadi istrinya, tentu saja dia adalah wanita yang bisa membuat saya nyaman dengannya. Seperti kamu, Azia." Wanita itu tersenyum simpul ke arah Azia.
Azia yang mendengar itu pun berbalik membalas senyuman yang Rahma berikan. Namun dalam hatinya, ia merasa tidak enak dengan Wiland karena sudah membuat kontrak kerjanya gagal. Bahkan dia membayangkan bagaimana jahatnya Wiland apabila sudah menjadi suaminya nanti.
'Tidak-tidak, bagaimana jika dia malah menyakitiku?' batin Azia.
"Azia kamu kenapa? Apa kamu tidak menerima perjodohan ini?" tanya Rahma.
Azia menelan ludahnya yang seakan susah itu. Dengan gugup akhirnya ia memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan wanita itu. "Ibu, jika pak Wiland menolak pernikahan ini, tolong jangan paksa beliau untuk menerimanya. Karena jika dia tidak ridho dengan pernikahan ini, saya takut pernikahannya tidak akan berangsur lama." Meskipun gugup dan tegang, akhirnya Azia berhasil mengungkapkan perasaanya.
"Tidak Azia. Wiland sudah berbuat seenaknya dengan tidak mengurusmu sebagai seorang asisten, Jadi, biarkan dia belajar mandiri dan mengenal dunia lain dari sebuah pernikahan. Dia bertanggung jawab atas keadaanmu saat ini. Jadi dengan pernikahan ini dia punya kewajiban untuk mengurusmu."
Azia mengerjap beberapa kali, terdengar dari nada bicara Rahma, Azia dapat menyimpulkan kalau ucapan dan keputusannya itu tidak bisa diganggu gugat.
"Siapa yang mau menikah?" Anita yang baru saja keluar mencari udara segar, tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang membuat kedua insan itu terdiam.
"Eh ko diam? Apa pak Wiland yang mau menikah Bu?" tanya Anita yang Rahma indahkan lewat anggukan.
"Wah selamat ya Buk. Akhirnya pangeran kantor kami akan segera menikah," ucap Anita dengan meriah.
"An, ini rumah sakit loh," timpal Azia.
"Eh iya maaf, aku terbawa suasana."
"Omong-omong, pak Wiland mau menikah dengan siapa Buk? Dengan bu Fathinian kah?"
"Ah jawabannya sudah jelas iya. Memang si Bu, pasangan kekasih itu benar-benar cocok, mereka itu seolah diciptakan untuk bersama, meskipun pak Wiland adalah laki-laki yang terlihat cuek dan tidak peduli, tapi bu Fathinia tetap menyayanginya." Anita terus berbicara tanpa rem, hingga Rahma yang sudah berusaha membujuk Azia merasa tidak enak dengan wanita yang kini terbaring sakit itu.
"Anita! Sudah hentikan!" teriak Rahma.
"Bukan dia orangnya," sanggah Rahma.
"Oh bukan ya, Bu. Maafin saya ya bu, saya sudah sangat lancang." Anita merendahkan kepalanya, lantas berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.
"Jangan beritahukan tentang kabar ini kepada orang lain dulu! Tentang pengantin wanitanya, nanti kamu akan tahu sendiri."
"Baik Bu."
Azia memandang Anita yang terdiam di ujung sana, kemudian ia terpejam dengan pikiran yang melayang pada ucapan temannya tadi.
'Fathinia adalah wanita sempurna. Dia sangat cantik, pintar, juga kaya, sangat berbeda denganku yang berpenyakitan seperti ini,' batin Azia. Sebagai seorang perempuan, mendengar seseorang yang dijodohkan dengannya dicintai wanita lain, rasanya sangat sangat sakit, dan sulit rasanya untuk bisa menerima itu. Meskipun laki-laki itu bukanlah pria yang dia cintai.
Pagi menyapa, Azia terdiam di atas kursi roda dengan baju ganti yang sudah Anita siapkan untuknya. Hari ini wanita itu sudah boleh pulang, karena penyakitnya tidak membutuhkan bantuan alat rumah sakit. Tubuh Azia dianggap kuat dengan penyakit parah yang sudah menyerangnya, tapi tetap diberi peringatan untuk tidak bepergian jauh sendirian, apalagi dalam kondisi yang buruk seperti sekarang.
"Apa tidak ada yang ketinggalan, Anita?" tanya Rahma.
"Sepertinya tidak ada, Bu."
"Yasudah, ayo kita tunggu Wiland di depan saja!" ajak Rahma seraya mendorong kursi roda Azia, sedangkan Anita membawa tas yang berisikan barang yang sempat ia bawa untuk keperluan Azia selama di rumah sakit.
Rumah sakit yang cukup ramai. Semua orang berlalu lalang dengan penyakitnya sendiri, bahkan Azia melihat jelas beberapa kali jenazah lewat di depan matanya. Kini pikirannya mulai dipenuhi kalimat mati yang tidak tahu kapan akan menjemputnya.