Di tempat lain, Azia yang masih fokus mencari berkas sampai ke tempat sampah, dan ruangan lainnya, terlihat putus asa dengan wajah pucat serta keringat yang berhasil membasahi tubuhnya.
Ia berjalan dengan tergopoh-gopoh ke arah ruangan Wiland, bahkan dengan nafas yang terdengar tak karuan. Azia menundukkan wajah seraya menahan air mata penyesalan dalam dirinya. Dia sempat berpikir, bahwa pekerjaannya tidak akan seberat ini, tapi ternyata, semua yang terjadi di luar ekspektasinya.
Krek...
Pintu ruangan terbuka, tepat di saat Azia tengah berdiri di ambang pintu dengan mimik wajah takut, dan gelisah.
"Azia," bisik Fathinia dengan dahi mengernyit, dia melirik tangan Azia yang datang tanpa membawa apapun termasuk berkas yang dibutuhkan Wiland.
Wiland memandang Azia dengan mata tajam, rahangnya mengeras, bahkan kedua sorot matanya seketika menjadi hitam pekat. Azia semakin menundukkan wajahnya, jantungnya berdegup tidak stabil karena rasa takut yang kini semakin memuncak.
"Kalau begitu, kami permisi dulu." Para klien langsung ke luar melewati Azia dengan wajah aneh. Mungkin hal itu karena penampilan Azia yang super berantakan setelah dia habiskan waktunya untuk mencari berkas di berbagai tempat termasuk tempat sampah.
"Fathinia, tolong kamu antarkan klien kita sampai bawah!" titah Wiland.
"Baik." Fathinia mengekor, berjalan di belakang para klien tadi.
"Azia, kamu masuk!" Setelah semua orang yang ada di dalam ruangan keluar, Wiland meminta Azia untuk masuk.
Dengan ragu, akhirnya dia berhasil menghadap Wiland yang kini sedang marah besar kepadanya.
"Jelaskan semuanya!" titah Wiland.
"I-iya?" jawab Azia bingung.
"Iya apa?" bentak Wiland dengan nada tinggi, hingga telinga kanan Azia mendengar bunyi nyaring yang membuatnya terasa sakit dan menusuk.
"Apa yang harus saja jelaskan, Pak?" tanya Azia rintih.
"Hal sepele saja tidak bisa kamu jelaskan, bagaimana dengan saya yang harus menjelaskan tentang kelalaian kamu dalam bekerja, yang membuat saya gagal mendapatkan kontrak kerjasama tadi, hah?"
Brak
Wiland melempar jauh berkas yang ada di atas meja sampai suara tersebut mengejutkan banyak orang di luar ruangannya.
Azia terdiam dengan wajah merengut, bibirnya terkatup sempurna, ada kalimat yang ingin dia katakan, tapi dia sangat sulit untuk menyampaikannya.
"Kenapa kamu sangat lambat Azia?" teriak Wiland
"Saya minta maaf, Pak," ucap Azia.
"Maaf? Kamu mengharapkan maaf dari saya?" tanya Wiland, ia berjalan ke arah Azia, wajahnya terlihat sangat merah karena sangat emosi kepada asistennya yang tidak bisa diandalkan.
"Kamu satu-satunya orang yang mendapatkan pekerjaan dengan mudah di sini, seharusnya kamu menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin, Azia. Seharusnya kamu tampil lebih sempurna untuk menjadikan pengalaman pertamamu sebagai pengalaman terbaikmu, bukan malah sebaliknya," tegur Wiland lagi dan lagi.
"Iya, Pak, saya akui saya sudah membuat kesalahan," sahut Azia.
"Iya, memang seharusnya kamu sadar kalau kamu Itu sangat lalai. Tadinya saya pikir, pengalaman seseorang tidak begitu penting selama kita bisa menjadikan orang itu berpengalaman, tapi ternyata tidak. Kita tetap membutuhkan pengalaman seseorang untuk menjadikan mereka partner yang baik."
Wiland menjauh dari jangkauan Azia, sedangkan wanita itu hanya mematung, tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Pak, tolong beri saya satu kesempatan lagi," pinta Azia, membuat laki-laki yang sedang frustasi itu menghentikan langkahnya di tempat.
"Apa yang akan kamu lakukan jika saya memberimu kesempatan untuk bertahan di perusahaan ini?" tanya Wilan menuntut jawaban.
"Saya akan memperbaiki kesalahan saya," jawab Azia.
"Kesalahan yang mana? Membuat klien saya yang berasal dari luar negeri itu mau menerima penawaran saya, begitu?" tanya Wiland, Azia terdiam. Dia tahu hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dia lakukan.
"Kenapa diam? Kamu paham kamu tidak mampu melakukannya? Bahkan saya sendiri sudah menantikan hal itu selama satu tahun lebih, dan kamu menghancurkannya."
"Kamu saya pecat!" ujar Wiland dengan nada rendah, namun dapat Azia dengar dengan sangat jelas.
"Tapi, Pak. Tolong beri saya satu kesempatan lagi, Bapak boleh jadikan saya office girl di perusahaan ini, asal Bapak jangan pecat saya."
"Rapikan semua barang-barangmu dari sini, karena saya tidak suka, ada barang orang yang bukan bagian dari perusahaan di tempat ini!"
"Tap-"
"Mengerti?" bentak Wiland seraya menggebrak meja.
"Azia?"
"Azia, kamu kenapa?"
"Ada apa ini?" tanya Rahma saat dirinya tiba di perusahaan, dan melihat banyaknya karyawan yang berkumpul di depan ruangan Wiland.
"Selamat siang, Bu?" sapa setiap karyawan yang ada di sana, setelah menyadari kehadiran Rahma.
"Siang juga, ini ada apa ya, kok pada ngumpul di depan ruangan Wiland?" tanya Rahma untuk kedua kalinya.
"Itu Bu. Dari tadi kita dengar, pak Wiland lagi marah-marah sama Azia," jawab salah seorang dari mereka.
"Marah? Tapi kenapa Wiland memarahi asistennya seperti itu?"
Belum sempat Rahma mendapatkan jawaban, Fathinia datang dan langsung menyahuti pertanyaan wanita itu.
"Karena dia, Wiland jadi kehilangan kontrak kerja dengan perusahaan yang selama ini dia incar, Tante," sahut Fathinia.
"Sama klien dari Singapura itu?" Rahma kembali bertanya yang Fathinia jawab lewat anggukan.
"Ko bisa, kenapa?"
"Berkas yang Wiland siapkan sampai begadang kemarin, hilang di tangan Azia," jawab Fathinia.
"Oh." Rahma mengangguk mantap.
"Kalau begitu, kalian semua duduk kembali!" titah Rahma.
"Azia!" teriak Wiland cukup histeris, hingga membuat Rahma bergegas masuk.
"Azia, kamu jangan main-main dengan saya, karena bagaimanapun, saya tetap akan memecat dirimu." Wiland masih bersikap santai, padahal Azia sudah terbaring di lantai dengan mata yang tertutup rapat.
Krek
"Wiland, ada apa ini? Mama dengar dari tadi kamu teriak-teriak," tanya Rahma setelah ia masuk.
Wiland mengalihkan pandangannya, lantas memandang Rahma yang masih berdiri di ambang pintu. Bukannya menjawab, Wiland malah menunjuk ke arah Azia yang terbaring di hadapannya dengan wajah datar.
"Astaga, ini kenapa? Kamu kenapa malah marahi dia, sudah tahu Azia pingsan," omel Rahma kepada anaknya. Rahma langsung menutup pintu dan dengan segera menghampiri Azia dengan wajah panik.
"Pingsan?" Wiland tersenyum miring tidak percaya ibunya akan mengkhawatirkan wanita seperti itu.
"Mama hanya tidak tahu, dia itu pandai bersandiwara, jangan mudah tertipu dengan aktingnya, Ma," bantah Wiland tidak peduli.
"Kamu ini, mama kan sekolahin kamu tinggi-tinggi biar jadi anak yang pintar, masa soal gini saja kamu tidak tahu," timpal Rahma lanjut menceramahi anaknya.
Kedua insan itu malah berdebat, sementar Azia masih terkapar di bawah sana sampai di waktu yang sama, Anita masuk untuk memberikan berkas kepada Wiland.
Tuk... tuk...
"Masuk!" titah Wiland dengan ketus.
"Astaga, Pak, ini Azia kenapa?" Anita langsung menghampiri Azia, setelah dirinya menyimpan berkas yang di bawahnya di atas meja.
"Coba kamu bangunin dia pakai ini!" titah Rahma seraya menyodorkan minyak kayu putih.
"Azia, kamu kenapa? Ayo bangun!" Anita menepuk bagian wajah Azia dengan kedua tangannya beberapa kali.
"Coba kamu panggilkan dokter ke sini!" titah Rahma kepada Wiland.
"Ma, dia sudah membuat Wiland kehilangan kontrak kerjasama." Wiland memalingkan wajahnya dari hadapan Rahma, kemudian mendengus seraya mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja.
"Kerjasama bisa kamu perbaiki lagi lain waktu, tapi kita tidak bisa memperbaiki keadaan seseorang, jika nyawanya terancam" timpal Rahma, sehingga Wiland tidak ada alasan untuk menolak perintah Rahma.
"Iya, ini sedang aku hubungi," jawab Wiland dengan nada kesal.
"Padahal dia yang membuat masalah, tapi saya yang harus mengurus dirinya," omel Wiland.
"Cepat Wiland!" tegur Rahma.
"Sudah Ma. Dokternya lagi di jalan, tunggu sebentar!"
Tidak berselang lama, dokter pribadi keluarga Wijaya datang untuk memeriksa keadaan Azia, yang sudah terbaring di atas sofa.
"Dokter, tolong periksa anak ini!" pinta Rahma. Tanpa menunggu lama, dokter tersebut langsung memeriksa Azia
"Anita, untuk saat ini kamu urus dia, setelah dia sadar, tolong bawa dia ke rumahmu, dan besok, kamu juga bantu dia untuk merapikan barang-barangnya!" ujar Wiland dengan tegas, dia membawa jas biru dongker yang tergeletak di atas kursi, lantas melengos begitu saja dari dalam ruangan.
"Wiland!" tegur Rahma, hingga pada saat itu juga dia berhenti di ambang pintu.