Chereads / Terbelenggu Dendam Duda Kaya Raya / Chapter 6 - Bab 6 Sandiwara

Chapter 6 - Bab 6 Sandiwara

Viola hanya menganggukkan kepala, sekaligus mengiyakan pertanyaan Clara. Ia takut sikapnya itu terkesan berlebihan, karena sebelumnya Erlan sudah melarang keras seluruh pelayannya agar tidak berbicara apa pun dengan Clara. Termasuk juga urusan pribadi, atau segala sesuatu yang bersangkutan dengannya. 

Viola dan Clara terdiam bersamaan. Kemudian ada salah satu yg yang menyeru untuk membawa Clara turun ke bawah. 

Karena kali ini mereka akan menuju ke ruang keluarga, maka dari itu hanya ada satu jalan untuk pergi ke sana. Viola menuntun Clara untuk segera turun melalui tangga, tidak heran jika rumah sebesar ini mempunyai sebuah lift sekaligus tangga di dalamnya. Tangga itu langsung menghubungkan lantai dua dengan ruang keluarga. 

Sambil memegang kedua sisi gaun, Clara menuruni tangga dengan pelan. Tidak lupa juga kedua kakinya begitu hati-hati karena ia sama sekali tak terbiasa memakai high heels. Diikuti Viola, dan satu pelayan lain yang memantau dari arah belakang dengan wajah menunduk. 

Degup jantung Clara berotasi tidak karuan, jika berbicara soal keluarga besar, itu artinya ia akan dihadapkan dengan banyak orang. Terlebih lagi dia seseorang yang introvert, sangat sulit baginya untuk beradaptasi dengan orang baru. 

Imajinasi Clara melayang tinggi, sambil mennyusuri anak tangga, ia terus memikirkan kejadian yang akan ia lalui hari ini. Tidak tau apakah Erlan akan memperlakukannya seperti seorang ratu layak gaun yang ia kenakan, atau mungkin justru mau mempermalukan dirinya. 

'Ah, sudahlah!' tepis Clara dalam hati. Lagi-lagi Clara tidak ingin berdebat dengan pikiran kacaunya. 

Clara berhasil menyisakan lima anak tangga lagi, tanpa ia sadari dirinya telah melewati pembatas dinding yang membelok dari atas. Pembatas inilah yang menghadang mata agar tidak langsung melihat siapa saja orang yang berada di ruang keluarga. 

Deg!

Benar  saja, tangga itu langsung terhubung dengan ruang keluarga. 

Kedua mata Clara mulai tercengang, ketika mendapati tidak ada satu pun orang yang berada di sana. Namun ketika Clara telah benar-benar berhasil menuruni tangga tersebut, Clara dihadirkan dengan banyak pasang mata yang sedari tadi telah menunggu kedatangannya. 

Lagi-lagi Clara tercekat, langkah kakinya terasa begitu berat. 

''Mari, Nona.'' 

Ucap Viola secara tidak langsung menyuruh Clara untuk melanjutkan perjalanannya. 

Clara tidak menjawab, ia langsung menarik nafasnya dalam, kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Bertahanlah, lima langkah lagi! Pekik Clara pada dirinya sendiri.

Baru setengah perjalanan, Clara dikejutkan dengan seorang pria yang menggandeng tangannya dengan kasar. 

Pria itu menelungkupkan tangan kanannya lalu melambaikan ke atas, melihat kode yang ia berikan, kedua pelayan yang mengikuti Clara dari belakang segera pergi meninggalkannya. 

Clara memiringkan wajahnya, lalu mendongak pelan pada wajah pria itu. 

Rahang tegas terbentuk sempurna dengan sentuhan rambut halus di sekitarnya, membuat Clara merasa candu untuk terus menatapnya. 

Semua orang tentu mengakui ketampanan duda kaya raya itu. Meskipun seorang duda, namun ia memiliki kharisma yang tak kalah dengan pria lajang lainnya. Yang jelas, hatinya terguncang lebam ketika tangan kanannya bersentuhan dengan tangan pria itu.  

''Singkirkan senyummu itu, aku tidak menyukainya. Kali ini, kita hanya bersandiwara.''

Tegas Erlan memekakan telinga Clara. 

Hah? Sandiwara apa ini! Bahkan senyum manisnya pun bisa dikatakan bagian dari sandiwaranya. 

Bibir merekah Clara seketika langsung menciut, baru saja ia menarik garis bibirnya, namun harus dipaksa mundur dengan ungkapan Erlan. Kemudian Erlan dan Clara berjalan beriringan menuju meja makan yang berisi berbagai macam variasi makanan. Namun bukan itu yang membuat Clara menjadi gagal fokus, melainkan tentang keberadaan beberapa orang yang sedari tadi terus menatapnya. Seakan-akan sudah lama menunggu kedatangannya. 

Erlan menarik sebuah kursi, lalu menyuruh Clara untuk duduk berdampingan dengannya. Tidak ketinggalan juga menggeser beberapa peralatan makan yang akan mereka kenakan. 

''Ternyata kau sangat cantik ya, Nona.''

Ucap Carlis bernada memuji, sambil memalsukan senyumnya. Di hadapan keluarga besarnya ia harus menutup rapat kebencian pada gadis itu. 

Kedua mata indah Clara terpancar begitu jelas. Ditambah dengan sentuhan warna merah muda di kedua pipinya, membuat wajah Clara terlihat begitu mempesona. Bulu mata yang lentik sempurna, sangat meneduhkan bagi siapa yang hendak memandang. 

''Lagipula wanita mana yang tidak menyukai pria kaya raya seperti Erlan? Mereka pasti merasa beruntung jika berhasil menikah dengan pria tampan, dan kaya raya sepertinya.'' 

Ira memercingkan bibirnya, wanita itu tersenyum dengan bibir rapat. Menaik-turunkan alis, sembari terus melihat penampilan Clara dari ujung sampai ujung.

Ira adalah kakak Carlis, sekaligus bibi bagi Erlan. Dua bersaudara itu tentu memiliki karakter yang berbeda, tak hanya itu, keduanya seringkali berselisih paham dalam hal apa pun. Di masa lalu, ia pernah menolak keras ketika Erlan dulunya mau menikah dengan istri pertamanya. Hal ini dikarenakan istri pertama Erlan yang sangat terlihat polos, namun kenyataannya dia adalah seorang gadis binar. Suka keluar masuk club malam, dan sering menjadi wanita bergilir para lelaki hidung belang.  

Namun tak ada satu pun dari keluarganya yang mempercayai ucapannya, termasuk Carlis dan Erlan. Bahkan mereka sampai putus hubungan karena dianggap selalu menuduh istri Erlan berselingkuh dengan pria lain. Hingga pada akhirnya wanita itu dikabarkan meninggal dunia, dan sejak saat itu hubungan mereka kembali membaik. 

Jika tidak karena keselamatan ibunya, Clara jelas tak akan mau menikah dengan pria di hadapannya itu. Laki-laki yang tak hanya menyandang gelar kasar, tetapi juga sangat tak berperasaan. 

Clara berusaha menarik nafas dalam, ia tidak ingin memikirkan ucapan wanita itu. Meskipun pada kenyataannya Clara tidak terima jika dianggap wanita matre, yang hanya menginginkan kekayaan Erlan saja. Jika bisa, ia lebih bersedia menukar nyawanya demi ibunya, daripada harus menikah dengan laki-laki seperti Erlan. 

''Tapi sepertinya saya yang lebih beruntung karena mendapatkan wanita secantik dia.''

Puji Erlan sembari melempar senyum manis di sudut bibirnya. 

Clara hanya terdiam, tentu ia mengerti bahwa pujian itu hanya sebuah sandiwara. Jika tidak, pasti ia akan sangat beruntung karena memiliki calon suami yang berani membelanya di hadapan keluarga besarnya. 

Gadis itu kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Erlan, kemudian memberi sentuhan hangat layak pasangan pada umumnya. 

''Ah, terimakasih banyak atas pujianmu. Kita sama-sama beruntung karena sudah mendapatkan satu sama lain,'' tutur Clara, lalu tersenyum ke arah Erlan. 

Sebuah hubungan timbal balik yang cukup baik, bukan? Aku juga tidak ingin kalah dengan sandiwaranya. Ia pikir dirinya bisa mempermainkan hatiku begitu saja? Tentu aku akan ikut berperan dengan sandiwara yang sudah ia ciptakan. 

Erlan menaikkan dagunya, lalu memasang wajah peringatan pada gadis di sampingnya.

'Sialan. Gadis kurang ajar! Berani-beraninya ia menyentuh tanganku. Lihat saja, sebentar lagi kau akan segera menanggung akibatnya.'