Setidaknya ada beberapa hal yang membuat Clara terlihat senang hari ini. Mengingat kejadian semalam, tatapan mata yang begitu tajam untuk dirinya. Namun ada satu hal yang aneh. Kedua mata yang menatapnya dengan lekat, entah kenapa terus tergambar di dalam benaknya.
Hal ini tentu berbeda dengan tatapan yang ia lihat beberapa minggu yang lalu. Yang semula menjadi hal yang begitu menakutkan, kini berubah menjadi hal yang sangat dirindukan. Setiap kali mengingat kedua kelopak mata beriris kecoklatan itu, hatinya berdegup dengan kencang.
"Apa aku mulai menyukainya?" batin Clara dalam hati.
Tidak tahu sejak kapan ia menyukai tatapan singa yang sangat buas, yang jelas, sejak malam itu, Clara benar-benar menikmati kebersamaan yang ia alami setiap malamnya.
"Tidak boleh, jangan sampai aku benar-benar menyukainya. Laki-laki itu tidak layak mendapat cintaku."
Sebisa mungkin Clara menepis akar yang baru saja tumbuh di dalam hatinya. Ia sangat yakin, hati suaminya itu telah berubah menjadi jantung kristal es yang telah membeku. Tidak akan pernah cair, seperti pegunungan es di Kanada yang tidak akan melebur sampai kapan pun.
Lagi pula, Erlan juga tidak akan pernah membuka pintu sedikit pun di dalam hatinya. Jangankan untuk membuka, sedikit cela jalan masuk juga tidak akan ditemui di sana.
Sambil terus menelan ludah, gadis itu merasa kalau dirinya sedang tidak baik-baik saja. Kedua matanya terlihat begitu sayu, bibir meronanya juga terlihat lebih pucat dari biasanya. Tangan kanannya berusaha memijat kecil area yang dirasa sakit di kepalanya. Timbul perasaan ingin segera melepas kesadaran, namun raganya masih berusaha bertahan.
"Nona, kamu kenapa?"
Viola mengetuk pintu kamar Clara beberapa kali, hingga di ketukan yang ketiga, ia tidak mendapat respon apa pun. Karena takut terjadi apa-apa dengan Clara, akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu dengan pelan. Namun justru ia menjumpai Clara yang tengah duduk lemah di depan meja riasnya, sambil menahan pusing di kepala.
"A-aku, sepertinya kecapean," ucap Clara lemah.
Pembiasan cahaya yang terbentuk di dalam kedua retina, seketika terlihat samar. Hingga pada akhirnya—
"Nona, nona, nonaa bangunlah. Nona kenapa, tolongg …." Teriakan Viola mengundang para pelayan lain berdatangan. Dan terkejut mendapati Viola berusaha menahan tubuh Clara agar tidak sampai jatuh di atas lantai. Dengan tubuhnya yang kecil itu, ia berusaha keras menyangga kepala Clara yang hanya berjarak beberapa jengkal dari lantai. Sedangkan rambut panjangnya, sudah berhasil menyentuh keramik berwarna putih cerah itu.
"Cepat bantu aku untuk membawanya ke rumah sakit," teriak Viola cemas. Melihat kondisi Clara yang terkapar lemah, membuatnya harus segera mengambil tindakan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada majikannya.
Kemudian gadis itu segera berlari ke lantai bawah dan menemui sopir untuk menyiapkan mobil.
Dalam hitungan detik, tubuh Clara sudah berhasil berada di dalam mobil. Dengan ditemani Viola, benda besi itu segera melaju menuju rumah sakit terdekat.
"Cepat hubungi Tuan Erlan jika kamu tidak ingin ada masalah," ucap sopir itu memperingati Viola. Bagaimanapun juga, Clara adalah istrinya, jika ada apa-apa dengannya, pasti mereka ikut terseret ke dalam masalah.
"Heem."
Jawab Viola sambil mengangguk.
…
"Apa katamu? Saya akan segera ke sana!" jawab Erlan sesaat setelah mendengarkan penjelasan dari Viola.
Namun tiba-tiba ia terhenti, memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan. Mendengar kabar Clara yang tiba-tiba pingsan tanpa sebab, membuatnya sedikit merasa iba. Namun jiwanya yang kaku itu segera menepis perasaan itu.
"Saya sedang sibuk, urus saja dia sendiri."
Telpon langsung terputus. Namun raut wajah Erlan tidak bisa dibohongi, kedua matanya terlihat cemas. Pikirannya sedang melambung tinggi, ada perasaan takut yang terbalut dengan dendam.
Kalau terjadi apa-apa dengan Clara, Erlan tidak akan bisa melanjutkan niatnya untuk membuat gadis itu menderita. Alibi yang ada di hatinya saat ini, membuat laki-laki itu memutuskan untuk segera melihat keadaan istrinya. Ya, meskipun kenyataannya hatinya sendiri juga ikut cemas dengan keadaan Clara.
"Saya ada kepentingan mendadak, urus saja semuanya, jika perlu apa-apa anda bisa mendiskusikan dengan sekretaris saya," ucap Erlan pada Reva.
"Adakah urusan yang lebih penting dari sebuah pekerjaan?" tanya Reva. Sedikit heran karena baru kali ini ia melihat Erlan begitu tergesa-gesa untuk segera pergi dan meninggalkan tanggung jawabnya. Tidak hanya itu, selama ini yang ia dengar, Erlan adalah seseorang yang sangat menomorsatukan pekerjaan. Tidak ada yang lebih penting dari sebuah pekerjaan.
"Istri saya sakit. Saya harus segera ke rumah sakit."
Reva terdiam tanpa kata. Sambil memastikan kembali apa yang ia dengar.
"Istri tuan sakit apa?"
Tanya Reva spontan.
"Bukan urusan Anda."
Erlan segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Kedua mata Reva mengiringi kepergian Erlan. Hingga ketika ia tidak melihat sepucuk ujung rambut di sepanjang penglihatan matanya, wanita itu langsung tersadar betapa bodohnya dia karena tidak sempat bertanya di rumah sakit mana Clara di rawat.
Di dalam mobil, laki-laki itu terus melihat ke arah jam tangan yang ia kenakan. Jika tujuannya hanya untuk memastikan ia baik-baik saja agar rencananya berjalan dengan sempurna, seharusnya ia tidak perlu terlalu khawatir.
"Tenanglah, Tuan. Nyonya Clara akan baik-baik saja," jelas Mang Ujang pada seseorang yang duduk di belakangnya.
"Dari tadi saya sudah tenang. Lanjutkan saja menyetir mobilnya," bantah Erlan. Ia tidak ingin terlihat cemas. Namun sorot matanya masih tidak bisa berpura-pura.
"Tidak Tuan, sepertinya anda terlihat sangat cemas. Seperti sedang mengkhawatirkan keadaan seseorang yang begitu dicintai," balas Mang Ujang dengan nada menggoda.
Ia adalah satu-satunya orang yang berani menggoda Erlan tanpa ada rasa segan.
"Diamlah. Mang Ujang tau apa soal cinta."
Cinta? Tidak Erlan! Kamu tidak boleh jatuh cinta pada gadis itu. Sedikit pun jangan.
Setelah berjalan sekitar setengah jam, mobil itu pun terhenti di depan bangunan megah yang berisi ratusan orang yang mengharapkan kesembuhan.
Melihat kedatangan Erlan, Viola sangat terkejut. Jelas-jelas pria itu menolak dengan tegas, namun kali ini, justru ia sudah berdiri di hadapannya dengan wajah cemas.
"Bagaimana kondisinya?"
"Belum tau, Tuan. Nona masih berada di dalam ruangan, dan dokter masih memeriksanya."
"Duduklah di sini, Tuan."
Viola berdiri dan mempersilahkan Erlan untuk duduk di sampingnya. Dirasa tidak sopan, ia memutuskan untuk berdiri bersandar di tembok.
"Duduklah, jangan sungkan."
"Tidak pantas rasanya kalau saya duduk di sebelah Tuan."
"Ini perintah, tidak untuk dilanggar"