Sesaat setelah mengeluarkan motornya dari dalam ruang parkiran, Kendra bersiap menghidupkan motornya, Ketika sebuah panggilan telepon mengurung kan niatnya untuk men-starter motornya.
"Halo napa Jar?" Jawab Kendra, ternyata Fajar yang menelponnya.
"Bro, gua pinjem PS lu dong, besok ada temen kantor mau ngajakin turnamen bola di kosan, nyari rentalan udah penuh semua," terdengar nada Fajar sedikit putus asa.
"Napa ngga dari tadi pagi, Jar - Fajar?" Sungut Kendra, bukannya tak mau meminjamkan, tapi dia malas karena harus kembali menaiki tangga lagi untuk balik ke kamarnya.
"He he he he sorry gua lupa bro, tadinya gua pikir mau ambil rentalan deket - deket kosan aja, eh lupa, malam minggu gini pasti habis, plis, bentaran gua ke kosan lu dah," rengek Fajar.
"Udah biar gua yang bawa, lagian kan katanya mau biliar, sekalian gua bawain." Jawab Kendra, sembari turun dari motornya dan melangkah balik kekamarnya.
"Oh ya sudah kalau begitu ... tengkyu ya bro, sorry - sorry," sambungan telpon pun terputus.
Meski dongkol Kendra tetap paksakan untuk kembali ke kamar.
Matanya masih belum lepas dari layar ponsel, karena ternyata ada beberapa pesan WA dari Niko yang masuk dan harus dia jawab, menanyakan keberadaannya, sudah berangkat apa belum? ke temuannya di mana?, Fajar sudah diberi kabar atau belum ? sampai setelah biliar nanti rencana mau ke mana lagi, bla ... bla ... bla ... pesan yang sebetulnya tak begitu penting, tapi tetap harus ia jawab, sampai...
---
"Malam Kendra." Suara yang seharusnya merdu, namun bagi Kendra, suara itu seperti sengatan listrik yang menyengat nya dengan ratusan ribu volt, yang dalam sekejap mata telah membuatnya membeku kaku.
Kendra bengong, mendapati dirinya sudah berada beberapa meter di samping birai depan teras kamar Maya.
Nah lo ... Kendra seperti tersesat jauh, yang seharusnya tadi dari parkiran dia berjalan lurus beberapa langkah, kemudian belok ke kiri, lalu menaiki tangga, dan terakhir belok ke kanan untuk menuju kamarnya.
Tapi ternyata dia malah berjalan lurus hingga sampai ke ujung bangunan, dan terdampar tepat di depan kamar Maya, dia seolah lupa harus ber - manuver belok ke kiri tadi.
Yang kebetulan sekali, sang penghuni sedang duduk manis di sebuah kursi dekat pintu kamarnya, mengenakan kaos misty dan celana pendek selutut, duduk meringkuk mengangkat kedua kakinya sambil tangannya memegang ponsel.
Dan kini tengah menatapnya sambil tersenyum dengan wajah cantik yang kalem dan anggun.
Itu artinya, Maya sudah berada di situ dari tadi, bahkan saat Kendra turun dari tangga tadi pun dia sudah ada di situ, menatap Kendra berjalan dengan tergesa tanpa berani menoleh ke arah kamarnya.
"Loh kok ... aku di ... sini?" Kendra celingukan sendiri, raut mukanya menampakkan wajah kebingungan.
"Eh malam Maya, aku tersesat rupanya," sapa Kendra sambil melempar senyum. Dia masih tak habis pikir, keasyikan nya menatap layar ponselnya telah menyesatkannya terlalu jauh.
Kendra baru sadar ternyata, bahwa terlalu lama menatap layar ponsel kan memang bisa sangat menyesatkan.
Kendra grogi sampai lupa membalas sapaan Maya, orang yang seharusnya ia hindarkan pertemuannya itu malah di samperinnya kini.
Kikuk, canggung suasana yang terbentuk membuat keduanya terdiam beberapa saat.
"Eem ... di rumah saja Nay?" Kendra mencoba berbasa basi, balik badan sambil melangkah perlahan kembali menuju ke arah tangga.
"Biasanya juga selalu di rumah," jawab Maya ramah, senyumnya masih tersungging di sana, terlihat manis, membuat Kendra sedikit terpesona.
"Ada yang di tunggu ya?" Tebak Kendra, dia menghentikan langkahnya, keberaniannya yang timbul atau itu pancingan saja untuk mengetahui status Maya? sekalian mumpung di sana pikirnya.
"Iya nih, yang di tunggu ngga ada nyamperin ?" Jawab Maya.
Kendra baru sadar, ternyata Maya asyik juga diajak ngobrol, dan kesan yang di tangkapnya, Maya ramah, ngga jutek atapun pendiam seperti perkiraan awalnya.
Bayangan tentang Maya orang yang selalu serius, tak bisa diajak bercanda, ternyata meleset, tak sedikit pun ter gambar cewek jutek atau jaim dalam diri Maya.
"Di telpon dong? Kali aja lupa." Kendra mulai memberanikan diri untuk bercanda, setelah dirasa lawan bicara nya mau menimpali candaan nya, ngga jaim atau pun jutek.
"Nah itu dia masalahnya, aku ngga punya nomor nya, tadi lupa nanya," Maya tertawa renyah, oh my God, tawa yang indah gumam Kendra dalam hati.
Lebay ngga sih?, karena setiap apa yang Maya lakukan dari tadi, seolah menjadi sesuatu hal yang istimewa di mata Kendra.
Puluhan cewek cantik yang pernah ada di dekatnya punya senyum manis, tapi entah kenapa Kendra tak merasakan klik!. Maya seperti telah langsung memilih tempat di hati Kendra.
"Lah gimana sih? Ya sudah, gimana kalau nomor telponku saja?" Seloroh Kendra
Bukan bermaksud untuk menggoda nya, hanya sebuah canda dan ia berani melakukan itu ketika tahu Maya bukan orang yang kaku.
Kendra juga tak berharap jawaban iya dari Maya. Toh kalau Maya menolak, dia bisa beralasan itu hanya sebuah candaan.
" Ya sudah sini berapa nomor telponnya? Harusnya pas di tangga tadi ngasihnya " to the poin, canda dibalas canda?
"Hah!" Kendra tentu terkejut mendengar itu.
"Iya tadi aku lupa minta nomor kamu?" Maya tersenyum di kulum, ya Tuhan ternyata topik pembicaraan mereka dari tadi adalah dirinya.
"Hah, serius? " Kendra tersenyum kecut, Maya pasti sedang menggodanya.
Ucapan Maya yang terdengar barusan di-lamat kan- nya baik -baik, dia tak mau terjebak lagi dengan halusinasi pikirannya akibat efek negatif tayangan sinetron TV, yang bukan saja berhasil saling bertukar nomor telepon, tapi mereka juga saling tatap mata dengan efek zoom in - zoom out, hingga iklan memutus adegannya.
Beneran Kendra nonton sinetron ?!.
---
Maya mengangguk.
"Kamu ngga sedang bercanda kan?" Ada keraguan dalam diri Kendra, makhluk yang selalu menampakkan sisi kalem pendiam dan anggun itu, meminta nomor telponnya ?
Tapi tak ada yang salahkan? Toh mereka sekarang tetangga kos, apa salahnya juga jika sesama penghuni kos saling memiliki nomor handpone satu dan yang lainnya.
Maya mengangkat ponselnya bersiap untuk mengetik.
"Berapa?" Berarti benar dia serius.
Tapi bisa saja dia bohong dengan berpura-pura mengetiknya kan? Ragu Kendra menyebutkan beberapa angka dari nomor telponnya.
Sesaat kemudian ponselnya berdering, ada nomor baru terpampang di layarnya, masih tak percaya Kendra menyambungkannya.
"Halo?" Matanya menatap lurus ke arah Maya, yang saat ini juga sedang menempelkan ponselnya ke telinga.
"Halo ini Kendra kan, hai Kendra ini Gita, " Maya ter gelak sendiri, sedang Kendra hanya tersenyum kecut menahan malu. Maya meledeknya, dan itu ulah Bagas manusia berotak separo.
"Kerjaan Bagas itu May?" Kendra menutup sambungan telponnya.
"Aku tau kok, siapa biang kerok-nya. " Tawa Maya terhenti, senyum kecilnya terlihat tersungging kembali di bibirnya.
Mendengar itu Kendra menghela nafas lega, reputasinya aman. Masak cowok cool yang selalu berpenampilan Uberseksual ini, nulis surat saja kata - katanya menjijikkan, paling enggak kata – katanya sedikit puitis lah ya.
"Jahil ya anak itu, di kantor dia sering promosiin kamu ke aku lho, " senyumnya melebar
Bangsat! Segitu perlukah dirinya di iklankan.
"Serius May? Kampret tuh anak, apa maksudnya coba. " rasa malu dan kesal campur aduk. Kendra bukan cowok yang tak laku, yang harus di iklankan ke mana-mana, kontak list ponselnya saja isinya nama cewek semua, masak untuk jodoh saja harus di iklankan.
"Ngga usah diambil hati, santai saja," sahut Maya kalem.
"Maaf ya May, tuh anak emang rada sint..."
Belum selesai Kendra bicara ponselnya kembali berdering.
Beni! Ya ampun jam berapa sekarang.
Kendra tak ingat sudah berapa lama dia berdiri di tempatnya, lupa akan janji dengan 3 sahabatnya, lupa tujuannya dia balik ke kamarnya untuk apa, tempatnya berdiri sekarang terasa nyaman baginya.
Andai tak sedang buru-buru mungkin ia akan betah di sana 10 menit, 30 menit, atau bahkan semalaman pun ia tak peduli.