Pukul 20:30
Pintu kamar tamu tempat Kendra menginap diketuk pelan, meski pun pintu itu tak pernah tertutup. Maya berdiri di balik pintu dengan senyum manisnya, wajahnya tampak sudah segar, sepertinya sudah selesai mandi, sebelum dia naik kelantai 2 tempat kamar Kendra berada.
"Malam," Ucapnya singkat, kemudian masuk dan langsung duduk di ranjang, Kendra sendiri sedang serius merapikan berkas – berkas untuk keperluan dia melamar kerja besok, Kendra menoleh sebentar dan membalas senyum Maya, dia duduk di kursi depan meja belajar, yang sepertinya milik anak mbak Pur yang sulung, yang sekarang sedang liburan ke Temanggung di rumah neneknya.
"Wuih harumnya, sudah mandi kah Non?" Tanya Kendra basa – basi, dari aroma sabun yang tercium, tentu saja itu tanda bahwa Maya sudah mandi.
"Sudah dong, coba cium?" Tantang Maya, Maya seperti rindu dengan masa – masa kemesraannya dulu, ketika dia masih di Bali, dia tak perlu meminta, karena Kendra selalu memberinya kemesraan, kini ada rasa sungkan ketika dia berada di rumah kakaknya, statusnya dan Kendra belum resmi menjadi suami istri, tentu hal seperti mencium, berduaan dalam kamar seperti saat ini adalah hal yang harus mereka lakukan secara sembunyi - sembunyi.
Kendra tersenyum, berdiri dari kursinya, kemudian membungkuk di hadapan Maya dengan lembut dia cium kening Maya, Maya hanya memejam mata, merasakan kemesraan yang di berikan Kendra padanya, ciuman itu yang selalu membuatnya melayang.
"Gimana hari ini, sibuk?" pancing Kendra, dia duduk jongkok dihadapan Maya, kepalanya mendongak menatap mata bening Maya yang berbinar bahagia. Dia begitu penasaran dengan cowok bernama Abim, yang meneleponnya siang tadi, berharap Maya mau membicarakan tentang dia dengannya.
"Lumayan, ini akhir bulan dan akhir tahun juga, kerjaan seperti ngga ada habisnya," keluh Maya wajahnya terlihat di tekuk, seperti kelihatan capek sekali, Kendra jadi ragu untuk meneruskan investigasinya tentang sosok Bimo, dia malah kasihan melihat Maya yang sepertinya tak hanya capek di badan tapi juga di pikiran.
"Ya sudah istirahat, tidur, biar besok badannya segar," Ujar Kendra, kalau dulu mungkin dia akan segera memijit bahu Maya, sekedar merelekskan ototnya yang tegang, tapi ini bukan Bali, bukan di kos Maya, ini rumah kakak kandungnya, yang setiap saat bisa saja mereka muncul, meski kemungkinan itu hampir tak ada, tapi Kendra tetap harus jaga etika, tak begitu saja mengumbar hasratnya.
Wajah Maya malah kelihatan masam, bibirnya cemberut, dahinya berkerut, seperti tak setuju dengan ucapan Kendra.
"Kamu mengusirku," sungutnya, Kendra hanya tersenyum, sepertinya Maya masih ingin bersamanya disana.
"Mau aku pijitin?" Bujuk Kendra, meski was – was, tapi dia tak bisa begitu saja mengabaikan Maya, menyuruhnya segera pergi untuk saat ini akan membuatnya tambah marah.
Maya berubah wajah, senyumnya segera tersungging di bibir, tak berkata dia hanya mengangguk manja. Kendra menarik kursi dekat meja belajar, kemudian menyuruh Maya untuk duduk disana, tak banyak kata Maya hanya menurut, semenit kemudian, dengan lembut Kendra memijit pangkal leher Maya hingga ke bahu, mendapat sentuhan dari lawan jenis, bulu halus di sekujur tubuh Maya meremang, merinding bukan karena mengalami kengerian, tapi lebih ke desakan hasratnya yang memucuk ke ubun – ubunnya, dia ingin di sentuh lebih dari itu, tak hanya di sekitar leher dan bahu.
"Enak?" Tanya Kendra yang matanya sesekali melihat kearah pintu, pikirannya sangat was – was, kalau mbak Pur yang tiba – tiba berdiri disana mungkin Kendra tak akan begitu khawatir, tapi kalau mas Kampret!, begitu Kendra memberi julukan ke suami mbak Pur, yang nongol, tentu keadaannya akan menjadi lain.
Hubungannya dengan calon iparnya itu memang kurang begitu akrab, bahkan Kendra merasa keberadaannya di sana tidak di sukai oleh mas Kuncoro. Orang nya terlalu materialistis, apa – apa selalu di nilai dengan harta, jabatan, kedudukan, meski tak menunjuk ke Kendra langsung, Tapi membicarakan kelebihan – kelebihan para mantan Maya seperti sebuah sindirian halus, bahwa Kendra bukanlah apa – apa kalau di bandingkan dengan mereka. Beruntungnya mas Coro, jarang berada di rumah, puas rasanya dia bisa menyebut nama itu dengan kata Coro (kecoak dalam bahasa jawa) meski kalau berhadapan langsung dengannya Kendra memanggilnya dengan panggilan mas Kun.
Keberadaannya di rumah ini tak bisa di prediksi, kadangan bisa tiga sampai empat hari dia dirumah, kadang sampi beberapa hari ngga pulang, Kendra sampai lupa menanyakan ke Maya apa perkerjaan kakak iparnya itu, karena dia memang tak ingin berurusan lebih dengannya.
Tak ada sahutan dari Maya, yang ada tangan Kendra yang ada di bahunya di tariknya kedepan, membuat tubuh Kendra harus membungkuk, Maya menengadahkan kepalanya, dan bisa di tebak, mereka pun segera mencari bibir lawan dengan posisi terbalik, saling berpagut untuk beberapa saat, moment langka yang untuk saat – saat ini sangat sulit mereka dapatkan.
Berbeda ketika mereka satu kos dulu, dan entah kenapa aksi ciuman mereka saat ini terasa berbeda, memberikan sensasi yang lebih menggairahkan, dimana hati merasa was- was akan ada yang memergoki aksi mereka, tapi hasrat yang bergejolak seolah tak ingin menyudahi semuanya dengan cepat.
Napas mereka sudah saling memburu, libido sepertinya sudah mengambil alih pikiran sehat mereka, bahkan tangan Kendra telah di bimbing Maya ke area sensitifnya, seolah menginginkan Kendra memijitnya dengan lembut, ternyata bukan saja leher Maya yang terasa kaku, dada depannya pun terasa kaku dan ingin di pijit pula.
Dengusan nafas Maya menggelitik leher Kendra. Meski tak ingin menyudahi kemesraan itu, tapi perasaan was – was yang terus menyelimuti benak Kendra membuatnya menghentikan ciumannya dari bibir Maya, dengan lembut dia menarik tangan yang sedari tadi memijit lembut dada sintal Maya, beralih ke leher, dan kembali memijitnya dengan lembut.
"Sudah malam, kamu harus istirahat, agar besok tak kesiangan," sekali lagi Kendra mengecup lembut dahi Maya yang masih dalam posisi menengadah. Matanya masih terpejam, sepertinya kenikmatan yang baru saja dia rasakan tak ingin segera dia sudahi. Desahan napas berat terdengar dari hidungnya.
Sungguh sebuah kondisi yang sangat tak menyenangkan, ketika kita telah nyaman melakukannya, tapi harus terputus oleh situasi dan keadaan yang tak mendukung.
"Kamu juga, jangan tidur terlalu larut, biar besok juga bisa bangun pagi," Pesan Maya, sebelum berdiri dan beranjak dari kursi, dia sudah berjalan kearah pintu.
"Siap bu," Seloroh Kendra, tiba – tiba saja dia kembali teringat akan Abim mantan Maya ketika dirinya berkata siap.
"Masih ingat dengan Abim, May?" harusnya dia tak menanyakan itu, setidaknya tidak untuk saat ini, hati Maya masih berbunga, harusnya dia tidak merusak itu.
"Abim? Abim siapa?" Dahi Maya berkerut, entah dia sedang berpura – pura, atau memang dia sudah tak ingat dengan nama itu, tapi tak masuk akal juga kalau dia tak ingat nama itu, karena itu adalah nama mantannya
"Abimanyu," Kendra akhirnya menyebut nama lengkap sang cowok, yang meneleponnya siang tadi.
"Owh Abim mantan ku, kenapa tiba – tiba kamu menanyakan hal itu?" Berarti benar, Abim belum menghubungin Maya, seandainya sudah dia tentu akan membicarakannya saat ini.
"Entahlah, aku pikir mungkin dia tadi meneleponmu?" papar Kendra.
"Kenapa? Dia juga sudah lama tak ada kabar, nomor ponselnya pun sudah lama tak aktif," tegas Maya, seperti ingin menjelaskan ke Kendra, bahwa dia sudah benar – benar selesai dengan Abim, tapi kenapa tiba – tiba Kendra menanyakan hal itu lagi.
"Siang tadi ada cowok mengaku bernama Abimanyu dan dia meminta nomor ponselmu," Jelas Kendra, sebetulnya Kendra juga hanya ingin berkata jujur, bahwa dirinya yang memberi nomor ponsel Maya, seaadainya nanti Abim benar – benar menghubungin Maya.
Terlihat Maya hanya tersenyum, kemudian dengan mengangkat tangannya dia seperti menegaskan bahwa cincin pertunangan itu masih dia pakai, dan Kendra tak perlu memikirkannya terlalu jauh, Maya masih miliknya, mungkin itu yang ingin di sampaikan Maya lewat isyarat menunjukkan cincin di jari manisnya.
"Selamat malam Ndes," setelah berkata begitu Maya melangkah keluar pintu, tinggal Kendra sekarang yang masih di liputi perasaan tak nyaman. Maya masih belum seratus persen menjadi miliknya. Yang nyata – nyata sudah dalam ikatan pernikahan saja bisa bercerai akibat datangnya orang ketiga, apalagi saat ini dirinya masih bertunangan. Belum lagi ganjalan dari mas Coro yang seperti tak merestui hubungan mereka.