Tristan sudah sampai di dekat pasar, ia memarkirkan kendaran roda empatnya, lalu ia membeli bubur ayam sambil pandangan matanya melihat ke arah pasar, berharap ada Vania. Vania memang sudah selesai berbelanja, ia keluar dari pasar, lalu berjalan kaki.
"Van, Vania!"
Vania pun menoleh ke arah orang yang memanggilnya tersebut, lalu ia menghampirinya.
"Mas Tristan lagi beli sarapan?" Sapa Vania.
"Iya. Kamu mau?"
"Nggak--nggak usah."
"Lalu, kamu mau beli apa? Biar aku yang belikan?" Tanya Tristan.
Vania menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "nggak, Mas!"
"Aku duluan ya!" Pamit Vania.
"Tunggu!"
Vania menghentikan langkahnya, lalu kembali menoleh ke arah Tristan, "ada apa, Mas?"
"Pulangnya bareng sama aku aja! Sekalian aku mau ngobrol-ngobrol sama kamu."
Vania sebenarnya tidak enak jika pulang bersama dengan kakak iparnya itu, ia takut Yurika berkomentar yang akan menyakiti hatinya lagi.
"Yuk, pulang bareng aku!" Tristan mengajaknya lagi.
Akhirnya Vania mau di ajak pulang bersama oleh Tristan. Vania pun masuk ke dalam mobil milik laki-laki yang sedang jatuh cinta padanya itu.
"Van, sekali lagi saya minta maaf atas sikap Yurika kepada kamu."
"Sudahlah Mas, jangan membahas masalah itu lagi. Aku pun sudah ingin melupakan masalah itu."
"Iya. Oh ya, saya juga mau kasih ini!" Tristan merogoh saku celananya, lalu memberikan amplop yang berisi uang pada Vania. Vania pun menerimanya.
"Itu gaji kamu selama bekerja di rumah saya."
"Iya, terima kasih. Tapi kalau boleh tau, amplop ini isinya berapa, Mas?"
"Satu juta."
Vania masih membutuhkan uang untuk mencicil hutang almarhum suaminya ke bank, tapi ia ragu untuk meminjam uang pada Tristan, padahal waktu itu Tristan sudah pernah mengatakan padanya kalau ia akan meminjam Vania uang jika Vania membutuhkan.
"Kamu kenapa sih?" Tanya Tristan ketika melihat Vania yang sedang menunduk sedih.
Setelah perdebatan yang hebat dalam dirinya selesai, akhirnya ia berusaha memberanikan diri untuk bicara pada Tristan.
"Mas, aku butuh uang untuk mencicil hutang Erik bulan ini. Boleh pinjam uang nggak?"
"Berapa?"
"Kurang lebih dua juta rupiah."
"Oke, aku akan transfer ke rekening kamu. Kamu nggak usah mengembalikan uangnya."
"Serius, Mas?"
"Iya."
"Ya Allah Mas, makasih ya."
Tristan menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Tristan, "iya."
Tristan pun langsung mentransfer sejumlah uang yang Vania butuhkan untuk membayar hutang. Mudah bagi Tristan membayar hutang almarhum adiknya tersebut, asalkan Vania bisa dekat dengannya.
"Van, bulan besok dan seterusnya, biar aku aja yang membayar hutang Erik."
"Tapi, Mas ... "
"Udah, nggak apa-apa. Biar aku aja yang membayarkannya."
Vania ingin menolaknya, tapi ia juga tidak punya uang untuk mambayar hutang almarhum suaminya itu, akhinya Vania menyetujui Tristan yang akan membayarnya setiap bulan.
"Tapi, jangan sampai Yurika tau ya kalau saya yang membayarkan hutang-hutang Erik."
Vania menganggukkan kepalanya, "iya, Mas."
"Apapun yang saya berikan pada kamu, jangan kamu beritahu pada Yurika ya. Karena kamu kan tahu sendiri Yurika itu seperti apa."
"Iya, Mas. Saya juga takut kalau sampai Mbak Yurika tahu, nanti dia akan marah besar pada saya."
"Iya."
Tristan tak henti-hentinya mencuri-curi pandang pada Vania yang sedang terdiam. Hatinya semakin bergetar saat memandang kecantikan wajah janda beranak satu itu. Mulutnya seolah ingin berkata, bahwa ia sangat mencintai Vania, tapi hati Tristan berkata, jangan ungkapkan semua itu sekarang, karena belum saatnya, nanti takutnya Vania malah akan menjauh dan benci padanya.
Sudah di dekat rumah, Vania tidak ingin Yurika melihat ia keluar dari mobil Tristan.
"Mas, aku turun disini aja!" Ucap Vania. Tristan pun memberhentikan kendaraan roda empatnya.
"Terima kasih ya, Mas." Ucap Vania, lalu ia turun dari mobil Tristan.
Ketika mobil Tristan sudah melaju, Vania pun melangkahkan kakinya menuju ke rumah.
Tin ... Tin ...
Tristan sudah sampai di rumah, lalu ia memasukkan kendarannya tersebut ke dalam garasi rumahnya.
Yurika sedang menyapu lantai, ia melihat suaminya yang baru saja pulang, lalu tak lama kemudian, ia melihat Vania yang sedang berjalan menuju ke rumah.
"Dari mana tuh si Vania?" Tanya Yurika.
"Mungkin habis belanja."
"Dari pasar?"
"Nggak tau!"
"Memang, Papa nggak ngeliat dia saat tadi ke dekat pasar?"
"Nggak!"
"Ke pasar aja rapi banget kayak mau mejeng, mentang-mentang janda, tebar pesona terus!" Seru Yurika.
"Ya terus Vania harus pakai baju apa kalau ke pasar? Pakai baju seksi? Kan nggak mungkin. Lagi pula, Vania cuma pakai kaos dan celana panjang aja kok, itu mah biasa aja, Mama." Jelas Tristan.
Namun tetap saja di mata orang yang membenci, Vania terlihat salah. Mau sebaik apapun Vania, di mata Yurika tetap salah, karena dari dulu Yurika memang iri dengan kecantikan yang Vania miliki.
Vania mulai memasak bahan masakan yang tadi ia beli
"Mama, aku udah lapar." Ucap Arzan.
"Tunggu ya. Mama sedang masak dulu."
Vania sudah selesai memasak, lalu ia pun membawakan masakannya ke meja makan. Vania makan bersama anak dan kedua mertuanya.
"Bu, nanti saya titip Arzan ya, karena saya mau coba mencari pekerjaan." Ucap Vania.
"Kamu mau mencari pekerjaan kemana?"
"Saya mau ke rumah majikan ibu saya dulu. Mungkin aja ada lowongan pekerjaan untuk saya disana."
"Iya."
"Mama nggak lama kan?" Tanya Arzan.
"Mama juga belum tau. Kamu main aja di rumah ya."
Tiba-tiba saja wajah Arzan terlihat murung.
"Kamu kenapa, Arzan?" Tanya Vania.
"Aku di rumah main sama siapa? Mau main sama Keanu kan nggak boleh sama Mamanya."
"Lho, kenapa nggak boleh?" Tanya Ibu Rani, sang nenek.
"Karena masalah kemarin, Bu. Mbak Yurika melarang Arzan untuk main sama Keanu."
"Astaghfirullah ... " Ibu Rani mengelus dada, ia tak menyangka kalau Yurika sampai melarang anaknya untuk main dengan Arzan. Karena anak kecil seperti itu tidak tahu masalah orang tua, tapi mengapa kedekatan mereka yang harus dikorbankan?
"Kamu main dengan teman-temanmu yang lain aja, Arzan." Lanjut sang nenek.
Arzan pun menggelengkan kepalanya, ia tidak mau bergaul dengan teman-temannya yang lain karena mereka semua juga dekat dengan Keanu. Keanu lebih pandai mengambil hati teman-temannya. Arzan jadi merasa terkucilkan.
"Ya sudah, Arzan main di rumah aja sama Nenek ya!" Ucap Vania.
"Memang nggak boleh ikut Mama?"
"Mama bukannya mau jalan-jalan, Sayang. Mama mau bekerja. Kamu tunggu di rumah dulu ya sama Kakek dan Nenek."
Arzan menganggukkan kepalanya. Setelah selesai makan, Vania pun membawakan piring-piring kotor ke dapur, lalu ia mencucinya. Setelah itu, Vania bersiap-siap untuk pergi.
Di waktu yang sama, Tristan sedang teringat saat memandangi wajah Vania tadi. Dengan memandangnya saja sudah sangat bahagia, apalagi bisa memilikinya. Tristan senyum-senyum sendiri sambil duduk di sofa ruang tengah.