Wiland mengamati asistennya tersebut dengan wajah tegas, menuntut jawaban. Sedangkan mimik wajahnya terlihat sangat marah.
"Pagi tadi sudah saya bawa semua berkasnya ke ruangan Bapak. Bahkan Pak Wiland juga melihatnya sendiri."
"Iya saya memang melihat kamu membawa berkas itu ke ruangan saya, tapi sebelum itu, semua berkasnya jatuh, 'kan?" Wiland mendongak, iya memandang tajam kedua bola mata Azia, menuntut jawaban.
"I-iya Pak." Azia terdiam sesaat.
"Tapi semua itu sudah saya rapikan kembali," lanjutnya dengan percaya.
"Yakin kamu sudah membawa semuanya?" tanya Wiland dengan penuh penekanan.
"Yakin, Pak." Azia mengangguk yakin. Dia tidak merasa membuat kesalahan sampai dirinya harus dibentak seperti ini.
"Kalau kamu memang sudah membawanya, kenapa berkas itu tidak ada? Saya tidak mau tahu, temukan berkas itu sebelum dua menit dari sekarang berakhir."
"Tapi ingat ini! Pekerjaanmu ditentukan oleh berkas ini, kalau sampai berkas ini tidak kamu temukan, bersiap untuk saya tendang keluar dari perusahaan ini. Dan sebaliknya, jika kamu menemukan berkas tersebut, saya akan naikkan gajimu dua kali lipat."
"Dua kali lipat?" tanya Azia sumringah yang Wiland jawab lewat anggukan.
'Aku harus menemukan berkas tersebut, agar aku bisa mengumpulkan uang dengan sangat cepat,' batinnya.
"Ingat, kerjasama saya dengan klien ini, ada di tangan kamu sekarang, kalau sampai kamu membuat kekacauan, saya bukan hanya bisa memecat kamu, tapi juga bisa menuntut kamu!" ancam Wiland
"Baik Pak, saya akan cari sekarang juga." Azia bersiap untuk mencari berkas yang atasannya maksud.
"Wiland, ayo cepat, kamu harus segera datang ke ruangan, klien kita sudah menunggumu!" ujar Fathinia.
"Baiklah." Wiland memandang Fathinia sekilas, lantas kembali mengarahkan pandangannya pada Azia dengan tajam.
"Azia, klien saya sudah menunggu, ingat! Semua yang akan saya sampaikan kepada mereka ada di dalam berkas itu, temukan secepatnya! Dan bawa berkas itu ke ruangan saya!" titah Wiland mempertegas. Pria itu langsung pergi menuju ruangannya diikuti oleh Fathinia.
Azia menghela nafas berat. "Tapi aku harus mencari berkas itu di mana?" ucapnya dengan cemas. Wania itu meremas jari-jari tangannya, keringat dingin seakan bercucuran dari atas sampai bawah.
Brug…
"Awh," teriak Azia, kala dirinya menabrak seorang karyawan yang membawa setumpuk sampah kertas di tangannya hingga jatuh berhamburan.
"Aduh maaf ya, Bu Azia saya tidak sengaja," ujarnya sembari merendahkan tubuh.
"Tidak apa-apa kok, lagi pula ini kesalahan saya yang balik badan gak lihat-lihat," ucap Azia diikuti tawa kikuk dari mulutnya.
"Mari saya bantu." Azia langsung merendahkan tubuhnya, membantu laki-laki tersebut merapikan sampahnya.
"Ah tidak perlu, Bu. Lagian Bu Azia harus segera menemuka berkas yang pak Wiland butuhkan," timpal orang tersebut.
"Iya sih, saya harus segera menemukan berkas tersebut, tapi ini tidak apa-apa kalau kamu membersihkan kertas-kertas ini sendiri?" tanya Azia.
"Tidak apa-apa Bu, ini sudah menjadi tugas saya."
"Baiklah, sekali lagi saya minta maaf ya."
Dengan cepat Azia berlari ke arah tangga dan menuruni anak tangga satu per satu dengan nafas terengah-engah, ia mendatangi tempat di mana dirinya menjatuhkan berkasnya pagi tadi.
***
Di tempat lain, di ruangan yang digunakan untuk meeting, Wiland terlihat sangat gelisah, bahkan dirinya terlihat sangat tidak fokus saat kliennya menjelaskan sesuatu. Hal tersebut juga membuat dirinya dipandang buruk oleh kliennya, mereka berpikir bahwa keseriusan Wiland dalam mengembangkan perjanjiannya dengan perusahaan yang ada di luar negri tidaklah serius.
"Wiland, kamu harus fokus, dari tadi klien kita bertanya kepadamu tentang persentasai yang akan kamu bawakan." Fathinia menyenggol sedikit kaki Wiland menggunakan kakinya, agar laki-laki itu tersadar dari lamunannya.
"Astaga," lirih Wiland.
"Eheum." Wiland berdehem, kemudian bersikap santai dan menenangkan dirinya. Dia mencoba mengukir senyuman percaya diri di depan para klien, dan kembali memfokuskan dirinya pada pembahasan.
"Bagaimana, Pak?" tanya Wiland diiringi senyuman.
"Saya pikir Pak Wiland ini tidak fokus dalam meeting pertama kita," jawab salah satu dari ketiga klien yang hadir.
"Tidak seperti itu, Pak. Maaf tadi saya hanya sedikit merenungkan bagimana kedepannya tentang perjanjian kita, dan saya pikir sangat menarik untuk di kembangkan," jawab Wiland mengalihkan.
"Kalau begitu, bisa dimulai tentang ide yang mau anda sampaikan di sini!" titah seorang klien wanita yang menjadi bagian dari meeting ini.
"Baik. Tapi sebelum membahas itu, mungkin kita bisa membahas yang lainnya dulu. Contohnya tentang pemahaman atau pemikiran yang mau anda sampaikan kepada audiens, terus latar belakang dari perusahaaan anda yang membuat anda memunculkan ide bisnis ini?" timpal Wiland mencoba mengulur waktu.
'Astaga Wiland, kamu fokus dong! Semua itu sudah mereka jelaskan barusan.' Batin Fathinia.
"Wiland kamu kenapa sih? Kamu tidak biasanya loh seperti ini," bisik Fathinia.
"Kenapa apanya? Kita harus mengulur waktu sampai berkas itu ditemukan," jawab Wiland.
"Apa yang kamu sampaikan bisa membuat perusahaan kamu berada dalam masalah," geram Fathinia dengan lebih merintih.
"Kenapa?" tanya Wiland.
"Karena mereka sudah menjelaskannya tadi, kamu kenapa sih gak fokus banget. Sudahlah jangan terlalu memikirkan berkas itu, yakin saja dia akan segera datang."
Wiland terkejut, ia mencoba menenangkan dirinya seraya berpikir tentang apa yang akan dia bahas sebelum Azia datang dengan berkas penting itu ada di tangannya.
'Kenapa wanita itu belum datang juga,' batin Wiland.
"Oh maaf, maksud saya bukan tentang itu, mungkin kita bisa melanjutkan pembahasan berikutnya."
Wiland menunjuk seorang karyawan di sampingnya.
"Arman, coba kamu jelaskan tentang kenapa bisnis kita menjadi solusi untuk perusahaan Pak Tendi.
"Baik, Pak." Wiland mengerjapkan mata, merasa tenang karena untuk sementara durasi waktu bertambah dengan menggunakan Arman.
Waktu sudah menunjukan siang hari, bahkan Meeting sudah berjalan lebih dari sepuluh menit, dan dua menit waktu yang Wiland berikan kepada Azia sudah kadaluarsa, kini alamat pemecatan Azia suda menjadi gambaran yang nyata.
'Azia, kamu sudah membuat pekerjaan saya berantakan,' batin Wiland, kini dia tidak bisa mengelak lagi selain dirinya berpresentasi tanpa menampilkan contoh ide dan bisnis yang sedang dia rancang untuk perusahaan kliennya.
"Pak Wiland, silahkan untuk memberikan gambaran, serta penjelasan ide, latar belakang, juga nilai-nilai tambahan yang mungkin penting untuk kemajuan kerjasama kita!" jelas Tendi, selaku pemimpin dari perusahaan terbesar yang ada disingapura.
"Baik, Pak." Wiland berdiri menghadap semua orang yang ada di sana. Sebenarnya Wiland bisa saja menjelaskan semua itu dari awal tanpa bantuan berkas, karena dia termasuk pengusaha muda yang pintar, dan juga sukses dibidang tersebut.
Tapi, salah-satu contoh pengembangan ide bisnis yang dia sengaja buat, untuk kerjasama kali ini sudah dia susun rapi di sebuah berkas yang ingin sekali dia tunjukan pada CEO dari perusahaan tesebut.
Ada beberapa bagian yang Wiland ingin janjikan pada kontrak ini, dan hal itu tidak dia hafalkan di luar kepala, selain karena idenya dirancang secara mendadak, dia juga punya alasan lain, yaitu. Agar dirinya bisa terus berhubungan dengan pemimpin tersebut, dan membuat mereka sering mengadakan pertemuan, dan menjalin hubungan lebih dekat selain hubungan bisnis.
***
Di tempat lain, Azia yang masih fokus mencari berkas sampai ke tempat sampah, dan ruangan lainnya, terlihat putus asa dengan wajah pucat serta keringat yang berhasil membasahi tubuhnya.
Ia berjalan dengan tergopoh-gopoh ke arah ruangan Wiland, bahkan dengan nafas yang terdengar tak karuan