Bulan hanya menghabiskan waktunya untuk meratapi nasib yang tidak berpihak padanya hari ini. Waktu makan siang pun ia tidak gunakan untuk mengisi perutnya yang kosong. Tidak ada sesuap nasi atau makanan apapun yang masuk ke mulutnya. Energinya mungkin saja akan segera habis atau tidak se prima ketika di waktu pagi. Tapi Bulan tak terlalu menghiraukan hal itu. Baginya, tekanan perasaan dan pikiran sudah cukup membuat rasa laparnya tidak terasa.
Perasaannya semakin tidak nyaman ia rasakan. Bulan akhirnya memutuskan untuk pergi dari kantin. Ia berjalan dengan cepat sambil menahan isak tangis. Menyembunyikan kesedihannya, wajahnya tertunduk tapi langkahnya tak berhenti. Deva agak khawatir ketika melihat Bulan pergi begitu saja. Ia belum makan sama sekali, keadaannya bisa memburuk jika ia sampai lupa untuk makan.
"Dia pasti sangat merasa tertekan sekarang. Biarlah dia mendapat balasan atas perbuatannya sendiri. Salahnya sendiri menjauh dari orang-orang dan membuat orang-orang tidak nyaman dengan sikapnya," kata Dinda nyinyir sembari memainkan sedotan di gelas minumannya.
Deva tak sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Dinda. Pikirannya masih memikirkan Bulan dan kondisiny. Perasaannya tak bisa dibohongi meski ia juga kesal. Rasa sayangnya pada Bulan masih ada. Ia tak bisa membiarkan kekasih hatinya merasakan kondisi seperti ini terus menerus. Terlebih Bulan baru saja pulih dari sakitnya beberapa waktu yang lalu.
Bulan yang sudah tiba di ruangannya. Kemudian duduk lalu meletakkan wajahnya di atas meja. Ia menyembunyikan wajahnya di dalam tangannya yang melipat. Ia menangis tapi mencoba sebisa mungkin untuk tidak didengar oleh orang yang berada di luar ruangannya. Ia merasa kesepian, semua orang menjauhinya. Tidak ada satupun yang mengerti keadaan dan perasaannya saat ini. Ia tidak memiliki seseorang yang tepat yang bisa mengerti dan mendengarkan keluh kesahnya.
Sementara itu, deva bangkit dari tempat duduknya. Ia beranjak hendak pergi dari kantin. Di dalam pikirannya hanya ada Bulan. Ia mengkhawatirkan keadaan Bulan. Benar-benar sangat khawatir, takut terjadi apa-apa padanya. Dinda hendak menahan Deva yang hendak pergi. Akan tetapi ia tak mampu mencegah Deva.
"Kamu mau kemana? Makanannya belum habis. Kenapa sudah mau pergi? Kamu sudah selesai makan siangnya?" tanya Dinda ketika melihat Deva bangkit.
Deva tak menjawab apapun langsung berjalan begitu saja.
"Deva! Tunggu! Kamu mau kemana?!" Dinda mencoba menahan Deva. Tapi Deva berjalan begitu saja.
Deva menuju ke tempat makanan. Ia memesan makanan lalu meminta untuk dibungkus. Setelah itu Deva berjalan langsung ke atas. Ia hendak menuju ke tempatnya Bulan. Tak peduli apa yang akan ia terima dari perlakuan Bulan padanya. Ia hanya tak ingin Bulan dalam keadaan tak baik-baik saja. Terutama kondisi Kesehatan Bulan yang sangat ia khawatirkan.
Tok!! Tok!! Suara ketukan pintu ruangan Bulan. Bulan seketika langsung mengusap air mata di pipinya. Ia tak ingin ada yang tahu kalau dirinya sedang menangis. Tak lama setelah suara ketukan pintu, tiba-tiba terdengar suara orang dari luar ruangan. Suara yang tak asing di telinganya Bulan meminta izin untuk masuk ke dalam ruangannya.
"Bulan? Sayang? Bolehkah aku masuk ke dalam?" teriak Deva dari luar ruangan.
"Iya," sahut Bulan sembari terus menghilangkan jejak bekas tangisannya. Ia mempersiapkan dirinya agar bekas tangisannya tak diketahui oleh Deva.
"Kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu sedang apa? Kamu nggak sedang menangis, kan?" Deva langsung mencecar pertanyaan bertubi ke Bulan selepas berhasil masuk ke dalam ruangan.
"Nggak, aku nggak apa-apa, kok. Aku baik-baik saja. Aku cuma sedang menikmati sisa waktu istirahatku saja. Kamu ada apa masuk ke sini? Apa ada sesuatu?" elak Bulan mencoba bersikap baik-baik saja.
"Baiklah kalau kau memang merasa baik-baik saja. Aku cuma khawatir sama keadaanmu. Apakah aku salah jika di jam istirahat ini aku masuk untuk melihat keadaanmu?"
"Tidak, aku kira ada sesuatu yang penting sampai kau tergesa-gesa masuk ke sini. Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Kalau sedang tidak bekerja seperti jam istirahat begini. Tidak apa-apa. Kamu boleh menemuiku."
Deva kemudian meletakkan bungkusan nasi yang sudah ia beli sebelumnya di atas meja kerja Bulan. Keadaan menjadi canggung selepasnya. Baik Bulan maupun Deva sama-sama terdiam. Saling tatap satu sama lain. Deva tak berbicara juga tak beranjak pergi dari ruangan Bulan. Hanya terpaku di hadapan Bulan. Bulan pun tidak ingin mencoba mengusir pergi Deva. Ia membiarkan Deva tetap di sana.
"Aku mau ngomong."
"Aku mau ngomong."
Keduanya secara serempak mengatakan hal yang sama.
"Ya sudah, kamu duluan saja kalau begitu. Kamu mau ngomong apa?" kata Bulan mempersilahkan Deva untuk berbicara terlebih dahulu.
"Nggak, kamu duluan saja. Kan, wanita diprioritaskan. Silahkan, kamu mau ngomong apa?" Deva balik mempersilahkan Bulan untuk berbicara terlebih dahulu.
Deva yang tak mau bicara lebih dahulu mendapatkan tatapan tajam dari Bulan. Tatapan Bulan memaksa Deva untuk bicara. Deva menelan ludah ketika mendapat tatapan seperti itu. Pada akhirnya dialah yang harus lebih dulu untuk berbicara. Menyampaikan apa yang ingin ia katakan.
"Aku mau minta maaf sama kamu. Aku tidak seharusnya masuk seperti tadi begitu saja ke dalam ruanganmu. Sampai-sampai kamu kesal dan memintaku untuk keluar dengan kasar. Itu semua aku akui salahku. Tujuanku memang semata-mata untuk membantumu. Aku ingin kau tidak berada di dalam masalah. Hanya saja caraku salah untuk melakukannya. Aku benar-benar minta maaf. Aku berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi. Kamu mau memaafkan aku, kan?" ujar Deva mengutarakan maksudnya.
Bulan agak terkejut ketika ia mendengar permintaan maaf yang diutarakan oleh Deva. Ia tak menyangka kalau Deva berinisiatif untuk meminta maaf. Padahal Bulan merasa kalau dirinya yang bersalah pada Deva. Seharusnya dia yang meminta maaf dan bukan sebaliknya. Perkataan Deva membuat Bulan tertegun untuk beberapa saat.
"Kamu kenapa diam? Kamu nggak mau maafin aku, ya? Ya, nggak apa-apa, deh. Kalau kamu memang nggak mau maafin aku. Setidaknya aku sudah berusaha meminta maaf sama kamu. Kalau kamu mau maafin aku syukur nggak ya sudah itu haknya kamu. Aku nggak mungkin maksa," kata Deva.
"E-eh, nggak. Aku sudah maafin kamu, kok. Bahkan, sebelum kamu minta maaf. Aku hanya kaget saja makanya diam sejenak. Kan, menurutku aku yang sudah bersikap tidak baik sama kamu. Tapi kamu lebih dewasa untuk mau meminta maaf terlebih dahulu. Aku seharusnya meminta maaf. Aku juga mau ngomong hal yang sama kayak kamu. Mau minta maaf atas sikapku tadi. Aku tahu niatmu baik, tapi mungkin aku nya sedang tidak baik-baik saja perasaannya. Makanya aku meresponnya dengan tidak baik. Maafkan aku, ya, sayang. Aku benar-benar minta maaf," kata Bulan hingga tanpa ia sadari air matanya terjatuh.
Deva perlahan mendekati Bulan. Ia menyeka air mata yang jatuh di pipi Bulan. Bulan sontak memeluk Deva dengan erat. Air matanya tak terbendung, ia menangis dalam dekapan Deva. Deva pun tak mau melepaskan dekapan erat yang dilakukan oleh Bulan. Ia membiarkan Bulan melepaskan semua tangisan dan kesedihannya.
"Sudah, nggak usah menangis. Tenangkan dirimu sayang. Semuanya akan baik-baik saja," bisik Deva sembari mengusap rambut Bulan.
Mereka berdua menghabiskan sisa waktu istirahat untuk saling berdekap mesra. Melepaskan sesuatu yang mengganjal di hati masing-masing. Terutama Bulan yang ingin hatinya lega selepas ini dan bisa kembali fokus untuk bekerja.