Chereads / GAME is OVER / Chapter 12 - Mencairnya hati yang beku

Chapter 12 - Mencairnya hati yang beku

Dua hari kemudian 17:55

Sore baru memburatkan warna jingga, di ujung barat, menenggelamkan separuh bulatan matahari pada cakrawalanya, ketika sesosok makhluk berwajah oval melangkah perlahan menuju anak tangga.

Ada secarik kertas terjepit disela ibu jari dan telunjuknya, langkahnya terlihat tak tergesa, malah kesannya seperti ada keraguan disetiap tapakan kakinya.

Sosok itu kebetulan berpapasan dengan Kendra di ujung bawah tangga, yang saat itu hendak pergi ke warung depan untuk membeli shampo sachet.

Akhir-akhir ini Kendra jadi rajin keramas, padahal shampo botol yang biasa ia beli, biasanya baru akan habis seminggu sebelum ia gajian, atau bahkan bisa masih sisa saat Kendra membeli yang baru.

Apa karena rambutnya yang tumbuh semakin gondrong, hingga membuatnya jadi boros shampo?

Atau karena file dalam hidden folder nya, yang sempat ingin ia buang dan urung ia lakukan itu menjadi salah satu penyebabnya juga ? Astaga ! Sinetron dewasa dengan adegan nanas.

Dan tanpa disengaja mata mereka beradu, Kendra yang sedang tergesa terlihat tak fokus, reflek dia melemparkan senyum, hal ramah yang biasa dia lakukan ketika bertemu dengan orang asing. Tapi seketika jantungnya berdegub dengan kencang, saat mengenali cewek wajah oval yang tengah berpapasan dengannya.

MAYA ?

"Emm … Kendra ya? " Suaranya lembut, si empu wajah oval menunjuk kearah Kendra, seolah menebak dia bertemu dengan orang yang tepat.

Kendra membeku, ingatannya seketika terputar pada surat kaleng buatan Bagas, yang dia kirim atas namanya dan di selipkan di bawah pintu kamar Maya, sosok yang kini ada di hadapannya.

Celaka makhluk ini akan menumpahkan kemarahannya padaku, batinnya

Mampus! Apa jawabku kalau dia marah, sumpah bukan aku yang meng-isengimu.

Setengah mati Kendra mencoba menenangkan kegusaran hatinya. Sial, lututnya tiba - tiba saja menjadi lemas, baru seumur- umur dia merasakan perasaan aneh ini, dia sudah bertemu dengan banyak cewek cantik, tapi perasaannya tak seperti yang ia rasakan saat ini, label gila dan cool, yang tersemat pada dirinya seolah tercabut seketika itu juga.

Cepat dan tak sempat di elak kan, sebuah bogem mentah mendarat telak di mata kirinya, buk!..buk!...buk! tiga kali tanpa Kendra bisa menangkis nya, tamparan keras di pipi terasa panas dan sudah pasti bekas tangan akan muncul di sana.

Kendra hanya bengong membiarkan semua itu terjadi, tanpa ada perlawanan karena memang dia merasa bersalah, dan lagi lawan yang dihadapinya adalah seorang cewek, tak mungkin dia melawan cewek, karena cewek selalu benar. Hei! Tunggu itu salah Bagas! Bukan salah ku, protes Kendra dalam hati, sampai pada akhirnya...

"Beneran Kendra kan ? Kok malah bengong?" Kendra tersentak. Reflek dia mengangguk. Matanya tak berkedip, sesaat kemudian tersadar sambil meraba mata kirinya, masih utuh! Lalu pipinya ... aman.

Makhluk itu mengulurkan tangan kanannya, Kendra terkejut, dan reflek melompat kebelakang dengan tangan posisi bertahan, hal konyol itu tentu saja membuat Maya langsung tertawa, Kendra seperti sedang mengajaknya bertarung.

"Mayandari … panggil aja Maya. " kenalnya, tangannya masih terulur, senyumnya tak lepas di bibirnya

Ragu Kendra menyambutnya, tampangnya sangat konyol sekali, dia masih was - was apa yang di lihatnya bukanlah hayalan.

Tangan mereka akhirnya bertemu saling berjabatan. Kendra segera merasakan tangan se lembut kapas dan hangat menyentuh tangannya.

"K-Kendra … Kendradinata," kata Kendra ter gagap, saat menyebut namanya, dia semakin grogi, biasanya dialah yang mengendalikan situasi, tapi kini semua terbalik.

Perasaan was - wasnya berangsur hilang, makhluk berwajah oval itu ternyata tak se brutal khayalannya, tak memukulinya, tak menamparnya, khayalannya terlalu berlebihan.

Sinetron di TV ternyata memengaruhi imajinasi nya dengan sangat buruk, tunggu? Kendra nonton sinetron ?

"Aku cuma mau balikin ini, " secarik kertas dia serahkan ke Kendra, " sepertinya kamu salah kirim-ya? Namaku Maya bukan Gita," Maya tertawa lirih, bahkan matanya sampai menyempit karenanya.

Entah kenapa tawa itu seolah ejekan bagi Kendra, ya Tuhan! Seandainya ini peristiwa yang menyenangkan Kendra akan rela tertawa bersama, tapi…

"Eh iya... A-anu... B A G A S ! " Setengah berlari Kendra mengambur balik ke atas, di wajahnya terlintas begitu jelas tampang bego Bagas yang kini telah membuatnya malu bercampur kesal setengah mati, dia sampai lupa tujuannya turun ke bawah tadi mau apa.

Kendra yang dingin, selalu menjaga jarak dengan makhluk bernama wanita, hari ini bertingkah sangat konyol

Maya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, ia perhatikan Kendra yang berlari kembali ke atas.

Cowok yang unik pikirnya.

...

"Goblok! Gua malu goblok!" Kendra menghabur masuk ke kamar Bagas yang pintunya terbuka sedikit, sambil melemparkan gumpalan kertas pemberian Maya ke wajah Bagas, yang saat itu tengah asyik mencabuti bulu hidungnya... ?

"Lebay lu ah, apaan sih ?" Bagas yang kegiatan mengasyikkan nya terusik merasa jengkel.

"Baca tuh surat buatan elu!"

Bagas memungut gumpalan kertas yang tergeletak dilantai sambil menggerutu, dibukanya gumpalan kertas itu, wajah kesal nya seketika berubah.

Semenit kemudian tawa nya pecah.

***

Teruntuk Dinda Gita

yang bersemayam di peraduan malam

Semenjak menatapmu dari depan kamar ku,

Entah kenapa malamnya aku ke pikiran kamu,

Sungguh aku seperti melihat bidadari yang turun dari mobil.

Seandainya saja ada keberanian padaku untuk berkenalan denganmu

Mungkin aku tak akan mengirimkan surat ini kepadamu.

Maafkan aku jika selama ini aku tak berani menyapamu,

itu semata karena aku malu

Semoga di masa mendatang kita bisa saling bercakap atau mungkin lebih dari itu

Penggemarmu

Kendra

***

"Ha ha ha ha napa jadi Gita?" Bagas hanya garuk-garuk kepala.

"Oh gampang...," dia meraih pulpen di meja samping tempat tidurnya, dan dengan serius mencorat -coret kembali kertas di tangannya.

Kendra hanya terdiam dengan pikiran campur aduk nya, membaca suratnya saja sudah membuanya merasa mual, belum lagi membayangkan expresi wajah Maya, yang pasti jauh lebih mual, menyangka Kendra itu cowok norak, konyol, kampungan, dan label negatif lainnya yang tentu saja bisa menjatuhkan reputasi cowok dingin yang tersemat di dirinya.

"Noh udah gua ganti namanya jadi Maya, gampang kan... aduh." Belum selesai ucapannya, sebuah tinju mendarat ke bahunya.

Kendra meninggalkan Bagas dengan perasaan kesal, setelah ia layang kan tinjunya ke bahu Bagas.

Bagas hanya tertawa terbahak menyadari kebodohannya, sambil mengelus bahunya yang terasa nyeri, hingga dering ponsel menghentikan gelak nya.

"I-iya sayang, ini aku udah on the way? Macet banget," kata Bagas berbohong, dia segera bangkit dan mengenakan kemeja pendek warna coklat muda pola kotak kotak.

"Beneran ini aku di jalan, masak ngga denger ini campur suara angin lho?" Ucap Bagas sambil meniup pelan speaker ponselnya.

Suara cewek di seberang tak berhenti mengomel, menggerutu.

Sudah waktunya Bagas menjemput Vita dari tempat kerjanya, untuk sekalian menghabiskan malam minggu bersama.

Setelah memutus sambungan telepon, Bagas melesat ke parkiran.

Ini malam minggu, malam yang panjang buat yang sudah punya pacar.

"KEN gua NGAPEL DULU YA!" Teriak Bagas dari parkiran bawah, sambil ngakak.

"BOOODOOO!" Timpal Kendra dari kamarnya.

****

19:30

Kejadian sore tadi masih terngiang dalam ingatan Kendra, hingga membuatnya jadi segan untuk keluar kamar, padahal ia ada janji dengan Niko, Beni, dan Fajar, untuk main biliar ditempat biasa.

Ia jadi malas kalau nanti harus bertemu Maya di bawah. Tapi Maya kan jarang terlihat di teras kamarnya? Dan lagi bodo amatlah, napa jadi ke pikiran gini, gumam Kendra dalam hati.

Apakah benar Kendra sudah tak "gila" lagi? Masalah sepele sore tadi dimasukkannya ke dalam hati? Atau memang ada sesuatu dalam hatinya saat ini?

****

Sudah terlihat rapi, Kendra melangkah turun setelah sebelumnya mengunci pintu kamarnya.

Di bulatkan nya tekad dalam hati, seandainya nanti ketemu, salam senyum saja sudah cukup untuk diberikan pikir Kendra.

Di tangga turun perasaannya mulai cemas, meski pun sudah ia tekat bulatkan untuk masa bodo.

Saat berjalan ke arah parkiran tak sedikit pun ia berani menoleh ke arah kiri, ke arah dimana kamar Maya berada. Langkahnya ia buat cepat, agar segera sampai keparkiran - menungangi motornya - menggebernya sesegera mungkin dan menghilang.

Tapi yang namanya jodoh, se- rapi apa pun rencana kita untuk menghindarinya, pertemuan tak akan bisa dielakkan. Serumit atau sejauh apa pun jalan yang ditempuh, jika ujungnya adalah Jodoh maka kita tak akan bisa berbalik badan.