Sebuah gaun indah terpasang sempurna di badan Clara. Perpaduan warna manik gold dengan sutra putih membentuk kesatuan utuh.
Setengah jam lagi acara pernikahan segera dimulai. Namun hati Clara masih tidak tenang. Di hari yang penuh makna, seharusnya ia ditemani sang ibu. Jangankan meminta ditemani, bahkan keadaan ibunya pun ia tidak tahu.
Yang bisa Clara lakukan hanya percaya. Percaya kepada seorang laki-laki seperti Erlan, bahwa dirinya pasti menepati janji untuk mengoperasi ibunya setelah pernikahan ini.
"Nona di luar terdapat banyak orang, kau pasti akan menjadi pusat perhatian mereka.''
Ucap Viola sambil memasangkan soflen hitam terang ke kelopak mata Clara, untuk mempertegas aura matanya.
Wanita itu tidak langsung menjawab.
"Geli," desis Clara sembari menepis tangan Vio.
"Tahan sebentar Nona, matamu akan terlihat lebih indah setelah ini."
Viola melanjutkan niatnya, sedangkan otot wajah Clara menegang. Kedua matanya melotot tegas, hingga beberapa detik kemudian soflen tersebut berhasil menempel pada daging kenyal berwarna cokelat.
"Bagaimana?"
"Sedikit perih."
"Lama-lama Nona akan terbiasa memakainya. Coba lihatlah di kaca."' Viola menyodorkan sebuah kaca oval kepada Clara. Lalu Clara meraih kaca tersebut, dan melihat lekat-lekat seluruh bagian wajahnya.
Gadis bermata embun itu terlihat begitu cantik. Sepasang mata indah yang terhiasi dengan olesan eyeshadow di bagian atas matanya, ditambah sentuhan soflen hitam, membuat wajah wanita itu terlihat sangat cantik tidak membosankan.
Meskipun pada dasarnya wajah Clara memang sangat cantik, tapi kemampuan Viola dalam merias tidak bisa diabaikan begitu saja. Dari usia 14 tahun ia sudah terbiasa bermain dengan alat tempur make up, tidak heran jika sebelum menjadi seorang pelayan, ia seringkali mendapat job merias di beberapa acara pernikahan.
Yang pasti ada alasan tersendiri kenapa Viola saat ini justru menjadi pelayan keluarga Erlan. Apa mungkin dia sudah terjebak oleh keadaan? Bisa juga dirinya sudah terlalu nyaman dengan profesinya saat ini.
Viola tertegun, hingga beberapa detik ia kembali melihat sorot mata Clara yang fokus entah kemana.
Andai saja ia mengatakan hal yang sebenarnya kepada keluarga Wesly, pasti mereka tidak akan memiliki niat membuat hidup Clara menderita. Viola jelas tahu dan mengerti apa yang dirasakan Clara saat ini. Namun ia juga tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
"Nona jika nanti kau merasa sendirian, panggillah aku kapan pun kau butuh."
Ucap Viola dengan tersenyum manis.
Jika ia tidak bisa membantu Clara terbebas dari masalah ini, setidaknya mereka bisa berteman baik walaupun status mereka jelas berbeda.
"Terimakasih banyak. Kedepannya aku pasti sangat membutuhkanmu."
Jawab Clara.
Ia sangat yakin, meskipun setelah ini ia akan menjadi istri Erlan, namun laki-laki kasar itu tidak akan membiarkan dirinya mendapat kehormatan sebagai Nyonya di kediamannya.
Di tengah lamunannya, terdengar suara ketukan sepatu yang berjalan lambat menuju ruang kamar. Suara yang awalnya begitu samar, kini bisa terdengar sangat jelas.
Suara tersebut berhenti tepat di depan pintu, bersamaan dengan engsel pintu yang bergerak seperti ada seseorang yang ingin menerobos masuk.
"Reva .…"
Spontan Clara memanggil nama sahabatnya ketika ia tahu siapa di balik orang yang menerobos masuk ke dalam kamarnya.
Dengan langkah cepat Reva segera berlari ke arah Clara. Lalu melingkup kedua tangannya ke punggung Clara. Uraian air mata bercucuran bersamaan diantara kedua pasang mata tersebut. Sampai-sampai mereka berdua menghiaraukan Viola yang sedikit terkejut dengan kedatangan Reva sebagai orang asing.
Melihat keintiman mereka, Viola tidak berkata apapun. Seolah-olah memahami bahwa keduanya memang sudah dekat satu sama lain. Lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua sembari berjaga di luar kamar, ia takut ada kerabat majikannya yang melihat pemandangan tidak mengenakan ini.
"Kenapa kamu ada di sini? Dan bagaimana kamu bisa masuk?"
Clara melepas pelukannya, lalu memegang kedua lengan Reva dengan perasaan cemas.
Tidak tahu kenapa sahabatnya itu bisa masuk ke dalam kamar miliknya. Jangankan ke kamar, untuk bisa masuk sebagai seorang tamu saja harus membawa surat undangan terlebih dahulu.
"Lo lupa kalau kakak gue adalah anak magang di rumah sakit milik Erlan? Jadi kebetulan dia diundang, dan gue berhasil ngeyakinin kakak gue agar mau merelakan undangannya untuk gue."
Tidak tahu butuh waktu berapa lama bagi Reva untuk berdebat dengan kakaknya sendiri. Selamat ini Reva dan kakaknya jarang sekali mau akur, entah rayuan seperti apa yang Reva utarakan untuk kakaknya itu.
"Berapa jumlah ikan cupang yang harus kamu bayarkan untuk kakakmu itu?" tanya Clara sambil tertawa kecil.
"Gratis. Rupanya dia masih punya sedikit rasa kebaikan untuk adiknya sendiri," jawab Reva, berhasil membuat telinga Clara merasa geli.
Kali ini ia tidak harus membayar dengan ikan cupang demi mendapat kebaikan kakaknya. Kenapa harus ikan cupang? Jawabannya karena kakak Reva sangat gemar mengoleksi beraneka ragam ikan cupang. Bahkan ia sampai rela memasang aquarium pribadi di dalam kamar yang terdiri dari beraneka variasi ikan cupang.
Reva menghentikan tawa kecilnya. Kemudian kembali fokus kepada seorang wanita yang berada di hadapannya.
"Ra gue di sini ada buat lo. Jadi lo nggak boleh ngerasa sendirian, kalau makhluk astral itu berani mempermalukan lo nanti, gue pasti langsung hajar muka cakepnya itu."
Ucap Reva dengan mengepalkan tangan kanannya.
Clara menarik senyum di sudut bibir. Ia sangat terharu dengan kesetiaan sahabatnya.
"Terimakasih banyak Rev, tapi makhluk astral yang kamu maksud nanti akan jadi suamiku. Itu berarti kamu punya sahabat, istri dari makhluk astral dong, bukankah kedengarannya begitu aneh?" ujar Clara sambil terkekeh.
Lalu mendaratkan cubitan kecil pada pipi Reva.
"Ish, sakit tau."
"Lebih sakit lagi kalau kamu sampai bertindak gegabah, tapi makasih banyak atas semua dukungan yang sudah kamu kasih. Berjanjilah apa pun yang terjadi, kita akan tetap bersama."
Clara menjulurkan jari kelingkingnya. Beberapa detik kemudian Reva membalas dengan menautkan jari kelingkingnya juga.
"He'em, berjanji." Seulas senyum berhasil mendarat di bibir mereka masing-masing. Hingga pada akhirnya Viola datang memotong senyuman mereka.
"Maaf Nona, sebentar lagi Nona harus segera turun ke bawah," tegur Viola dengan pelan. Ia sebenarnya tidak enak merusak percakapan mereka berdua, namun jika tidak diingatkan, tidak menuntut kemungkinan keluarga Wesly merasa curiga karena harus menunggu lama kedatangan mempelai wanita.
"Hem, baiklah." Clara mengangguk setuju. Sedangkan Reva segera bergegas untuk menunggu sahabatnya di lantai bawah, layak sebuah tamu undangan biasa.
Dengan dibantu Viola dan pelayan lainnya, Clara berjalan menyusuri tangga dengan gaun putih yang mempunyai desain Ball Gown. Sebuah desain gaun yang sangat cocok melekat di tubuh Clara. Terlihat elegan dan begitu mewah.
Degup jantung Clara berjalan begitu cepat, seluruh badannya terasa menjadi lalu-lalang derasnya aliran darah. Untuk kesekian kalinya ia membuang wajah, menghindari kontak mata dengan orang-orang yang sejak tadi sudah menunggunya.