Reva mengamati wajah seseorang yang ada di hadapannya saat ini. Ditambah dengan dirinya sendiri yang berusaha bersikap tenang agar Tuan Erlan tidak menaruh rasa curiga padanya.
Tanpa disadari kedua bola matanya justru tertuju pada wajah tampan laki-laki itu, sekilas terlihat menenangkan, alis tebal hitam pekat yang melekat di atas matanya, tak banyak pria yang memilikinya.
"Berhentilah menatap saya seperti itu, Tuan. Percayalah, saya tidak akan berani melakukan apa pun di ruanganmu ini," ucap Reva ketika melihat tatapan Erlan seperti menatap seorang pencuri.
Keadaan menjadi sangat serius, laki-laki itu terus mencari kejujuran di balik bola mata wanita di hadapannya.
"Baiklah. Selama saya tidak merasa dirugikan, kamu aman."
Pertemuan mereka berdua bukan tanpa sebab, melainkan karena hari ini ada jadwal rekrutmen untuk mencari karyawan baru. Kedua perusahaan yang akan bekerja sama harusnya sudah saling percaya satu sama lain.
"Ke mana Tuan Baratama? Kenapa dia mengirimmu ke sini?" tanya Erlan dengan nada serius.
Bagaimana bisa perusahaan Baratama terlalu mempercayai sekretarisnya untuk menghandle semua rencana kerja yang sudah direncanakan. Pertemuan kemarin, ia tidak datang, dan sekarang, lagi-lagi ia menyuruh sekretarisnya untuk datang dan menghandle program kerja yang akan kedua perusahaan lakukan. Bukankah itu suatu penghinaan? Menyamakan kemampuan seorang Tuan Erlan dengan sekretaris pemula seperti Reva? Begitulah pikiran Erlan saat ini.
"Beliau sudah berada di luar kota, Tuan."
"Lancang! Dia pikir sekretaris sepertimu bisa menggantikan posisinya bersamaku saat ini? Itu sama saja membuang waktuku."
Mendengar ucapan itu, hampir saja Reva tersedak dengan air mineral yang baru saja ia teguk. Laki-laki itu, tanpa sungkan merendahkan kemampuan Reva secara terang-terangan.
"Jadi Tuan meremehkan kemampuan saya? Begitu kah!" tebak Reva.
Erlan terdiam.
Tok… Tok…
"Masuk"
"Tuan, di luar ada sepuluh peserta yang lolos tahap penyisihan data. Ke sepuluh seperti inilah yang nantinya akan melewati tahap interview," ucap sekretaris pribadi Erlan.
Dibarengi dengan Reva yang sedari tadi juga menyimak apa yang dikatakan sekretaris itu.
"Siapa yang akan menginterview mereka?" tanya Reva pada Erlan.
"Kita," jawab Erlan dengan singkat.
Jawaban singkat yang berhasil membuat Reva terbius. Bagaimana bisa ia sendiri yang turun tangan langsung untuk proses rekrutmen.
Kerja sama dengan perusahaan Baratama berupa pembukaan beberapa supermarket yang tersebar di berbagai cabang kota. Setelah melewati survey pasar, maka ada beberapa daerah yang ditetapkan menjadi target pembangunan.
Namun kali ini, karena masih dalam tahap uji coba, maka supermarket pertama yang akan direalisasikan terlebih dahulu adalah tepat di daerah tengah kota. Ya, hanya sebatas pengenalan brand saja tentunya.
Erlan tidak ingin sampai salah memilih karyawan, untuk usaha barunya ini, ia harus turun tangan langsung untuk memilih karyawan yang cocok dengan ketentuan sebagai karyawan retail.
Tibalah Erlan dan Reva memasuki ruangan rekrutmen, satu persatu calon karyawan mulai mengenalkan dirinya masing-masing.
Ada beberapa yang masih baru lulus sekolah, ada juga yang sebelumnya telah memiliki pengalaman pekerjaan.
"Untuk pengalaman kerja sebelumnya? Ada?" tanya Erlan pada seorang laki-laki yang mengenakan baju putih bawahan hitam. Dari sekian banyaknya calon karyawan, hanya dia satu-satunya yang memakai tali pita di lehernya.
"Tentu ada, pengalaman saya di Belanjamart, Tuan,"
Belanjamart merupakan salah satu supermarket yang ada di kota ini.
Mendengar jawaban itu, sontak Erlan menaruh harapan lebih padanya. Karena dia adalah peserta terakhir, dan cuma dia yang memiliki pengalaman kerja di indomaret.
"Sebagai apa? Pramuniaga, kasir, atau mungkin kepala toko?" celetuk Reva menambahi. Sekaligus penasaran.
"Sebagai pengunjung, bahkan hampir setiap hari saya mengunjunginya." Sontak wajah Erlan memerah karena jawaban konyol itu.
"Kalau bercanda jangan di sini!"
"Tidak, saya tidak bercanda. Untuk persoalan seperti ini mana mungkin saya berani bercanda."
"Sudah-sudah. Tuan, setidaknya dia sudah jujur meskipun pengalaman kerjanya hanya sebagai pengunjung biasa," lerai Reva sambil menahan tawa karena melihat wajah Erlan yang terlihat kesal.
"Dan saya pastikan dia bukan salah satu dari karyawan yang terpilih."
"Malah saya tertarik dengan laki-laki itu."
"Anda sudah gila. Tidak waras! Bagaimana bisa orang seperti dia bisa bergabung dengan retail yang akan saya dirikan. Bahkan kapasitas otaknya juga belum tentu mampu untuk menjadi pramuniaga biasa," jawab Erlan dengan nada meremehkan. Sedangkan raut wajahnya masih diselimuti perasaan kesal.
"Loloskan saja dulu. Nanti baru kita tes lagi. Mencari orang jujur seperti dia tidaklah mudah. Jika hanya tidak bisa, masih bisa diajari. Tapi jika sudah tidak jujur, mau diapakan lagi?"
Erlan terdiam. Berdebat dengan seorang wanita sama saja berdebat dengan ibunya sendiri. Tidak akan ada ujung jika tidak mengalah.
"Baiklah. Namun jika dia gagal, jangan salahkan saya untuk tidak menerimanya."
"Sepakat."
Beberapa jam kemudian, tiba giliran tes tulis. Dari sepuluh orang, tersisa tujuh orang yang akan mengikuti tes selanjutnya. Hasil akhir, hanya ada lima orang yang akan diterima menjadi karyawan tetap supermarket yang akan segera diresmikan. Dari kelima orang inilah nantinya yang akan menentukan lanjut tidaknya pembangunan cabang supermarket itu.
"Sementara ini kita hanya butuh lima orang. Tidak perlu banyak, yang penting skill yang mereka punya mumpuni dan berkompeten tinggi. Anggap saja saat ini kita membutuhkan mereka untuk supermarket induk."
"Lalu, untuk cabang selanjutnya?"
"Gampang! Supermarket yang kita bangun ditujukan untuk menengah ke bawah. Jadi tidak ada alasan lagi orang kalangan bawah untuk tidak bisa belanja di tempat dingin ber AC. Jika supermarket induk ini namanya sudah dikenal baik oleh masyarakat, maka masyarakat juga akan memberi effort baik pada cabang-cabang yang akan berdiri."
"Lebih tepatnya mendirikan sebuah nama untuk dikenal, lalu dinanti kehadirannya."
Setengah tidak mengerti, tapi Reva terus menyimak seseorang yang berada di depannya. Namun sebenarnya, dia merasa kagum dengan cara berpikir Erlan yang luas dan tidak gegabah.
Strategi yang ia gunakan saat ini akan mengurangi resiko kerugian di masa yang akan datang.
"Lalu untuk nama?"
"Serahkan pada saya dan Tuan Baratama, Anda siapa mau ikut serta dalam pemberian nama supermarket ini? Terlihat lancang!"
Kedua alis Reva mengkerut, menyatu dan untuk per sekian detik kedua alis tersebut masih tertaut.
Sedangkan Erlan, ia terlihat puas karena sudah berkali-kali menjatuhkan nama Reva di hadapannya sendiri. Seorang gadis yang menurutnya terkesan lancang dan aneh.
"Baik," jawab Reva sambil terus menggerutu dalam hati. Ingin sekali menyumpal mulut laki-laki di hadapannya.