Lengan kekar berwarna putih bersih masih menyilang di atas perut seorang wanita. Kedua insan tersebut masih terlelap setelah saling mengeluarkan keringat bersama.
"Tidak. Siapa kamu?"
Clara menjerit histeris, ketika melihat seorang laki-laki yang memeluknya erat.
"Astaga, kenapa aku bisa lupa?" pikir Clara dalam hati.
Kali ini gadis itu benar-benar lupa akan status barunya. Dan tentang kejadian semalam, mungkin juga tidak sepenuhnya mengingat.
Badan Clara terasa sangat pegal, ditambah dengan rasa nyeri di daerah sensitifnya masih begitu terasa. Perlahan Clara mulai menyingkirkan tangan di atas perut, lalu membuka perlahan selimut tebal berwarna putih.
"Tidak! Da … darah apa ini?" teriak Clara lagi.
Teriakan itu membuat Erlan terbangun dari tidurnya.
"Berisik! Kamu sudah gila atau memang sebelumnya tidak waras? Kenapa harus berteriak sekencang itu!"
Dengan mengucek kedua mata, Erlan terus memberi kalimat umpatan pada gadis di sebelahnya.
"Maaf, Tuan! Saya hanya terkejut karena melihat bekas darah di selimut ini," ucap Clara dengan terbata. Ia sangat gugup berbicara dengan suaminya.
"Kenapa? Ada yang salah? Beruntunglah masih ada darah, kalau tidak, mungkin sudah kutendang kau dari rumah ini!"
Clara terdiam, sambil memikirkan ucapan suaminya.
"Kenapa diam? Apa sebelumnya kamu sudah tidur dengan pria lain?"
"Tidak, Tuan. Saya bukan perempuan nakal seperti yang Tuan pikirkan. Sa … saya hanya berpikir apa semalam kita sudah melakukan itu?" tanya Clara dengan nada penasaran, lalu menundukkan dagunya.
"Ya!"
"Ingat, saya sama sekali tidak pernah menaruh hati kepadamu. Kejadian semalam, hanya karena saya ingin memberikan seorang cucu kepada Mommy. Jadi jangan pernah mengharapkan lebih!"
Erlan melempar tatapan tajam pada Clara. Hingga membuat tubuh Clara bergetar ketakutan.
Tatapan itu, persis sekali ketika pertama kali mereka bertemu. Bahkan rasanya kejadian bercinta semalam tidak ada artinya di mata Erlan saat ini.
"Kenapa harus aku? Jika hanya menginginkan seorang anak, kenapa tidak dari perempuan lain?" tanya Clara tegas. Ia ingin tahu alasan sebenarnya kenapa Erlan melakukan semua itu.
Raut wajah Erlan seketika berubah, tidak, kali ini dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya. Rencana balas dendam yang sudah lama ia susun, harus berjalan sesuai rencana.
''Beraninya kamu membantah perkataanku!"
Erlan meraih dagu Clara dengan paksa, lalu mencengkeram dengan erat menggunakan kelima jarinya.
Sedangkan Clara, dengan posisi wajah mendongak ke atas, ia berusaha mempertahankan posisinya. Kekuatan tangan pria itu membuat mulut Clara sama sekali tidak bisa bergerak.
"Hanya karena kita sudah menikah, bukan berarti kamu bebas berkata semaumu. Pernikahan hanya sebatas merubah status, tapi bagiku, kamu tidak lebih berharga dari sebuah sampah yang terbuang!"
Erlan melepas cengkeramannya, seperti sedang membuang jauh wajah yang saat ini berada di hadapannya.
Sedangkan Clara, gadis itu masih menatap bola mata menyeramkan yang berhasil membuatnya ketakutan. Kedua matanya membendung perasaan mendalam, timbul penyesalan di hatinya, andai saja dia tidak lepas kendali mengeluarkan pertanyaan yang ada di pikirannya saat itu, mungkin singa di hadapannya ini tidak akan mengeluarkan tanduknya.
"Bagus. Kamu diam, itu berarti sudah mengerti dengan apa yang saya katakan."
Dengan wajah yang masih berbau tempat tidur, laki-laki itu langsung meninggalkan Clara yang masih termangu sambil menatap kepergiannya.
Perlahan buliran bening menetes dari kedua bola mata Clara, begitu hinanya dia di hadapan suaminya sendiri. Bahkan Clara sudah memberikan kesuciannya buat pria itu, namun yang ia dapat hanya sebuah cacian.
Clara pikir dengan membuktikan bahwa ia masih suci di malam itu, akan membuat hati suaminya luluh dan beranggapan kalau Clara memang gadis yang baik. Namun ternyata nihil, kehormatannya benar-benar tidak ada harganya sama sekali untuk pria itu.
Tok… Tok…
"Nona, nyonya besar sudah menunggu di meja makan untuk sarapan."
Suara Viola terdengar begitu nyaring di depan pintu, mungkin ini salah satu kebiasaan para pelayan untuk menyaringkan suaranya saat memanggil majikannya untuk keluar dari dalam kamar.
"Baiklah, lima menit lagi saya akan menyusul ke bawah."
Seketika suara gadis itu lenyap, seakan sudah mengerti maksud majikannya.
Clara segera bangkit dari atas tempat tidur dengan balutan selimut tebal di tubuhnya, lalu berdiri sambil melihat dirinya sendiri di depan kaca.
Dengan wajah kumal, rasanya tidak mungkin dia langsung turun ke bawah. Terlebih lagi sepertinya nyonya Carlis adalah seorang wanita yang mengepentingkan penampilan.
Clara dengan cepat melesatkan kakinya ke kamar mandi, meski selangkangannya masih terasa perih, ia memaksa dirinya sendiri untuk bersentuhan langsung dengan air.
Lebih dari lima menit, Clara segera bergegas untuk turun ke bawah. Dan memang benar, di sana sudah ada nyonya Carlis dan Erlan yang sedang makan.
"Kamu mau apa?" tanya Carlis menghentikan Clara saat ingin mengambil daging sapi ke dalam piringnya.
"Mau ngambil lauk, Ma," jawab Clara pelan. Sekaligus masih terkejut dengan pertanyaan Carlis.
"Kamu tidak lihat makanan di sebelah kananmu? Itu makananmu," ucap Carlis sambil menunjuk sepiring nasi dengan sepotong tahu dan tempe.
Clara melongo.
"Ma, masa' Clara cuma makan ini aja." Sambil melihat deretan lauk di atas meja, gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa memang? Kalau kamu tidak mau, tidak usah makan," ketus Carlis.
"Ba-baik Ma."
Tanpa bertanya lagi, Clara segera meraih makanan tersebut. Lalu memakannya dengan lahap. Meskipun matanya tidak bisa diam melirik ke arah lauk-pauk lainnya, ia hanya bisa menelan ludah membayangkan betapa lezatnya semur daging yang ada di depannya.
Sedangkan Erlan, ia tersenyum puas.
"Ma, apa boleh Clara minta semur daging itu, sedikit saja," mohon Clara. Dia tidak tahan dengan bau makanan kesukaannya itu, seakan terus menggodanya.
"Boleh." Jawaban yang terdengar indah di telinga Clara.
Carlis segera mengambil sesendok kuah, lalu dituangkannya ke atas nasi Clara.
"Sepertinya ini terlalu sedikit Ma. Dan dagingnya—"
Carlis menghentakkan sendok makannya ke piring.
"Dengar, selama kamu menjadi menantu di rumah ini, kamu harus mematuhi peraturan yang saya katakan. Hidup di rumah mewah, menikah dengan seorang pria terpandang, itu sudah cukup membuatmu bangga, kan? Jangan berpikir kalau kamu bisa mendapatkan kenikmatan di rumah ini!"
"Satu lagi, kamu boleh makan bareng kami. Tapi yang boleh kamu makan hanya sepiring nasi yang sudah saya siapkan khusus untukmu."
Bahkan makanan pelayan lebih baik daripada makanan Clara saat ini. Ucapan itu menjadi kata-kata yang menukik tajam di hati Clara.
''Baik, Ma," jawab Clara sambil menyendok makanan di hadapannya. Membuang jauh-jauh keinginannya untuk menikmati semur daging.
Clara tersibak bisu, ia kira Carlis adalah orang yang baik. Karena awal pertemuan mereka, dia adalah wanita ramah dan menyuruh putranya untuk segera menikahinya. Namun sekarang, justru tidak ada bedanya antara suami dan ibu mertuanya.