Wiland masih memandang balik pintu dengan sorot tajam. Rasa kesalnya semakin memuncak ketika melihat wajah Azia yang sudah berkali-kali membuatnya muak.
Bug
"Astaga, ada apa lagi itu?" Wiland mendelik, menetralisir amarahnya yang seakan hampir meledak.
"Ya Allah, Bu. Maaf saya tidak sengaja." Azia terkejut saat keluar dari ruangan, seseorang sudah berdiri di belakang tubuhnya dan tanpa sengaja ia menabrak orang tersebut hingga makanan yang di bawanya terjatuh ke lantai.
"Lain kali, hati-hati ya, hal seperti ini sangat berbahaya jika terjadi kepada orang yang salah," ucap wanita itu dengan tegas namun mengandung perhatian.
"Baik, Bu. Sekali lagi saya minta maaf." Azia menundukkan wajahnya, lantas di balas anggukan ringan dari wanita itu.
"Biar saya bantu." Dengan sigap Azia merendahkan tubuhnya, mengambil tempat nasi yang ada di lantai dan memberikannya kepada wanita tadi.
Dia tersenyum, menatap Azia dengan wajah senang, layaknya seorang ibu yang kembali melihat anaknya setelah sekian lama. Wajahnya yang masih terlihat kencang, dan muda, di usianya yang diperkirakan sekitar 58 tahunan, membuat Azia terpana.
"Terima kasih ya, saya permisi dulu." Wanita itu melengos, masuk ke dalam ruangan dengan mimik wajah sumringah.
"Iya Bu." Azia mengangguk.
"Wanita tadi siapa ya? Dia sangat cantik, sopan lagi."
"Eh sebentar, bukankah itu bu, Fathinia yang pak Wiland maksud? Oh iya, benar itu." Azia langsung berlari cepat menuruni anak tangga kala melihat Fathinia menuju Cafetaria.
***
"Permisi, Bu Fathinia!" teriak Azia cukup kencang, hingga mampu membuat para karyawan lain memandang ke arahnya.
Fathinia berhenti, namun tidak melirik.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Azia menghampiri wanita tersebut.
"Maaf, Bu," ucap Azia dengan lirih, pada wanita tinggi dengan pakaian formal yang cukup terbuka itu.
Fathinia terdiam sesaat setelah mendelik tajam ke arah Azia, ia bahkan berusaha menghiraukan panggilan Azia dengan memilih untuk memainkan ponselnya.
'Apa orang jakarta, semuanya seperti ini? Atau mungkin dia tuli?' batin Azia menerka-nerka.
"Halo, Bu." Dengan berani Azia mendaratkan mulutnya di samping telinga Fathinia dan berteriak.
"Ahh, astga. Apa-apaan kamu ini?" bentak Fathinia dengan wajah marahnya.
"Maaf, Bu, saya kira pendengaran Ibu bermasalah, jadi saya inisiatif untuk berteriak di telinga Ibu." Azia tersenyum kuda dengan barisan gigi depan yang rapi.
Fathinia menatap tajam Azia dengan mulut mengerucut erat. Sebaliknya, Azia hanya diam dengan wajah polos, merasa bersalah.
Matanya mengedar, menjelajahi Cafetaria yang terkesan sepi, hingga keheningan itu mampu mempermalukan Azia di hadapan Fathinia.
"Kenapa manggil saya?" tanya Fathinia ketus.
"Saya disuruh pak Wiland, Bu," jawab Azia.
"Disuruh apa? Tolong ya, bekerjalah dengan baik, lihatlah karyawan yang lain, semuanya cekatan, tidak sepertimu yang lelet seperti ini," hina Fathinia.
Azia kembali menundukkan wajahnya, berusaha mencerna dan memposisikan dirinya sebagai bawahan, meskipun dalam hatinya, Azia terus saja mengumpat kepada para atasan yang bertingkah semaunya.
"Ah astaga." Wanita itu mendengus.
"Ada apa? Cepat katakan!" pekik wanita bernama lengkap Fathinia Farhan tersebut.
"Pak Wiland meminta Ibu untuk menemuinya di ruangan," jawab Azia secepat kilat.
"Baiklah."
Berbicara formal dan gaya elegan masih belum terbiasa bagi Azia. Bahkan dirinya diancam akan dikeluarkan dari pekerjaannya, jika sampai melakukan kesalahan yang fatal.
Tuk.. Tuk..
"Masuk!" perintah Wiland.
Tak lama Fathinia datang dengan langkah centilnya.
"Ada apa memanggilku?"
Wiland sedikit menoleh, lantas kembali mengalihkan pandangannya ke hadapan laptop.
"Kau sudah lupa, sebentar lagi Meeting dimulai," jawab Wiland
Fathinia mendelik. Wajahnya masih berharap, Wiland untuk bisa bersikap santai kepadanya. Tapi laki-laki itu seperti tidak pernah tertarik dengan wanita. Bahkan Fathinia yang punya wajah cantik serta badan ideal pun tidak mampu membuka hatinya, Wiland selalu menyibukkan dirinya dengan dunia dan pekerjaan.
"Aku tidak akan mungkin melupakan hal sepenting itu, Wiland." Fathinia duduk di hadapan Wiland dengan santai.
"Baiklah, ayo kita bahas presentasi buat nanti, sambil menunggu mereka tiba," ajak Wiland.
"Baiklah." Fathinia mulai membuka beberapa berkas yang ada di atas meja, namun pandangannya seketika mendarat ditempat makan yang masih terisi penuh.
"Apa ibumu baru saja datang?" tanya Fathinia, matanya menatap Wiland menunggu jawaban.
Wiland berbalik menatap Fathinia sebagai respon, hingga mata wanita itu mengarah pada kotak makan sebagai pernyataan.
"Oh iya, dia baru saja pergi," jawab Wiland.
"Tapi kenapa tidak kamu menyantap, makanannya?" tanya Fathinia.
"Nanti saja, saya masih ingin fokus dengan Meeting, kamu tahu sendiri, Meeting ini sangat berarti buat saya," jawab Wiland, kembali memfokuskan dirinya pada laptop.
"Iya Wil, aku tahu banget kok. Semangat, kita pasti akan mendapatkan kontrak kerja dengannya," ucap Fathinia bersemangat, yang diindahkan oleh Wiland dengan anggukan.
Di ruangan yang cukup luas, Azia merebahkan kepalanya di atas meja, rasa sakit di bagian dada serta beberapa nyeri di kepala lagi-lagi dia rasakan.
"Permisi," seru seorang wanita dari luar ruangan seraya mengetuk pintu beberapa kali.
Dengan cepat Azia mengangkat tubuhnya dan bersikap baik-baik saja.
"Silahkan masuk!" titahnya.
Krek
Ternyata yang datang adalah Rahma Wijaya, wanita yang sempat Azia tabrak beberapa saat yang lalu.
"Ibu." Azia terperanjat hebat, pikirannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu.
"Tidak, apa-apa, kamu duduk saja dulu!" ujar Rahma.
"Iya Bu."
Rahma ikut duduk berhadapan dengan Azia, ia tersenyum simpul lantas bertanya, "Apa kamu karyawan baru di sini?"
"Iya Bu, saya baru bekerja hari ini," jawab Azia senang.
"Pantas saya baru melihatmu di sini. Kerja yang baik ya, dan semangat!" ucapnya dengan nada mendukung, membuat Azia merasa heran, tapi dibalik itu, Azia juga merasa senang, karena wanita itu bersikap baik kepadanya.
"Baik, Bu."
"Oh iya, saya hampir lupa. Perkenalkan, saya ibunya Wiland, Rahma Wijaya." Rahmah menyodorkan tangan ke hadapan Azia, dan dengan cepat Azia menangkap tangan wanita itu menyalaminya.
"Azia Murtia, Bu."
"Saya cuma mau ngasih tahu kamu, anak saya sangat apik orangnya, dia sangat berhati-hati, dan tidak suka dengan kesalahan seseorang yang dilakukan dalam pekerjaannya." Azia mengangguk.
"Itu semua, karena Wiland melahirkan perusahan ini sendiri, dan dia tidak ingin apapun yang sudah dia usahakan, menjadi sia-sia karena kelalaian orang lain," Jelas Rahma dengan cukup tegas dan sopan, hingga Azia sangat nyaman dan mudah menerima masukan tersebut.
"Baik, Bu. Saya akan bekerja sebaik mungkin, saya juga akan lebih hati-hati dalam tugas saya," ucap Azia bersemangat.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi."
***
"Astaga, Wiland." Fathinia tersentak kaget saat membaca semua isi-isi berkasnya.
"Ada apa?" tanya Wiland dengan nada panik.
"Berkasnya," ucapnya terpotong.
"Iya ada apa dengan berkasnya, cepat katanya, sebentar lagi mereka datang!" teriak Wiland kesal.
"Berkas penting, tentang perencanaan proyek dengan Klien yang sudah kita bahas minggu lalu, tidak ada," jawab Fathinia.
Mendengar itu, lantas Wiland langsung bangun dari duduknya dengan wajah panik, karena dia sangat mengharapkan kerja sama ini terjadi.
"Cepat cari, berkas itu pasti ada di sini, saya yakin saya sudah membawanya dari rumah," titah Wiland, tidak menunggu lama lagi, Fathinia mencari berkas tersebut di sekitar ruangan, tapi nihil, berkas itu masih belum ketemu
"Ahh, sial. Bagaimana ini, kenapa berkasnya bisa sampai hilang?" teriak Wiland frustasi seraya mengacak rambutnya.
"Tenang dulu, Wiland." Fathinia mencoba memakai kesempatan ini untuk lebih dekat dengan Wiland. Ia menenangkan laki-laki itu dengan mengelus area dadanya.
"Bagaimana aku bisa tenang Fatin." Fatin adalah panggilan Wiland pada Fathinia dari sejak kecil.
"Kamu ingat-ingat dulu, kapan terakhir kali kamu melihat berkas itu!"
Wiland menurunkan tangan Fathinia dari dadanya, dan berjalan perlahan ke arah jendela, mencoba mengingat kembali dokumen yang dibawanya pagi tadi.
"Azia Murtia!" teriak Wiland memekakkan telinga para karyawan hingga semuanya terkejut, memahami kemarahan atasannya