Chereads / Gejolak Dendam / Chapter 25 - Wildan Meminta Maaf

Chapter 25 - Wildan Meminta Maaf

"Kamu mau makan mie lagi?" Tanya Wildan.

"Iya, Om." Jawab Arzan.

"Sebentar ya."

Wildan pun memesankan makanan yang Arzan inginkan. Setelah pesanannya matang, Wildan mengantarkan pesanan itu.ke meja Arzan.

"Yeayyy aku bisa nambah!" Arzan kegirangan.

Vania masih merasa malu karena sikap Arzan, tapi namanya anak kecil, wajar saja kalau bersikap seperti itu. Vania dan teman-temannya melanjutkan obrolan mereka. Sebenarnya Vania sedikit merasa minder, karena penampilan teman-temannya jauh lebih cantik dan keren dari ia.

"Kamu tunggu sini dulu ya, Mama mau ke toilet dulu!" Ucap Vania pada Arzan. Vania pun melangkahkan kakinya ke toilet.

Vania bercermin, ia memandang dirinya sendiri yang tampil sederhana, tapi walaupun penampilannya sederhana ia tetap terlihat cantik.

Selesai dari toilet, alangkah terkejutnya Vania melihat Wildan yang sedang berdiri di depan toilet wanita. Vania langsung berlalu melewatinya.

"Van!" Panggil Wildan sambil mengejar Vania, lalu memegang lengannya. Vania pun menoleh ke arahnya.

"Apa sih?"

"Tunggu dulu!"

Vania akhirnya menghentikan langkahnya, lalu ia berdiri di hadapan teman yang dulu pernah membullynya itu.

"Apa?"

"Maaf ya, maafkan kesalahan-kesalahan aku yang dulu." Ucap Wildan sambil memandang Vania.

"Kesalahan yang mana sih?"

"Yang dulu."

"Iya, udah dimaafin."

"Alhamdulillah."

Vania sudah memaafkan tapi sulit baginya untuk melupakan, ia tidak akan mudah melupakan perbuatan Wildan di masa lalu.

"Minta nomor hp kamu dong! Boleh?" Tanya Wildan.

Vania mengernyitkan keningnya, sambil menatap laki-laki itu, "untuk apa?"

"Untuk komunikasi sama kamu."

"Jangan! Nanti suamiku marah."

Wildan memicingkan kedua matanya sambil memperhatikan Vania, "lho, kamu bukannya seorang janda? Tadi kan kamu cerita kalau suamimu sudah meninggal."

Ternyata Wildan mendengar ucapan Vania tadi. Vania pun berlalu dari hadapannya, tidak penting baginya memberikan nomor handphone pada orang seperti Wildan. Vania pun kembali berkumpul bersama teman-temannya yang lain.

Di waktu yang sama, Tristan masih dilanda kebingungan, hatinya bertanya-tanya. 'Pergi kemana Vania?'

Tristan mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja, lalu menuliskan pesan untuk Vania.

[Van, tadi aku lihat kamu pergi, kamu dan Arzan sedang berada dimana sih?]

Pesan dari Tristan itu belum dibaca oleh Vania, ia masih asyik ngobrol bersama teman-temannya. Tristan sangat menunggu-nunggu balasan pesan dari Vania, lalu ia beranjak ke rumah kedua orang tuanya.

"Sepi banget nih rumah, Vania dan Arzan kemana, Bu?" Tanya Tristan.

"Vania diajak oleh temannya pergi ke Mall, dia mau bertemu dengan teman-temannya yang lain juga."

"Oh pergi, tumben Vania mau diajak pergi."

"Biarin ajalah, dia mungkin bosan di rumah. Ingin sesekali melihat dunia luar." Jelas sang ibu.

"Iya sih, tapi aku takut aja temannya itu membawa dampak yang tidak baik, nanti Vania jadi terbawa pada suatu yang buruk."

"Ibu rasa sih Vania bisa memilah, mana yang baik dan mana yang tidak, dia kan bukan anak remaja lagi."

Namun Tristan tetap takut Vania menjadi wanita-wanita yang nakal di luar sana, karena Tristan sangat mencintai Vania, ia ingin Vania menjadi wanita baik-baik yang fokus mengurus rumah dan anak saja.

Vania sedang mendengarkan cerita teman-temannya tentang kesuksesan yang sudah mereka raih, ada yang menjadi pengusaha online shop, ada yang menjadi seorang karyawan di kantor swasta, ada yang menjadi seorang pegawai ASN, mereka semua mempunyai karirnya masing-masing, hanya Vania yang tidak punya cerita menarik, hanya ia yang seorang janda tapi belum mempunyai penghasilan. Seketika Vania merasa sedih ketika teringat dirinya yang belum mempunyai pencapaian apapun dalam hidupnya.

Mata Wildan tak henti-hentinya memandangi wajah Vania, ia merasa menyesal karena dulu telah membully wanita itu. Vania merasa kalau Wildan sedang memperhatikannya, ia merasa risih diperhatikan seperti itu.

Ketika Vania masih asyik mendengarkan obrolan teman-temannya, tiba-tiba Wildan datang menghampiri Arzan, lalu ia memberikan ice cream, dengan senang hati Arzan pun menerimanya

"Terima kasih, Om." Ucap Arzan, ia pun langsung memakan ice cream tersebut.

"Wildan, dulu kan lo sering banget bully Vania, lo udah minta maaf sama dia?" Tanya Ricky, salah satu teman mereka.

"Iya, dulu lo parah banget sih ngebully Vania sampai dia nangis terus." Tambah Hendri.

"Iya, gue udah minta maaf Kok, ya kan Van?" Tanya Wildan.

Vania hanya menganggukkan kepalanya. Sebenarnya ia malas jika ada teman yang membahas tentang masa lalunya itu. Vania ingin segera menghindar saja jika ada yang membahasnya.

"Udah baikan dong kalian?" Tanya Vika.

"Ssttt ... Udah ahh nggak usah bahas itu." Ucap Vania. Vika dan teman-teman yang lainnya pun mengerti apa yang Vania rasakan. Mereka tidak membahasnya lagi.

Tak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Vania dan teman-temannya pun keluar dari Delicious Resto, lalu menuju ke musholla.

"Arzan, kamu kan laki-laki, sini kamu sholat sama Om!" Ajak Wildan saat mereka sudah sampai di musholla.

"Aku mau sholat sama Om dulu ya, Ma!"

"Iya." Vania mengizinkannya.

Sekarang Wildan sudah berubah menjadi lebih baik, laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu memang ingin melupakan masa lalunya, ia merasa dirinya di masa lalu terlalu kejam, tidak hanya pada Vania saja, tapi ada teman dari kelas lain yang jadi korban bullynya juga.

Di waktu yang sama, Yurika yang sedang berada di rumahnya mencari keberadaan Tristan.

"Mama sih Ayahmu?" Tanya Yurika pada Keanu.

"Paling lagi di rumah nenek, Ma."

Yurika melangkahkan kakinya menuju ke rumah mertuanya, lalu ia melihat suaminya itu sedang berbincang dengan ibunya.

"Kamu disini! Aku cari-cari, kirain kemana!" Ucap Yurika.

"Aku nggak mungkin kemana-mana, kalau nggak ada di rumah ya aku ada disini."

"Oh iya Bu, Si Vania dan anaknya kemana?" Tanya Yurika, ia juga penasaran dengan iparnya yang tidak biasanya pergi dengan di jemput oleh seseorang menggunakan mobil.

"Ke Mall."

"Sama siapa?"

"Tadi dijemput sama temannya."

"Oh, yang pakai mobil itu tadi temannya?" Yurika bertanya lagi, ia tidak percaya Vania mempunyai teman yang bermobil.

"Iya."

"Ternyata dia punya teman juga. Aku pikir, dia nggak punya teman!" Ucap Yurika.

"Punya dong! Memangnya kamu aja yang punya." Sahut Tristan.

Tiba-tiba Yurika kembali teringat tentang perhiasannya yang hilang itu.

"Jangan-jangan, Vania pergi bersenang-senang dengan teman-temannya karena dia habis menjual perhiasan aku!" Ucap Yurika yang kembali menuduh Vania.

"Sssttt ... Kamu sembarangan banget sih kalau ngomong!" Ujar Tristan.

"Tapi kan memang masuk akal, Pa. Iya kan, Bu?"

Ibu Rani hanya mengangkat kedua bahunya, ia tidak mau berpendapat apa-apa karena takut salah bicara. Ia pun tidak tahu apa-apa tentang perhiasan milik menantunya yang hilang itu.

"Sudahlah, kamu jangan menuduh Vania terus! Kasihan dia!" Tristan terus membela Vania.

"Ah kamu selalu aja kasihan sama wanita seperti itu! Tiap aku bicara, pasti kamu selalu membela dia. Kenapa sih Pa? Kamu suka sama Vania?" Yurika mulai marah dan berbicara dengan intonasi yang meninggi.