Setelah perdebatan hebat di dalam kepalanya, akhirnya Vania memutuskan untuk menerima tawaran Wildan bekerja di rumahnya. Walaupun dalam hatinya berat untuk menerimanya, tapi ia sangat membutuhkan uang. Vania pun menganggukkan kepalanya.
"Jadi kamu mau?" Wildan bertanya lagi pada wanita yang duduk di hadapannya itu.
"Iya."
"Mau nginap disini atau pulang–pergi?" Lanjut Wildan.
"Pulang–pergi, karena ada anakku di rumah yang masih harus aku urus."
"Oh iya, nanti Arzan di rumah sama siapa?"
"Ada Kakek dan Neneknya, tapi kalau malam, aku masih harus menemaninya tidur."
Wildan tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena ia melihat niat tulus Vania ingin bekerja karena untuk memenuhi kebutuhannya bersama sang buah hati. Jadi Wildan yakin, Vania akan amanah dengan tanggungjawabnya.
Vania tidak mungkin menginap, ia tak tega meninggalkan Arzan di rumah, walaupun ada Kakek dan Neneknya yang menjaga, Vania tetap ingin dekat dengan putra semata wayangnya tersebut.
"Oke. Kamu mau mulai bekerja kapan?"
"Besok."
"Ya sudah, besok kamu bisa kembali lagi kesini."
Vania menganggukkan kepalanya. Ia pun berdiri dari tempat duduknya.
"Saya pulang dulu ya Ibu, Wildan." Pamit Vania, lalu ia bersalaman pada Ibu Rahmawati.
"Tunggu! Biar aku yang antar kamu pulang." Ucap Wildan.
"Nggak usah!"
"Nggak apa-apa. Karena saya juga mau tau rumah kamu."
Ibu Rahmawati mengizinkan putranya tersebut untuk mengantarkan Vania pulang. Vania pun tidak bisa menolaknya, lalu ia naik ke dalam mobil pengusaha muda yang sukses itu.
Di dalam mobil, Vania hanya terdiam, ia tak tahu apa yang ingin dibicarakan pada Wildan, karena sampai saat ini rasa benci terhadap Wildan masih bersemayam di dalam hatinya.
"Kamu masih tinggal sama orang tua kamu?" Tanya Wildan.
Vania menggelengkan kepalanya, "bukan sama orang tua, tapi sama mertua saya."
"Oh, memang orang tua kamu ..."
Vania langsung memotong ucapan Wildan. "Orang tua saya sudah tidak ada, mereka sudah meninggal."
Wildan baru tahu kalau orang tua Vania sudah tidak ada. Dulu, sewaktu dirinya masih satu sekolah dengan Vania, pernah beberapa kali Wildan melihat Ayah dan Ibunya Vania, tapi ia tak tahu kalau ternyata Ibunya pernah bekerja di rumah orang tua kandung Wildan, karena Wildan dari kecil tinggal bersama Tantenya. Hal itu yang membuat Vania penasaran, karena yang Vania tahu, orang tua Wildan bukanlah Ibu Rahmawati dan suaminya. Vania ingin sekali bertanya pada laki-laki yang sedang menyetir kendaraan roda empatnya di sebelahnya itu, tapi ia masih gengsi untuk bertanya.
"Oh iya Van, kamu udah makan belum?" Tanya Wildan.
"Sudah." Jawab Vania, singkat.
Tak lama kemudian terdengar suara yang berasal dari perut Vania. Wildan pun mendengarnya, Vania jadi merasa malu padanya.
"Kita makan dulu yuk!" Ajak Wildan, karena ia tahu Vania sudah lapar.
"Ngg-nggak, biar saya makan di rumah aja." Vania menolak ajakannya.
"Van, aku tau kamu lapar. Yaudah, nggak usah nolak ajakan aku!"
"Mau ya, kita makan?"
Vania pun menganggukkan kepalanya, ia menerima ajakan calon majikannya itu. Wildan memberhetikan kendaraan roda empatnya pada sebuah resto, lalu ia turun dari mobil. Vania mengikuti langkahnya dari belakang. Wildan pun memilih tempat duduk yang nyaman untuk mereka berdua.
"Mau makan apa Van?"
"Terserah. Apa aja boleh."
Wildan pun memesankan nasi dan beberapa lauk untuk mereka makan berdua, tak lupa juga minumnya–Wildan memesankan es teh manis untuk ia dan Vania.
"Jadi, mulai besok kamu datang pagi-pagi, lalu mulai bekerja di rumah aku. Nanti pulang kerja, aku akan antarkan kamu lagi seperti ini."
"Tapi saya bisa pulang sendiri kok."
"Tapi nggak ada salahnya juga kan kalau aku yang mengantar kamu pulang?"
Vania masih tak nyaman dengam Wildan, ia takut kebaikannya hanya sesaat.
"Kamu nggak usah takut sama aku. Aku udah nggak seperti dulu!"
Tak perlu berbicara untuk membuktikannya pada Vania. Cukup buktikan dengan perbuatan, nanti perlahan pasti Vania akan percaya kalau Wildan sudah benar-benar berubah.
Di waktu yang sama, Tristan yang sedang berada di rumah–sangat mengkhawatirkan Vania. Ia mengambil ponselnya, lalu menuliskan pesan untuk wanita yang dicintainya itu.
[Van, kamu lagi cari kerja kemana?]
Vania merasakan getaran pada ponselnya, lalu ia mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Vania pun membaca pesan tersebut, lalu membalasnya.
[Cari kerja di rumah mantan majikan Ibuku, Mas. Tolong lihat Arzan, Mas. Dia sedang apa?]
Setelah membaca balasan pesan dari Vania. Tristan pun beranjak ke rumah orang tuanya, lalu membuka pintu kamar Vania. Ia melihat Arzan yang sedang tertidur.
"Bu, Arzan sudah dari tadi tidurnya?" Tanya Tristan.
"Baru. Mau main nggak ada teman, akhirnya ibu ajak main di kamarnya, terus dia ngantuk dan tertidur."
Tristan membuka lagi ponselnya, lalu ia mengetik pesan untuk Vania.
[Arzan sedang tidur, Van]
[Oke, Mas. Titip Arzan ya]
[Lho, memangnya kamu sudah mulai kerja hari ini?]
[Belum. Besok aku mulai kerjanya]
[Oh gitu. Sekarang kamu sedang apa? Sudah selesai bertemu dengan majikan ibumu itu? Kamu mau aku jemput nggak?]
Vania hanya membaca balasan pesan dari Tristan tapi ia tidak membalasnya lagi. Vania menutup ponselnya, karena makanan dan minuman yang dipesan oleh Wildan sudah datang. Alangkah terkejutnya Vania melihat makanan yang tersedia di meja begitu banyak, sedangkan mereka hanya berdua, siapa yang nanti akan menghabiskan semua makanan ini?
"Pak, ini nggak salah, nasi dan lauknya banyak banget!"
Wildan pun tertawa, "apa? Pak? Kamu manggil aku Bapak?"
"Iya, Bapak."
"Kalau sedang berdua seperti ini, jangan panggil aku Bapak. Panggil aja Wildan, seperti biasa kamu memanggilku."
Vania menganggukkan kepalanya.
"Yuk makan!" Ucap Wildan.
Melihat makanan yang banyak di atas meja, membuat Vania jadi terasa kenyang sebelum memakannya.
"Ayo Van, makan! Mau aku ambilkan nasi dan lauknya?"
Vania menggelengkan kepalanya, "nggak, aku ambil sendiri aja!"
Menurut Vania, ini suatu yang pemborosan–memesan makanan banyak yang pastinya tidak akan habis.
"Van, makannya yang banyak dong! Nambah lagi nasi dan lauknya!"
"Nggak, aku makannya nggak banyak."
Vania makan sambil melirik Wildan yang makan dengan sangat lahap.
"Van, kamu mau aku gaji berapa?" Tanya Wildan.
Vania pun mengangkat kedua bahunya. Rasanya tidak pantas jika dirinya meminta nominal gaji dari majikannya, karena pengalamannya bekerja sebagai asisten rumah tangga baru sebentar.
"Kamu butuh uangnya berapa?" Wildan bertanya lagi.
Jika ditanya tentang kebutuhan, pastinya banyak. Vania butuh uang untuk membayar hutang almarhum suaminya, Vania butuh uang untuk makan sehari-harinya, Vania butuh uang untuk biaya sekolah Arzan.
"Terserah kamu aja, mau gaji aku berapa." Lagi-lagi Vania tidak berani menyebutkan nominal gaji yang ia butuhkan.
"Oke, UMR dulu ya, nanti masih bisa aku naikkan."
"Iya."