"Mama…." teriak Clara dalam hati.
Baru saja dia sampai di dasar lantai, gadis itu melihat seorang perempuan yang sangat dikenal. Seketika aura bahagia terpancar di wajahnya.
Dengan wajah sumringah, Erlan menggandeng tangan Clara. Sebisa mungkin dia harus bisa memperlihatkan pada dunia bahwa dirinya sangat mencintai wanita itu. Tentu ini sebagian dari rencana busuknya.
"Tuan di sini ada mamaku, saya mohon bersikaplah dengan ramah. Tidak masalah jika kau tidak menyukaiku, maka kali ini saja katakan bahwa Anda sangat mencintaiku di depan mamaku."
Ucap Clara berbisik di telinga Erlan. Mendengar ucapan itu, Erlan hanya merespon dengan lirikan.
Sebentar lagi Clara akan resmi menjadi Nyonya Erlan. Hanya menunggu beberapa menit lagi, gerbang kehancuran akan menyambutnya.
"Sahh… sahh…"
Teriak para tamu yang menghadiri resepsi pernikahan itu.
"Mama …."
Tatapan hangat disambut oleh Davina, ibunya.
"Nak mengapa kamu tidak bilang sama mama kalau selama ini kamu memiliki pacar seperti Tuan Erlan?" tanya Davina kepada putrinya dengan raut wajah bahagia.
Clara terdiam. Dia merasa heran mengapa Davina bisa memiliki pertanyaan semacam itu.
"Maksud Mama?"
"Suamimu bilang bahwa kalian sudah berpacaran selama tiga tahun, benar kan? Padahal setahu mama kamu pernah bilang tidak ingin menikah dengan pria yang terlalu dewasa," tutur Davina ingin memastikan.
"Maaf, Ma. Waktu itu Clara belum-"
"Ah sudahlah. Tidak masalah kok, suamimu itu juga terlihat begitu mencintaimu. Wajahnya sangat tampan, hatinya begitu baik, kamu harus pandai menjaganya."
Pengakuan yang mengejutkan! Ada apa ini? Kenapa mama bersikap seolah-olah sudah mengenal Erlan?
Clara menggigit bibir bawahnya, seolah tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Ma bagaimana bisa Mama berada di sini? Bukankah Mama seharusnya masih di rumah sakit?" tanya Clara dengan heran. Baru kemarin ia melihat mamanya terkulai tidak berdaya, namun sekarang justru mamanya sudah berdiri sehat di hadapannya.
"Apa suamimu tidak memberitahumu? Astaga, dia rupanya ingin memberi kejutan untukmu, Sayang."
"Operasi mama kemarin sore berjalan dengan lancar, hingga pada akhirnya mama langsung tersadar. Ketika mama sadarkan diri, ada seorang pria bertubuh tinggi yang menemani mama, ia adalah orang suruhan Erlan. Dan memberitahu mama untuk datang ke acara pernikahan putri mama dengan majikannya," tutur Daniah dengan pelan. Dari raut wajahnya seolah memperlihatkan bahwa dirinya masih belum sepenuhnya sehat.
"Lalu, apalagi yang dia katakan?"
Clara semakin tertarik dengan kejadian di malam itu.
"Dia bilang selama ini kalian berdua sudah berpacaran selama 3 tahun. Dan selama mama koma, Tuan Erlanlah yang selalu menjagamu."
Perasaan lega terlukis di wajah Clara. Pasalnya ia tidak ingin mamanya tahu kenyataan yang sebenarnya.
Jika Daniah tahu Clara menikah dengan Tuan Erlan karena keterpaksaan, pasti ia tidak akan bernapas dengan tenang.
Clara mendaratkan senyum tipis di bibirnya, mendekatkan tubuhnya ke arah Daniah, melingkar kedua tangannya dalam dekap hangat kedua lengan Daniah.
"Menantuku," ucap Daniah ketika melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berdiri di hadapannya.
Mendengar ucapan mamanya, Clara segera melepas pelukannya. Tidak! Kali ini ia harus memastikan Erlan tidak berbicara kasar terhadap mamanya.
Laki-laki itu terus mendekat ke arah Clara. Hingga beberapa detik jarak keduanya hanya dua jengkal saja.
Erlan menundukkan kepala, kemudian mengait tangan kanan Daniah, lalu menciumnya dengan hormat. Seketika perasaan lega terselip di mata Clara.
"Ijinkan saya untuk membawa putri Anda yang cantik ini, Nyonya," tutur Erlan seraya menggandeng tangan Clara. Kali ini ia menyentuhnya dengan sangat lembut, tidak ada unsur kekerasan di sana.
Sedangkan Clara masih tidak berani menatap matanya.
"Tentu saja, kau sangat baik. Tidak ada alasan bagi saya untuk melarangmu."
Daniah terlihat mempercayai ucapan Erlan. Kata-katanya begitu manis dan tertata, mana mungkin wanita itu merasa curiga.
"Terima kasih, Nyonya," ucap Erlan sambil menundukkan kepalanya.
"Tunggu. Kau bisa memanggilku mama, Nak. Dan di mana orang tua kamu sekarang? Kenapa aku tidak melihatnya?"
Tanya Daniah. Sedikit merasa curiga karena tidak melihat keberadaan orang tua menantunya. Ia tahu pernikahan ini terkesan tiba-tiba, mungkin karena beberapa hari ini ia sedang koma di rumah sakit. Namun seharusnya orang tua menantunya berada di sini untuk melihat acara penting anaknya.
"Papa sudah meninggal dunia. Sedangkan Mama, ia masih ada urusan pekerjaan di luar negeri," jawab Erlan dengan santai.
Mendengar jawaban suaminya, Clara pun terkejut. Sekaligus baru menyadari bahwa Carlis dari tadi tidak ada di tempat ini. Apa dia sedang berbohong? Entahlah. Terlalu rumit untuk dipikirkan.
"Ouh, baiklah," jawab Daniah mengangguk pelan.
"Apa kita sudah boleh pergi, Mama?"
Daniah mengangguk.
Memanggil dengan sebutan mama? Sungguh tidak pernah terbayang di benak Erlan. Tidak sudi rasanya, benar-benar membuat hatinya merasa jijik.
"Tunggu! Ijinkan saya untuk memeluk mama terlebih dahulu," bisik Clara.
"Ngelunjak! Kamu kira saya akan berbelas kasih lagi terhadapmu?"
"S-saya mohon, Tuan. Setelah ini saya sudah tidak akan lagi bertemu dengannya," mohon Clara dengan mata berkaca-kaca.
Untuk sepersekian detik kedua iris saling bertemu. Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Clara langsung melepas genggaman tangan Erlan dan segera memeluk mamanya.
Butiran bening jatuh tanpa diperintah. Kedua tulang rusuk itu saling berkaitan erat satu sama lain. Bisa jadi ini pelukan terakhir di antara keduanya.
"Sudah jangan menangis. Mama tahu kok kamu terlalu bahagia sampai menangis seperti ini. Maafkan mama ya, Nak. selama kamu hidup bersama mama, kamu tidak pernah merasakan sebahagia ini."
Daniah mengusap air mata di pipi putrinya. Sedangkan Clara, ia tidak berdaya. Membiarkan mamanya mengira bahwa itu adalah air mata bahagia, sama sekali pilihan yang tepat saat ini.
Ingin rasanya ia teriak sambil berkata : Tidak Ma. Clara tidak bahagia, laki-laki di hadapan mama ini sungguh memperlakukanku dengan kasar.
Erlan terus memperhatikan kedua wanita itu dari jarak jauh. Kali ini ia masih berbesar hati menuruti keinginan Clara. Pria itu sangat tahu bagaimana perasaan Clara karena sebentar lagi ia akan berpisah dengan ibunya. Sama dengan ketika Erlan harus berpisah dengan istrinya seeuntuk selama-lamanya.
Tidak, aku tidak boleh lemah! Ujar Erlan pada dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga ia harus fokus terhadap tujuan awal. Membuat putri dari seorang pembunuh menderita. Rencana yang sangat tepat.
"Mama sebentar lagi tidur sendiri, menyiapkan makan sendiri, makan juga sendiri, semuanya dilakukan sendiri tanpa Clara. Maafkan anak mama yang nakal ini ya, Ma."
Semenjak suaminya meninggal, Daniah terbiasa hidup berdua dengan putrinya. Namun mulai saat ini ia harus menikmati masa tuanya sendiri.
"Sudah jangan bersedih, berjanjilah pada mama. Kamu akan selalu baik-baik saja," ucap Daniah sambil mengelus ujung kepala Clara. Ingin rasanya ia ikut menangis, tetapi tidak mungkin.
Clara mengangguk.
"Pergilah, suamimu sedang menunggumu di sana," suruh Daniah lalu menunjuk ke arah Erlan.
Lagi-lagi Clara mengangguk. Sesakit ini rasanya, berpura-pura bahagia padahal hati sedang berduka. Tidak apa-apa, demi Mama!