Chereads / Emergency Relations / Chapter 3 - Terancam Gagal Kontrak

Chapter 3 - Terancam Gagal Kontrak

Ruangan yang cukup ramai, terlihat sekelompok karyawan sedang asik membicarakan pekerjaannya, dan beberapa orang yang baru keluar dari lift. Sepertinya mereka hendak bersiap untuk ikut Meeting dengan Wiland, karena salah satu dari mereka ada yang sudah mempersiapkan berkas-berkas untuk keperluan Meeting yang atasannya minta.

"Dasar pembawa sial," umpat Wiland. Ia pergi meninggalkan ruangan dengan tergesa, melewati setiap orang yang ada di hadapannya dengan wajah datar.

"Wiland! Ada apa? Teriak Fathinia yang masih berkutat dengan setumpuk buku di ruangan tersebut, untuk menemukan berkasnya.

"Dia kenapa si? Apa jangan-jangan, wanita tadi yang menghilangkan dokumennya?" Fathinia terdiam, kemudian tersenyum sinis. Dia berhasil menebak kalau berkas tersebut hilang di tangan Azia.

"Aku harus melihatnya." Dia meninggalkan ruangan tersebut, menyusuli Wiland untuk melihat hal apa yang akan laki-laki itu lakukan pada Azia.

***

Azia tersenyum lebar setelah kepergian Rahma, ia sedikit merasa lega setelah mendengar apa kata wanita berumur tadi.

Dia kembali merebahkan kepalanya di atas meja, sedikit melupakan tugasnya sebagai seorang asisten yang seharusnya sibuk bekerja, bahkan ia sudah lupa dengan perintah Wiland untuk menyiapkan beberapa cemilan ringan yang akan di hidangkan untuk para kliennya.

Wanita itu menghembuskan nafas panjang. "Sekarang aku hanya perlu beristirahat sejenak, aku takut penyakit ini semakin parah jika aku kelelahan," tuturnya. Perlahan, kedua matanya tertutup rapat, bahkan suara demi suara yang mulai bising dari luar ruangan, tidak mampu menahan matanya yang sudah semakin rapat.

"Azia!" teriak Wiland. Emosi yang jarang sekali pria itu tunjukan di hadapan para karyawan, kini berhasil membuat semua karyawan yang ada di sana bergidik takut.

"Pak Wiland kenapa tuh?" tanya seseorang dengan wajah heran.

"Aku juga tidak tahu, Nay. Mungkin asistennya membuat masalah," timpal yang lainnya ikut menyahuti.

"Azia! Cepat ke sini!" perintahnya semakin kencang. Wiland menjelajahi sekeliling ruangan dengan sudut matanya, namun wanita yang dipanggilnya tidak kunjung datang, hingga membuat dirinya semakin marah.

"Dimana wanita itu?" tanya Wiland, ia menengadarkan tatapannya pada setiap karyawan yang ada, memandang mereka secara bergantian.

"Kami tidak melihatnya, Pak," jawab seorang karyawan yang ada di hadapannya dengan wajah tertunduk.

"Kalau begitu cepat cari!" titahnya tegas, hingga di detik berikutnya, sebagian karyawan berpencar mencari Azia.

"Wanita itu benar-benar membuat kepalaku seakan pecah," gerutu nya seraya memijat kepalanya yang semakin berdenyut.

"Wiland! Klien kita akan tiba sekitar lima belas menit lagi," bisik Fathinia, membuat Wiland semakin khawatir tentang kerja sama yang akan dia lakukan dengan perusahaan yang berasal dari luar negri tersebut.

"Cepat siapkan dulu yang lainnya!" titahnya.

"Lalu, bagaimana dengan berkas yang kita butuhkan untuk persentasi nanti?" tanya Fathinia.

"Itu urusan saya, kamu tidak perlu repot-repot memikirkan hal ini, fokus saja dengan apa yang akan kamu sampaikan, karena saya tidak ingin ada masalah di meeting kali ini," jawabnya ketus.

"Baiklah." Fathinia pergi bersama beberapa karyawan lain yang juga akan ikut berpartisipasi dalam meeting tersebut.

Wiland melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Ia mendesah berat, waktu untuk menemuka berkas itu sangat tipis, sedangkan Azia masih belum menemuinya.

"Anita! Kamu juga ikut cari temanmu itu!" titah Wiland, seraya menunjuk wanita itu.

"Baik, Pak."

Belum jauh Anita meninggalkan ruangan tersebut, seorang pelayan Cafetaria datang, dan memberitahu Wiland tentang keberadaan Azia.

"Pak, maaf. Tadi saya lihat bu Azia ada di ruangannya," ucap pelayan yang sedang mengantarkan kopi untuk karyawan yang ada di sana.

Mendengar itu Wiland memicingkan mata, tak habis pikir dengan kelakuan Azia yang benar-benar membuatnya muak dihari pertama kerja.

"Astaga wanita itu," geram Wiland seraya melengos ke arah ruangan Azia dengan langkah pasti.

"An, teman kamu buat onar lagi ya?" tanya seseorang pada Anita.

"Masalah lagi? Memangnya dia buat masalah apa sebelumnya?" tanya Anita.

"Pagi tadi, aku lihat dia dimarahi pak Wiland, gara-gara dia menjatuhkan berkas penting untuk meeting hari ini," jawab wanita itu.

"Terus, dia juga meneriaki bu Fathinia di Cafetaria dengan lantang," sela yang lainnya dari arah yang berlawanan.

"Astaga Azia, kamu ini benar-benar ya," lirih Anita, merasa geram dengan kelakuan temannya, padahal ini adalah hari pertama dia bekerja, tapi bisa-bisanya dia sangat ceroboh.

"Ini kali pertama aku melihat pak Wiland semarah itu sama orang," tutur seseorang muai bergosip tentang kejadian yang sedang berlangsung.

Tepat di depan ruangan yang cukup luas, ruangan yang berlapis kaca, karena hampir keseluruhan dari perusahaan ini menggunakan kaca sebagai desain modern yang Wiland pilih sejak dirinya mendirikan perusahaan tersebut.

Wiland berhenti di depan pintu, dengan cepat ia memutar knop pintu ruangan tersebut, tapi sayang pintunya terkunci dari dalam.

"Bisa-bisanya dia mengunci pintu ini dari dalam," dengusnya.

Wiland mengintip lewat celah kecil dibalik jendela, memastikan keberadaan Azia. Setelah melihat dengan pasti Azia yang sedang menikmati tidurnya, Wiland semakin kuat untuk bertindak tegas kepadanya. Bahkan dia tidak akan mentoleransi wanita yang sudah menyia-nyiakan waktu kerjanya hanya untuk tidur.

"Apa dia tidur? Ini masih jam kerja, bahkan ini masih sangat pagi untuk dia tidur. Apa dia tidak menggunakan otaknya untuk berpikir?" Laki-laki itu semakin murka.

"Azia Murtia! Bangun kamu!" Wiland menggedor pintunya dengan sangat kencang, hingga pada saat itu juga, Azia langsung terbangun dengan terkejut.

Azia yang baru saja terlelap tidur, merasa tersentak karena teriakan serta gedoran pintu yang Wiland lakukan, hal itu membuat kepala bahkan otak Azia merespon dengan sangat sensitif. Saat kesadaran Azia yang mulai menghilang di alam mimpi, lalu tubuhnya tiba-tiba memberi respon menyentak, membuat Azia merasakan sakit yang tidak biasa di bagian kepala.

"Ya Allah sakit sekali," tuturnya, seraya merelaksasi dengan memijat area kepala.

"Apa yang kamu lakukan? Cepat buka!"

"Bagaimana ini, waktunya tinggal dua menit lagi," gumam Wiland setelah melihat jarum jam.

Seumur hidup, baru kali Wiland merasakan kecemasan yang sangat besar untuk menghadapi seorang klien. Pasalnya, perusahan besar yang kali ini mengajukan kontrak kerjasama, adalah perusahaan yang sudah Wiland incar sejak lama.

"Iya baik, Pak," jawab wanita itu seraya berjalan ke arah pintu.

"Pak Wiland kedengarannya sangat marah, ada apa ya?" gumamnya.

krek

Saat derit pintu terdengar, laki-laki yang menjadi atasannya itu langsung mendorong pintunya agar langsung terbuka.

"Apa yang kamu lakukan di dalam?" tanya Wiland dengan sorot mata hitam pekat.

"Saya sedang istirahat, Pak," jawab Azia polos.

"Enak sekali kamu, kerja belum seberapa sudah tidur saja," tegur Wiland.

"Maaf, Pak. Tadi saya bertanya kepada manager Bapak, tapi beliau bilang belum ada yang perlu saya kerjakan sampai meeting nanti selesai," jawab Azia.

"Bapak sudah selesai meetingnya?" lanjut Azia, dengan dahi mengernyit.

"Bagaimana saya mau meeting, jika berkasnya hilang," jawab Wiland.

"Hilang, Pak? Lalu bagaimana, Pak?" Azia kembali bertanya."

"Apa kamu tidak menyadari kesalahanmu sendiri, heuh?" Wiland membentak Azia hingga wanita itu tertunduk kaget.

"Ke-kenapa Bapak memarahi saya?"tanya Azia gugup.

"Kenapa salah satu berkas yang saya berikan kepadamu pagi tadi, tidak ada di ruangan saya?" tanya Wiland dengan nada rendah mengandung emosi.

"Sa-saya tidak tahu, Pak."

"Bagaimana kamu bisa tidak tahu, Azia? Ini adalah pekerjaanmu, masa pekerjaan seringan ini saja kamu tidak becus mengerjakannya." Wiland memukul tembok frustasi hingga Azia tersentak kaget.